Yogyakarta, PSKK UGM — Selama beberapa tahun terakhir, angka kelaparan dunia dilaporkan menurun. Beberapa negara berkembang mampu memperbaiki kondisi pangan di dalam negeri. Sebagian besar negara di kawasan Asia Tenggara pun mampu membuat kemajuan pesat. Brunei Darussalam dan Malaysia misalnya, mampu mengurangi prevalensi angka kelaparan (prevalence of undernourishment) hingga di bawah ambang batas lima persen.
Bagaimana dengan Indonesia? Turut mendapat laporan positif, Indonesia mampu menurunkan angka kemiskinan dan mengatasi rawan pangan sejak krisis moneter 1997. Namun, Organisasi Pangan dan Pertanian PBB (FAO) menyebutkan, sebanyak 19,4 juta penduduk Indonesia masih mengalami kelaparan. Selain itu, 28 persen anak-anak menderita kekurangan berat badan dan 42 persen mengalami stunting atau bertubuh pendek sebagai dampak dari kurangnya gizi.
Peneliti Kebijakan Pangan, Crawford School of Public Policy, Australian National University, Prof. Dr. John F. McCarthy mengatakan, seperti Kamboja dan Filipina, Indonesia masih menghadapi beban ganda malnutrisi dimana angka child stunting masih tinggi. Padahal, dari sisi ekonomi, Indonesia masih lebih baik dibandingkan dengan kedua negara tersebut. Isu kebijakan pangan masih penting dan relevan untuk dikaji lebih lanjut karena inilah salah satu tantangan besar Indonesia.
Sedikitnya, Indonesia menghadapi tiga isu pangan yang kompleks karena tumpang tindih dengan persoalan lain menurut McCarthy. Pertama, kekhawatiran akan jumlah produksi domestik yang tidak mampu memenuhi kebutuhan dalam negeri sehingga sangat bergantung pada impor yang harganya fluktuatif di pasaran internasional. Kedua, naiknya permintaan komoditas pertanian, terutama kelapa sawit. Ketiga, Indonesia telah menyatakan komitmennya terhadap program ekonomi hijau dan pembangunan perdesaan rendah emisi.
“Lalu bagaimana kebijakan untuk merespon ketiga isu tersebut bisa berjalan selaras sementara masing-masing punyai capaian yang berbeda bahkan berseberangan,” kata McCarthy.
Ada lima paradigma di dalam kebijakan pangan menurut McCarthy. Pertama, swasembada pangan (food self-sufficiency) sebagai upaya mencapai angka produksi global. Kedua, ketahanan pangan (food security) yang menurut FAO bisa dicapai dengan memperkuat kapasitas penduduk untuk mengakses pangan terutama saat menghadapi rawan pangan dan masa paceklik. Ketiga, kedaulatan pangan (food sovereignty), yakni dengan membantu petani maupun kelompok tani untuk memiliki akses dan kontrol yang lebih baik atas sumber-sumber pertanian. Keempat, kebijakan pangan perlu mengarah pada pencapaian hak atas ketersediaan pangan yang memadai sesuai dengan amanat dalam perjanjian internasional dan kelima, memerhatikan prinsip-prinsip lingkungan.
Belakangan, Indonesia meletakkan fokus utamanya pada satu pendekatan saja, yakni swasembada untuk beragam capaian kebijakan pangannya. Seperti banyak diberitakan oleh media massa, pemerintah gencar meningkatkan produksi, misalnya melalui program food estate. Pembukaan lahan baru melalui pertanian berskala besar dianggap bisa mencapai tujuan swasembada.
McCarthy menambahkan, swasembada mungkin bisa tercapai namun program tersebut belum tentu mampu dorong tercapainya akses pangan dan kedaulatan pangan.
“Apakah cukup membantu mencapai hak pangan yang memadai? Mungkin baik untuk mengejar target produksi namun program tersebut belum tentu bisa memberi akses bagi petani miskin, apalagi jika dikembangkan oleh perkebunan besar.”
Sementara itu, Pakar Ekonomi Pertanian, Pusat Studi Kependudukan dan Kebijakan UGM, Dr. Jangkung Handoyo Mulyo, M.Ec. berpendapat, mandiri di bidang pangan adalah hal penting. Program ketahanan pangan harus diorientasikan menuju kemandirian pangan karena itulah prasyarat mutlak untuk mencapai kedaulatan pangan dan kemakmuran bangsa. Negara yang berdaulat pada gilirannya memiliki daya saing dan posisi tawar sehingga mampu ‘duduk sama rendah, berdiri sama tinggi’ dalam tata pergaulan dunia.
Saat ini pemerintah memang lebih gencar menerapkan kebijakan untuk meningkatkan produksi. Program mencetak lahan sawah, pembangunan waduk, pengadaan mesin traktor serta subsidi pupuk dan benih pada dasarnya merupakan upaya perbaikan pasokan atau suplai pangan.
Bagi Jangkung, pembangunan dalam skala besar seperti mencetak lahan sawah dan membangun waduk hampir tidak mungkin dilakukan tanpa risiko (zero risk). Maka, penting bagi pemerintah untuk menerapkan kebijakan yang bisa meminimalisir dampak negatif sehingga manfaat atau benefit yang dihasilkan dari pembangunan itu bisa maksimal.
“Untuk itu, harus dilaksanakan kaidah-kaidah akademik secara seksama dan hati-hati, misalnya studi kelayakan yang komprehensif sebelum program dijalankan. Studi ini akan mengkaji secara mendalam berbagai aspek, yaitu aspek teknis, ekonomi, sosial, dan lingkungan. Setiap aspek berkontribusi penting dalam menyimpulkan kelayakan suatu program,” jelas Jangkung.
Sementara itu McCarthy kembali mencatat, kebijakan pangan Indonesia sebenarnya telah memiliki tujuan-tujuan yang baik, namun perhatian pada persoalan akses petani yang rentan terhadap rawan pangan dan hak pangan secara umum bisa diutamakan. Kebijakan perlu diarahkan untuk meningkatkan kapasitas petani dan membantu mereka untuk mendiversifikasi sistem produksi dan mata pencaharian mereka di wilayahnya sendiri. Indonesia sudah mengembangkan insiatif baik tersebut dan masih bisa untuk didanai, dikembangkan, dan ditingkatkan lagi, terutama bagi petani kecil yang berada di pulau terluar Indonesia serta yang mengalami persoalan rawan pangan.
“Penelitian internasional menunjukkan, ketahanan pangan bisa mencapai hasil terbaiknya apabila program-program pangan pemerintah diarahkan pada pemberdayaan petani. Petani tetap bisa mengolah lahan pertaniannya sembari juga mendiversifikasi mata pencahariannya,” jelas McCarthy. [] Media Center PSKK UGM