Yogyakarta, PSKK UGM – Kehamilan yang tidak diinginkan atau KTD merupakan salah satu persoalan yang dihadapi oleh para remaja. Persoalan ini seringkali justru menimbulkan persoalan-persoalan lain seperti pernikahan usia dini, putus sekolah atau drop out, aborsi, single parent, dan lain sebagainya.
“Andaikata persoalan kehamilan tidak diinginkan didasari oleh perilaku seks, maka perilaku seks yang tidak sehat bisa berujung pada persoalan penyakit menular seksual, HIV maupun AIDS. Selain KTD, persoalan lain yang dihadapi remaja adalah narkoba, dan kekerasan dalam berpacaran,” ujar Dr. Budi Wahyuni, Ketua Pengurus Daerah Perkumpulan Keluarga Berencana Indonesia (PKBI) DIY saat Seminar “Revitalisasi Peran Keluarga untuk Mengatasi Persoalan Remaja di DIY” di Ruang Borobudur, Hotel Inna Garuda, Yogyakarta, Kamis (3/7) lalu.
Data Badan Pemberdayaan Perempuan dan Masyarakat (BPPM) Yogyakarta pada 2011 menunjukkan, sebanyak 10,4 persen remaja mengaku sudah pernah melakukan hubungan seks. Sementara data Bidang Pengendalian Penyakit dan Masalah Kesehatan (P2MK) Dinas Kesehatan Yogyakarta menunjukkan, 36,24 persen pada kelompok usia 15 sampai 29 tahun terpapar infeksi HIV/AIDS.
Hingga kini, sulit untuk menentukan secara pasti angka kasus KTD pada remaja di Yogyakarta. Budi mengatakan, dalam kurun waktu lima tahun terakhir, PKBI melayani konseling pada hampir 1.500 remaja yang mengalami KTD. Pada 2010 ada 392 remaja, tahun 2011 ada 321 remaja, tahun 2012 ada 311 remaja, tahun 2013 ada 325 remaja, sementara di tahun ini per Mei 2014 sudah ada 142 remaja. Data tersebut memang tidak seluruhnya merupakan remaja yang berdomisili di DIY.
Persoalan remaja terkait erat dengan konstruksi sosial tentang pemahaman seksualitas. Seksualitas seringkali hanya dipahami sebatas hubungan seks. Dampaknya, pendidikan tentang kesehatan reproduksi kemudian ditolak di sekolah-sekolah. Padahal, bekal informasi yang memadai mengenai proses reproduksi yang sehat sangatlah penting bagi remaja.
“Informasi yang baik dan lengkap bisa diberikan melalui kurikulum di sekolah. Orang tua perlu untuk proaktif. Bila perlu, ada pendidikan seks bagi orang tua, termasuk bagaimana cara penyampaiannya kepada anak remaja mereka. Sudah saatnya isu kesehatan reproduksi jadi bagian yang tidak terpisahkan dari kehidupan anak dan remaja sehingga bisa terwujud kehidupan yang sehat secara fisik, psikis, dan sosial,” ujar Budi.
Hal senada juga disampaikan oleh Dr. Sari Murti, M.Hum, Dosen Fakultas Hukum Universitas Atma Jaya Yogyakarta. Peran orang tua atau keluarga sangatlah penting dalam mengatasi persoalan yang dialami remaja. Dalam nilai-nilai Jawa, keluarga adalah institusi pelindung sekaligus pemberi ruang seluas-luasnya bagi anak-anak untuk berkembang. Sayangnya, peran keluarga seiring waktu mulai berkurang.
Sari menambahkan, UU Nomor 52 Tahun 2009 tentang Perkembangan Kependudukan dan Pembangunan Keluarga sebetulnya sudah cukup bagus, yakni tentang bagaimana melakukan penataan ulang terhadap keluarga. Namun, UU ini hanya tinggal ‘huruf mati’ karena tidak pernah diimplementasikan secara serius.
“Produk perundang-undangan ini sebetulnya telah memberikan panduan atau guidance mengenai bagaimana membangun keluarga sehingga memiliki ketahanan fisik, sosial maupun psikologis. Dan untuk mengarah ke sana, semua pihak perlu terlibat di dalamnya,” ujar Sari. [] Media Center PSKK UGM | Ilustrasi: Remaja pengguna gadget