Menjaga Hubungan Kerja, Beragam Mekanisme Diterapkan oleh Industri Rokok

07 Februari 2016 | admin
Media

Yogyakarta, PSKK UGM – Ada beragam mekanisme yang diterapkan di dalam hubungan-hubungan kerja guna memastikan antara satu pihak dengan pihak yang lainnya bisa saling bersinergi. Tak terkecuali di industri rokok, hubungan antara mandor dengan buruh pabrik misalnya, memiliki mekanisme tertentu agar bisa berjalan harmonis.

Hal itu disampaikan oleh Dr. Ratna Saptari, Staf Pengajar Institute of Cultural Anthropology and Development Sociology, Leiden University dalam seminar bulanan yang diselenggarakan oleh Pusat Studi Kependudukan dan Kebijakan Universitas Gadjah Mada, Rabu (3/2). Dalam seminar bertema “Mobilitas Modal, Proses Produksi, dan Dinamika Gender dalam Industri Rokok di Indonesia” tersebut, Ratna memaparkan sejumlah temuan penelitiannya di unit-unit Mitra Produksi Sigaret (MPS) yang memiliki hubungan kerjasama dengan PT. HM Sampoerna, khususnya di Surabaya dan Jombang.

Salah satu mekanisme yang diterapkan oleh industri rokok, terutama SKT (Sigaret Kretek Tangan) adalah sistem borongan. Melalui sistem borongan, buruh pabrik mendapatkan upah sesuai dengan jumlah rokok yang dihasilkan. Melalui proses hubungan produksi seperti inilah pengendalian terhadap buruh dilakukan. Buruh dituntut untuk mampu mencapai target, sementara mandor bertugas agar target tersebut sesuai dengan standar produk yang telah ditetapkan.

“Saya kurang tahu persis apakah karena pajak yang tinggi atau konsumen yang semakin banyak beralih ke SKM atau Sigaret Kretek Mesin, ada dampak pengurangan jam kerja. Saat ini mereka bekerja tujuh jam sehari, sementara sebelumnya sampai sembilan jam kerja. Mereka mengeluh karena dengan sistem borongan dan pengurangan jam kerja, penghasilannya jadi berkurang,” kata Ratna.

Mekanisme lainnya yang diterapkan adalah standarisasi terhadap cara kerja dan pembagian kerja. Untuk menjadi buruh giling misalnya, tidak boleh sembarangan. Dia harus memiliki kualifikasi tertentu, seperti memahami betul jumlah tembakau berikut berapa perbandingannya dengan cengkeh yang hendak dicampurkan. Jika tidak sesuai dengan standar produk, mandor dalam kewenangannya untuk memberikan teguran bahkan sanksi. Meski kadang dipertanyakan pula seberapa jauh subyektivitas mandor untuk menilai lintingan rokok sudah baik atau belum.

Penciptaan hirarki di tempat kerja juga merupakan bentuk pengaturan dan pengendalian tenaga kerja. Di pabrik ada beberapa tingkatan, seperti pengawas atau supervisor, mandor (mandor pinggir dan mandor tengah), kepala regu, buruh giling, buruh gunting, dan buruh ngepak. Terutama buruh giling dan buruh gunting, keduanya bisa saling mengingatkan, melakukan fungsi kontrol. Karena apa? Jika ada salah satu yang bekerja tidak sesuai harapan mandor, satu kelompok bisa kena sanksi.

Lalu mengapa industri rokok kini lebih didominasi oleh buruh perempuan? Apakah buruh perempuan dinilai lebih mudah dikontrol dan jarang protes? Ratna menceritakan, para mandor sebetulnya juga merasa khawatir menghadapi buruh perempuan. Mengatur dan mengendalikan sekian banyak buruh perempuan bukanlah pekerjaan yang mudah. Para mandor biasanya tidak menegur buruh yang pekerjaannya dinilai kurang baik secara langsung karena bisa mendorong reaksi dari buruh lainnya, misalnya disorakin.

“Di satu sisi ada pengontrolan, di sisi lain jangan sampai semua ikut bereaksi. Maka, kita tidak bisa memandang hubungan kerja ini dengan sederhana, ada yang dikontrol lalu ada yang mengontrol. Mereka cukup hati-hati. Berbagai mekanisme diupayakan untuk menjaga keharmonisan antara mandor dan buruh di pabrik,” jelas Ratna.

Di lain pihak, para mandor pun didorong oleh perusahaan agar kelompok buruh yang diawasinya bekerja dengan baik. Memang, perusahaan pun sering melakukan mutasi atau perpindahan mandor dari satu pabrik ke pabrik lain guna menjaga keharmonisan. Ratna menilai, ini merupakan cara perusahaan untuk mendengar keluhan dari buruh. Artinya, ketegangan yang terjadi kerap antara buruh dengan mandor, bukan dengan perusahaan, bukan protes struktural.

Buruh tidaklah pasif. Mereka tetap berusaha menciptakan ruang gerak sendiri meski turut dalam kerangka hubungan produksi yang diciptakan oleh pabrik. “Memang pernah melakukan pemogokan tapi akhir-akhir ini tidak ya. Mungkin ini keberhasilan perusahaan untuk mencari jalan lain untuk mengendalikan buruh, tidak mogok, dan protesnya lebih individual.” [] Media Center PSKK UGM | Ilustrasi buruh linting rokok/wego.co.id