JAKARTA, KOMPAS.com — Dibutuhkan setidaknya 10 tahun bagi Jakarta untuk menekan tingkat kelahiran dari 2,3 menjadi 2,0 (per 1.000 orang per tahun). Angka itu berbanding lurus dengan angka kemiskinan di Ibu Kota yang juga tergolong tinggi, yakni 17 persen dari 10,2 juta jiwa warga Jakarta.
Hal itu mengemuka pada acara Optimalisasi Kinerja Pengelola Program Keluarga Berencana untuk Mewujudkan Jakarta Baru yang Sejahtera di kantor Badan Kependudukan dan Keluarga Berencana Nasional (BKKBN), Jakarta Timur, Senin (16/2).
Hadir di acara itu Gubernur Basuki Tjahaja Purnama, Kepala Badan Pemberdayaan Masyarakat dan Perempuan dan KB DKI Jakarta Dien Emawati, dan Plt Kepala BKKBN Ambarahayu.
Basuki mengaku kaget mengetahui tingkat kelahiran Jakarta yang masih tinggi. Dari hasil survei yang diadakan Pemerintah Provinsi DKI Jakarta, satu keluarga dengan dua anak itu membutuhkan biaya hidup di Jakarta Rp 5 juta-Rp 6 juta per bulan.
”Bagaimana bisa hidup sejahtera jika satu keluarga memiliki banyak anak. Di keluarga miskin, misalnya, asupan gizi untuk anak-anaknya pun akan kurang. Pendidikannya juga kurang terjamin,” ujar Basuki.
Adapun Dien Emawati menyampaikan, hingga 2014 ditemukan beberapa indikator kependudukan, antara lain Jakarta bergerak ke arah yang buruk. Dari segi pertumbuhan penduduk, terjadi kenaikan 1,43 persen selama 2010-2014, naik dari 9,5 juta jiwa menjadi 10,2 juta jiwa.
Sementara itu, tingkat kelahiran di DKI selama 10 tahun terakhir naik dari 2,1 menjadi 2,3. Tingkat Unmet Need, pasangan usia subur yang belum terjangkau alat kontrasepsi, naik dari 6,9 persen menjadi 13,2 persen dari jumlah pasangan usia subur (PUS) sebanyak 1,3 juta jiwa.
Untuk mengendalikannya, kata Dien, BPMPKB akan melaksanakan beberapa kegiatan besar selama 2015 ini, yaitu gerebek kawasan urban yang meliputi rumah susun, daerah kumuh, pasar, dan permukiman di pinggir rel kereta. Pelayanan KB, salah satunya, akan diadakan di pasar.
Menurut Ambarahayu, tingkat kelahiran di Jakarta mestinya di bawah 2. Namun, sekarang tingkat kelahiran Jakarta malah naik menjadi 2,3. Ini disebabkan belum optimalnya petugas penyuluh lapangan KB (PLKB).
Terkait hal itu, kata Dien, sebanyak 450 orang PLKB yang terjun di Jakarta masing-masing diwajibkan menjaring 85 peserta KB baru. Namun, langkah itu tetap membutuhkan proses hingga tingkat kelahiran di Jakarta dapat ditekan.
Basuki menyampaikan, dibutuhkan setidaknya 10 tahun untuk menekan tingkat kelahiran menjadi 2,0.
Komuter
Masih terkait soal kependudukan, 1,38 juta orang dari Bodetabek datang ke Jakarta setiap hari untuk bekerja, sekolah, atau kursus. Sebagian besar perjalanan komuter masih diakomodasi dengan kendaraan pribadi.
Badan Pusat Statistik DKI Jakarta merilis, perjalanan komuter terbesar berasal dari Kota Bekasi, yakni 359.531 orang atau 26,02 persen. Komuter dari Kota Depok merupakan komuter terbanyak kedua yang mencapai 284.093 orang (20,55 persen), diikuti Kota Tangerang Selatan 210.875 orang (15,25).
”Komuter yang dimaksud adalah orang yang melakukan kegiatan di luar kabupaten/kota tempat tinggal, dan secara rutin pergi pulang ke tempat tinggal pada hari yang sama. Termasuk dalam komuter ini adalah warga DKI Jakarta yang bekerja di wilayah kota yang berbeda dengan tempat tinggalnya, di DKI Jakarta,” kata Kepala BPS DKI Jakarta Nyoto Widodo, Senin, dalam konferensi pers tentang komuter DKI Jakarta tahun 2014.
Survei dilakukan terhadap 13.120 rumah tangga sampel di 13 kabupaten/kota di Jabodetabek. Jumlah warga Jakarta yang berkegiatan di wilayah kota yang berbeda dengan tempat tinggalnya mencapai 1,05 juta orang. Jika dijumlahkan dengan komuter Bodetabek, ada 2,43 juta komuter di dalam wilayah Jakarta. Sebagian besar komuter beraktivitas di wilayah Jakarta Selatan (28,98 persen), Jakarta Pusat (26,84), dan Jakarta Timur (16,8).
Kepala Bidang Statistik Sosial BPS DKI Jakarta Sri Santo Budi Muliatinah mengatakan, 70,95 persen komuter Jabodetabek pergi ke lokasi kegiatan dengan kendaraan pribadi, dan 69,15 persen pulang juga dengan kendaraan pribadi. ”Lebih dari 56 persen komuter menggunakan sepeda motor, dan selebihnya memakai mobil,” ujarnya. (MDN/ART)
*Sumber: KOMPAS | Ilustrasi kawasan slum/wordpress.com