PROYEK JOGJA SELATAN: Harap Perhatikan Akses bagi Penduduk Miskin

01 November 2017 | admin
Berita PSKK, Main Slide, Media

Yogyakarta, PSKK UGM – Fenomena kemiskinan di Daerah Istimewa Yogyakarta sebagian besar terjadi di wilayah bagian selatan. Persoalan ini tentu tidak dapat diabaikan. Oleh karena itu, percepatan penanggulangan kemiskinan dan peningkatan kesejahteraan hendaknya menjadi salah satu program utama Pemerintah Daerah DIY.

Data Badan Pusat Statistik DIY (2015) menunjukkan angka kemiskinan di wilayah Jogja selatan seperti Gunungkidul (20,83 persen), Bantul (15,89 persen), dan Kulon Progo (20,64 persen) jauh lebih tinggi dibandingkan dengan wilayah Jogja di bagian utara seperti Sleman (9,50 persen) dan Kota Yogyakarta (8,67 persen).

Gubernur DIY, Sri Sultan Hamengku Buwono X dalam visinya “Menyongsong Abad Samudra Hindia untuk Kemuliaan Martabat Manusia Jogja” menyampaikan visi pemerintah lima tahun ke depan akan fokus pada pembangunan di wilayah bagian selatan Yogyakarta. Selain untuk menyongsong “Abad Samudra Hindia” sebagai episentrum kekuatan dunia di abad 21, juga untuk meningkatkan harkat dan martabat penduduk miskin di wilayah bagian selatan Yogyakarta, khususnya dan di seluruh wilayah DIY pada umumnya.

Untuk bisa mencapai itu, Wakil Direktur Pusat Studi Kependudukan dan Kebijakan Universitas Gadjah Mada, Pande Made Kutanegara, Ph.D. mengatakan, mega proyek pembangunan di bagian selatan Yogyakarta, seperti New Yogyakarta International Airport (NYIA), Jalur Jalan Lintas Selatan (JJLS), hingga Pelabuhan Tanjung Adikarto hendaknya memperhatikan dan memberi akses penduduk miskin dengan cara melibatkan mereka.

“Dalam proses pembangunan atau mungkin operasional bandara misalnya, peluang yang terbuka bagi tenaga kerja lokal perlu diberikan sehingga tidak sepenuhnya mendatangkan tenaga kerja dari luar Kulon Progo,” kata Pande dalam Workshop Pembahasan Rancangan Pokok-Pokok Pikiran DPRD DIY terhadap Rencana Kerja Pemerintah Daerah (RKPD) DIY Tahun 2019 di Ruang Rapat Gabungan Lantai 3 Gedung DPRD DIY, Rabu (25/10) lalu.

Program-program percepatan penanggulangan kemiskinan mustahil dapat berjalan dengan baik tanpa melibatkan berbagai pihak, mulai dari masyarakat, kampus, pemerintah, pengusaha, maupun pihak-pihat terkait lainnya. Namun begitu, Pande juga melihat bahwa selama ini, pihak pemerintah baik legislatif maupun eksekutif masih memiliki gap atau jarak di dalam memahami konsep maupun ukuran tentang kemiskinan. Di antara organisasi perangkat daerah (OPD) pun demikian, seringkali tidak paham dengan konsep dan program kemiskinan yang dijalankan.

“Program penanggulangan kemiskinan seharusnya fokus pada beberapa bidang saja dan anggarannya pun tidak harus disebar ke semua OPD. Lalau pendirian mall, hotel, dan apartemen juga lebih baik dihentikan karena tidak ada manfaat langsung bagi masyarakat menengah ke bawah, justru ketimpangan semakin lebar,” jelas Pande.

Sementara itu, kesenjangan antara penduduk berpendapatan tinggi dengan penduduk berpendapatan rendah di DIY juga cukup tinggi. Per Maret 2017, angka Rasio Gini DIY sebesar 0,432 dan menjadikannya sebagai provinsi dengan tingkat ketimpangan tertinggi di Indonesia, disusul kemudian oleh Gorontalo, yakni 0,41.

Menurut karakter wilayahnya, kesenjangan di wilayah perkotaan (0,435) masih lebih tinggi dibandingkan dengan wilayah perdesaan (0,340). Namun, untuk indeks kedalaman kemiskinan, wilayah perdesaan menunjukkan angka yang lebih tinggi, yaitu 2,29 dibandingkan dengan wilayah perkotaan, yaitu 2,19. Artinya, penduduk miskin di wilayah perdesaan perlu berjuang lebih keras untuk bertahan hidup dengan membayar pengeluaran konsumsi yang lebih besar dibandingkan dengan penduduk miskin di perkotaan. [] Media Center PSKK UGM | Photo: BABAT ALAS NAWANG KRIDA_Peletakan batu pertama New Yogyakarta International Airport oleh Presiden Joko Widodo dan Gubernur DIY Sri Sultan HB X/setkab.go.id