Yogyakarta, PSKK UGM – Di Denpasar dan Malang, ada lebih dari 70 persen pekerja yang hidup dengan HIV dan AIDS, masih menggunakan dana pribadi untuk mendapatkan pelayanan kesehatan. Sementara di Surabaya persentasenya mencapai angka 49. Data ini menunjukkan, memang belum banyak pekerja dengan HIV dan AIDS yang dapat mengakses program perlindungan sosial kesehatan dan bantuan keuangan dari pemerintah untuk mendapat layanan kesehatan.
Di Denpasar misalnya, hanya 12 persen pekerja dengan HIV dan AIDS yang menggunakan program perlindungan sosial pemerintah untuk berobat. Angka ini lebih rendah jika dibanding dengan dua kota lainnya, yakni di Surabaya dan Malang yang masing-masing persentasenya 23 persen dan 14 persen.
Hal tersebut disampaikan oleh Dr. Dewi H. Susilastuti, M.Sc., Peneliti Pusat Studi Kependudukan dan Kebijakan UGM dalam acara Konsultasi Nasional Pemangku Kepentingan yang diselenggarakan oleh ILO Indonesia, UNAIDS dan Komisi Penanggulangan AIDS Nasional di Royal Kuningan Hotel, Jakarta beberapa waktu lalu (14/11). Dalam acara tersebut Dewi menyampaikan temuan serta hasil penelitian “Akses dan Dampak Program Perlindungan Sosial Terhadap Pekerja di Ekonomi Informal dan Formal yang Hidup dengan HIV dan Keluarganya” yang telah dilakukan di tiga kota pada September-Oktober lalu.
Profil demografi pekerja dengan HIV dan AIDS dalam penelitian ini menunjukkan, mayoritas berada pada rentang usia 25 sampai 49 tahun. Dari jumlah total 300 responden yang diwawancara, sebanyak 62 persen merupakan pekerja di sektor informal, kemudian 70 persen tinggal di wilayah perkotaan, serta 46,3 persen berstatus telah menikah. Bagi pekerja dengan HIV dan AIDS di sektor formal bisa mengakses jaminan sosial kesehatan yang disediakan oleh pemerintah atau perusahaan swasta tempat mereka bekerja. Misalnya, berbagai bentuk asuransi kesehatan yang dikelola PT. Askes, PT. Taspen, PT. Asabri, serta PT. Jamsostek. Lalu, bagaimana dengan pekerja di sektor informal?
Indonesia memang telah membuat kemajuan yang substansial dalam membangun dasar perlindungan sosial seperti meningkatkan akses pelayanan kesehatan bagi pekerja sektor formal dan miskin, serta program jaminan pendapatan bagi penduduk usia kerja. Namun, menurut hasil beberapa penelitian yang dilakukan oleh ILO, program-program perlindungan sosial tersebut belum menyentuh mereka yang hidup dengan HIV dan AIDS atau ODHA, terlebih yang bekerja di sektor informal. Ada kesenjangan antara pekerja sektor formal dan informal dalam mengakses perlindungan sosial.
Pada level rumah tangga, ODHA yang bekerja di sektor informal kerap mengalami kesulitan yang lebih. Upah harian yang diterima biasanya hanya cukup untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari. Sementara untuk berobat akibat tubuhnya yang begitu rentan terhadap penyakit, belum tentu bisa. Dewi kembali menjelaskan, jikapun menerima program perlindungan sosial kesehatan, itu tidak berdasarkan statusnya sebagai ODHA. Program yang diterima seperti Jamkesmas (Jaminan Kesehatan Masyarakat), Jamkesda (Jaminan Kesehatan Daerah) tersebut berdasarkan status ekonomi rumah tangganya yang miskin.
“Dari data di sini kita juga bisa melihat, pekerja dengan HIV dan AIDS paling banyak mendapatkan akses perlindungan sosial kesehatan dari program Jamkesda, yakni 32,33 persen. Sementara program Jamkesmas ada 15 persen, skema asuransi komersial (private insurance) 13,33 persen, Jamsostek 10 persen, bantuan kesehatan dari pemberi kerja 7,33 persen, serta lainnya,” jelasnya.
Usai pemaparan hasil penelitian, peserta forum lalu dibagi ke dalam tiga kelompok untuk berdiskusi tentang beberapa hal, yakni bagaimana cara mengatasi kesenjangan yang diidentifikasi dalam penelitian dalam rangka memperluas akses perlindungan sosial bagi ODHA baik yang bekerja di sektor formal maupun informal. Kemudian, apa yang bisa dilakukan oleh masing-masing pihak atau stakeholders untuk mengatasi kesenjangan tersebut baik dalam jangka pendek maupun jangka panjang.
Hasil dari Konsultasi Nasional dan rekomendasi hasil penetian ini nantinya diharapkan akan menjadi rekomendasi kepada stakeholders terkait, seperti Kementerian Kesehatan serta Kementerian Tenaga Kerja dan Transmigrasi untuk bisa membuat kebijakan yang ramah terhadap ODHA. Sementara untuk Serikat Pekerja dan LSM terkait agar bisa lebih mengadvokasi pekerja yang tergolong ODHA. [] Media Center PSKK UGM
*sumber foto: Istimewa