Media Indonesia, Surabaya – MENTERI Kesehatan (Menkes) Nafsiah Mboi berpendapat penutupan lokalisasi Gang Dolly pada 19 Juni nanti bukanlah sebuah solusi permanen untuk mengatasi masalah prostitusi di Surabaya, Jawa Timur. Ia khawatir hal itu bakal meningkatkan potensi penularan infeksi menular seksual (IMS) dan penularan di luar kelompok berisiko, seperti ibu rumah tangga dan bayi.
"Pengalaman dari penutupan lokalisasi di Bandung dan Jakarta tidak menyelesaikan masalah. Pekerja seks komersial (PSK) tetap bekerja dengan ditampung di rumahr-umah," ujarnya di Surabaya, Sabtu (14/6).
Berdasarkan pantauan, pascapenutupan Saritem (Bandung) dan Kramat Tunggak (Jakarta), praktik prostitusi tetap berlangsung dan menyebar ke wilayah lain. Bedanya, PSK yang menjajakan diri tidak terlokalisasi lagi. Mereka ditampung di rumah-rumah penduduk. Imbasnya, dinas kesehatan, LSM kesehatan, dan dinas sosial kesulitan mendata dan memberi pelayanan kesehatan serta menyampaikan program pemberdayaan.
Dampak paling berbahaya, kata dia, ialah potensi penyakit menular seksual yang akan meningkat. Pasalnya, PSK yang memiliki penyakit IMS tidak bisa terkontrol. Akibatnya, lelaki yang menggunakan jasa mereka berisiko menularkan penyakit ke istri dan bayi mereka. Menurut Nafsiah, jumlah ibu rumah tangga yang terinfeksi HIV dari pasangan tetap cukup tinggi, mencapai 3.733 kasus akumulatif dari 1987 sampai 2012. Selain itu, akibat tingginya stigma dan rendahnya pengetahuan, banyak ibu rumah tangga yang terinfeksi virus memilih sembunyi dan tidak memeriksakan dirinya. Walhasil, kasus penularan HIV dari ibu hamil ke bayinya juga menjadi tinggi.
Dari data kegiatan Pencegahan Penularan HIV dari Ibu ke Anak (PPIA) yang dilakukan Kemenkes hingga Desember 2013 terungkap, kasus penularan HIV dari ibu ke anak meningkat dalam rentang tiga tahun terakhir. Pada 2011, ditemukan 75 bayi positif HIV yang tertular dari ibu, pada 2012 sebanyak 86, dan 2013 jadi 106 bayi.
Lebih diperketat
Ia menegaskan dirinya tidak mendukung prostitusi. Namun, prostitusi akan selalu ada selama permintaan terus ada. Namun, penutupan lokalisasi bukanlah solusi. Selain menimbulkan masalah kesehatan, itu akan mendorong munculnya praktik prostitusi terselubung yang bisa menimbulkan masalah sosial lain. "Akan muncul trafficking pada perempuan yang dipekerjakan sebagai pekerja seks dan sulit dipantau."
Menurut dia, ada kebijakan lain yang lebih tepat untuk menekan praktik prostitusi. Pertama, lokalisasi harus bebas dari anak-anak. Selanjutnya, para PSK diberi pengetahuan soal kesehatan reproduksi dan keterampilan agar bisa mencari kerja lain. Selain itu, harus ada intervensi pada lelaki berisiko seksual tinggi dan mempersulit akses masuk lokalisasi bagi masyarakat umum.
Deputi Keluarga Sejahtera dan Pembangunan Keluarga (KSPK) BKKBN Sudibyo Alimoeso mengutarakan, dalam menutup lokalisasi, sebaiknya disertai dengan mekanisme pendataan PSK. Dengan sistem pendataan valid, kondisi kesehatan PSK bisa dipantau dan mereka mendapat layanan kesehatan. Mereka juga akan memperoleh program pemberdayaan dari dinas sosial. [] Cornelius Eko
*Sumber: Media Indonesia | Foto: Vivanews