PAKU ALAM X: Untuk Mengentaskan Kemiskinan, Kita Perlu Coba Metode Nonagregat

11 Mei 2017 | admin
Berita PSKK, Main Slide, Media

Yogyakarta, PSKK UGM – Daerah Istimewa Yogyakarta masih menghadapi dua persoalan besar terkait kesejahteraan penduduk yang belum teratas. Pertama, angka kemiskinan yang tinggi dan kedua, lebarnya gap atau ketimpangan pendapatan yang ditandai oleh Gini Rasio.

Data Badan Pusat Statistik yang dirilis pada Januari 2017 lalu menunjukkan, jumlah penduduk miskin di DIY pada September 2016 mencapai 488,83 ribu jiwa. Jumlah ini masih dinilai meningkat, apabila dibandingkan dengan kondisi setahun yang lalu, yakni pada September 2015 (485,56 ribu jiwa). Ada peningkatan jumlah penduduk miskin sebanyak 3,27 ribu orang. Untuk persentase penduduk miskinnya, DIY pada September 2016 mencapai 13,10 persen atau turun 0,24 persen poin jika dibandingkan dengan kondisi di semester sebelumnya (Maret 2016). Sepanjang periode Maret 2011 sampai September 2016, jumlah penduduk miskin di DIY memang fluktuatif, meskipun ada kecenderungan untuk bergerak turun.

Isu kedua yang perlu diperhatikan, yakni DIY merupakan provinsi dengan angka ketimpangan paling tinggi di Indonesia. Gini Rasio DIY pada September 2016 sebesar 0,425, naik dibandingkan posisi di Maret 2016 maupun September 2015, yaitu 0,42.

Wakil Gubernur DIY, Sri Paduka Paku Alam X saat menerima audiensi dari Panitia Seminar HUT Ke-44 Pusat Studi Kependudukan dan Kebijakan Universitas Gadjah Mada, Rabu (10/5) menyampaikan, upaya-upaya mengatasi kemiskinan sebetulnya sudah dilakukan sejak masa kepemimpinan Soekarno, Soeharto, bahkan hingga saat ini. Semua sepakat bahwa kemiskinan haruslah diakhiri. Namun, Paku Alam melihat, upaya pengentasan kemiskinan, khususnya beberapa dekade belakangan ini, selalu menggunakan pola-pola agregat. Upaya yang dilakukan adalah pemberian bantuan yang sifatnya ekonomi.

“Bagi saya, kegiatan pengentasan kemiskinan apapun yang sifatnya agregat hanya akan menambah panjang rantai ketergantungan. Tidak benar-benar mampu mengatasi. Di sisi lain, kita belum pernah mencoba metode pengentasan kemiskinan nonagregat,” kata Paku Alam.

Metode nonagregat yang dimaksud adalah investasi intelektual. Investasi intelektual jauh lebih bisa diharapkan karena bersifat lifetime atau seumur hidup. Paku Alam menambahkan, dalam bidang pertanian, pemberian bantuan berupa alat-alat pertanian misalnya, tidak begitu efektif menjadi daya ungkit kesejahteraan petani. Berbeda halnya apabila bantuan yang diberikan berupa pendidikan dan pelatihan.

“Berlaku seumur hidup. Ilmunya bisa ditularkan ke petani yang lain, bahkan diturunkan ke anak cucu, sembari memupuk pula keinginan, hasrat atau passion untuk bertani. Tidak dengan bantuan alat-alat yang paling hanya bisa digunakan sepuluh tahun ke depan,” katanya lagi.

Dalam kesempatan audiensi tersebut, Paku Alam juga menyoroti angka migrasi masuk ke Yogyakarta karena adanya penerimaan siswa dan mahasiswa baru setiap tahunnya. Isu ini penting untuk diperhatikan pula mengingat efek domino yang ditimbulkannya. Sebagai contoh, sebagian besar mahasiswa baru dalam kurun waktu dua atau tiga bulan akan mulai memiliki kendaraan bermotor. Maka, bisa dibayangkan kemudian, bagaimana dampaknya terhadap kepadatan dan pengaturan lalu lintas di Yogyakarta. Begitu pula dengan permintaan akan kebutuhan pangan, air bersih, tempat tinggal, dan lain sebagainya. Keberadaan mahasiswa sesungguhnya perlu didorong agar menjadi sumber daya pendukung bagi pembangunan di Jogja.

Untuk itu, semua pihak yang terkait baik pemerintah, masyarakat, kalangan akademis (kampus), bahkan sektor swasta perlu saling bersinergi untuk mengatasi beragam persoalan yang ada di DIY. Keterlibatan aktif dari semua pihak sangatlah penting guna mengarahkan pembangunan Yogyakarta ke arah yang lebih baik. Ini tentunya sejalan pula dengan tujuan seminar setengah hari yang akan diselenggarakan oleh PSKK UGM pada Selasa depan. [] Media Center PSKK UGM.