Jaringan Operasi Paedofil Terstruktur Rapi
RMOL. Hukum maupun kebijakan di Indonesia seharusnya diperkuat untuk mencegah kasus-kasus kekerasan, eksploitasi, bahkan tindak penelantaran terhadap anak. Sayangnya, selama ini hal tersebut belum sepenuhnya dilakukan, terutama oleh pemerintah.
Demikian disampaikan pakar kebijakan publik dari Universitas Gadjah Mada, Agus Heruanto Hadna dalam Diskusi Internal Pusat Studi Kependudukan dan Kebijakan (PSKK) UGM "Menilik Kebijakan dan Sistem Perlindungan Anak" (Kamis, 8/5).
Tak dapat dipungkiri bahwa penanganan kasus kekerasan terhadap anak-anak belum serius dilakukan oleh pemerintah. Koordinasi, baik antara kementerian terkait, kementerian dengan struktur di wilayah provinsi, kabupaten/kota, bahkan dengan lembaga-lembaga pemerhati dalam bidang perlindungan anak dan perempuan, belum terjadi.
"Itulah salah satu kelemahan di Indonesia, kebijakannya masih sangat sektoral. Masing-masing sektoral mempunyai kebijakan sendiri, dan satu sama lain seringnya nggak gathuk, tidak nyambung," ujar Hadna seperti dikutip dari rilis PSKK UGM.
Hadna menambahkan bahwa saat ini peran media massa sangatlah massif dalam memberitakan kasus-kasus tersebut. Akses informasi yang lebih terbuka menjadikan isu menyebar lebih cepat dan luas.
"Iqbal Saputra, Renggo Khadafi, maupun seratus nama anak-anak korban paedofil di Sukabumi, Jawa Barat mengingatkan kita lagi bahwa anak-anak belum terlindungi. Hak mereka sebagai anak tercerabut karena kelalaian dan ketidakpedulian," kata Hadna memaparkan.
Sepanjang 2013 saja, Komisi Nasional Perlindungan Anak atau Komnas Anak menerima pengaduan 3.023 kasus kekerasan anak. Angka ini disebut naik, bahkan hingga 60 persen jika dibandingkan dengan tahun sebelumnya, yakni 1.383 kasus. Dari jumlah tersebut, 58 persen merupakan kasus kejahatan seksual terhadap anak-anak.
"Agak sulit ya jika kemudian disebut kekerasan terhadap anak terjadi kenaikan. Angka yang pasti menunjukkan itu hingga kini belum pernah terungkap," jelasnya.
Praktik-praktik eksploitasi sistematis yang berakibat buruk bagi perkembangan anak sesungguhnya telah terjadi sejak dulu. Studi PSKK UGM yang dimulai pada 2001, misalnya, menunjukkan bahwa selama kurun waktu delapan tahun (1996-2004) terdapat 25 pedofil asal Amerika Serikat, Australia, Inggris, Jerman, Perancis, dan Belanda yang beroperasi di Bali.
Untuk mengurangi perlawanan dan memperlancar operasi, para pedofil membentuk jaringan yang terstruktur rapi dan tersembunyi. Beberapa, bahkan melibatkan orang tua anak, warga desa, dan paedofil lain yang menjadi sekutunya. Gerak zaman dapat menjadi hal yang membedakan.
Selama ini Hadna melihat penerapan pola kebijakan di Indonesia selalu berdasarkan pembuktian. Akhirnya untuk kasus semacam ini, seolah-olah perlu ada yang menjadi korban dulu sebelum disusun aturan dan kebijakan tentang itu. Aspek-aspek pencegahan kerap terabaikan dalam penyusunan peraturan dan kebijakan tentang perlindungan anak.[] Widya Victoria
*Sumber: Rakyat Merdeka | Foto: Ilustrasi