Suara Pembaruan — Salah satu elemen fundamental pertahanan sebuah negara adalah sektor pangan (pertanian). Sebab, hal itu terkait erat dengan kebutuhan paling mendasar dalam kehidupan manusia. Tanpa kecukupan pangan, mustahil negara tersebut mampu mewujudkan tujuan-tujuan pembangunan, bahkan sebaliknya menuju jurang kehancuran.
Sebagai negara agraris dengan potensi sumber pangan melimpah, sangat ironis jika Indonesia justru menjadi importir pangan. Hal ini akibat sektor pertanian belum mendapat perhatian memadai. Jika mata rantai produksi pertanian dibenahi, bukan mustahil Indonesia berbalik menjadi lumbung pangan yang tidak saja mencukupi kebutuhan domestik, tetapi lumbung pangan bagi dunia.
Persoalan pangan, harus menjadi agenda utama pemerintah baru mendatang. Sebab, fakta bahwa tantangan utama umat manusia di dunia di masa mendatang adalah sektor pangan. Seiring dengan pertambahan jumlah penduduk di dunia, kebutuhan pangan tentu saja meningkat. Di sisi lain, penyediaan pangan oleh negara-negara produsen relatif tetap.
Teori Thomas Robert Malthus kini menjadi kenyataan, bahwa pertumbuhan penduduk yang mengikuti deret ukur telah melampaui kemampuan atau pertumbuhan produksi pangan yang mengikuti deret hitung. Jika bangsa-bangsa di dunia gagal mengelola produksi pangan secara baik, bukan mustahil di masa mendatang akan terjadi peperangan memperebutkan sumber daya pangan. Dalam konteks inilah, Indonesia harus bersiap diri menghadapi tantangan global tersebut.
Untuk mewujudkan cita-cita Indonesia menjadi lumbung pangan, diperlukan kerja serius pemerintah. Beberapa agenda yang harus menjadi perhatian pemerintah adalah, pertama, menjamin ketersediaan lahan pertanian untuk menopang produksi pangan. Terkait hal itu, agenda reformasi agraria mutlak direalisasikan. Sebab, saat ini terjadi persoalan struktural di sektor pertanian. Salah satu indikatornya, 60 persen petani di Indonesia adalah petani gurem, dengan luas lahan hanya 0,3 hektare. Idealnya, kepemilikan lahan minimal 2 hektare per petani. Dengan demikian, produksi pertanian akan signifikan untuk menopang kesejahteraan petani dan memenuhi kebutuhan pangan nasional.
Semakin menyempitnya luas lahan pertanian, berdampak serius terhadap jumlah petani. Sensus pertanian 2013 menyebutkan, terjadi penurunan rumah tangga petani, dari 31,17 juta rumah tangga pada 2003, menjadi 26,13 juta rumah tangga pada 2013. Artinya dalam satu dekade Indonesia kehilangan 5,07 juta rumah tangga petani. Mayoritas dari mereka beralih profesi ke sektor perdagangan dan perindustrian, karena usaha pertanian tidak memberi output yang maksimal dengan luas lahan yang sangat kecil.
Jumlah rumah tangga petani tersebut, jika dibandingkan dengan luas lahan pertanian yang ada, sangat jauh dari ideal. Saat ini, Indonesia hanya memiliki 13,5 juta hektare luas panen gabah, sehingga wajar jika tiap rumah tangga petani hanya menggarap lahan rata-rata 0,3 hektare. Bandingkan dengan Thailand yang memiliki luas lahan panen gabah 9 juta hektare, sehingga setiap petani memiliki rata-rata 3 hektare lahan pertanian.
Dalam beberapa dekade terakhir, luas lahan pertanian di Indonesia terus menyusut. Diperkirakan, laju degradasi lahan pertanian mencapai 113.000 hektare per tahun. Hal itu akibat akselerasi pembangunan sektor lain, terutama sektor industri dan permukiman.
Kedua, pembenahan mata rantai produksi pertanian, mulai prapanen hingga pascapanen. Terkait hal ini, penggunaan bibit padi varietas unggul dan pemanfaatan teknologi pertanian harus dilakukan untuk meningkatkan produktivitas. Bibit varietas unggul harus digunakan, antara lain untuk menyesuaikan dengan perubahan iklim yang melanda dunia, yang telah memengaruhi musim tanam dan curah hujan di sentra-sentra pertanian.
Di samping itu, sudah saatnya memberikan sentuhan teknologi pada kegiatan prapanen dan pascapanen. Dengan teknologi diperkirakan bisa meningkatkan produksi beras 30 persen. Penggunaan mesin penggilingan padi modern, misalnya, memberikan efisiensi tinggi dan menghasilkan beras dengan tingkat kepecahan hanya 5 persen. Kemampuan mesin giling modern ini nyaris menghasilkan beras dengan zero waste
Penerapan teknologi pertanian, bisa menaikkan produktivitas padi dari 5,1 ton ke 5,2 ton per hektare. Kenaikan itu sudah cukup besar karena secara agregat akan mendongkrak tambahan produksi beras nasional 1,4 juta ton. Langkah ini tentu akan mendorong surplus beras yang tahun ini diperkirakan mencapai 5 juta ton, dari keseluruhan produksi gabah 69,8 juta ton atau setara 40 juta ton beras.
Namun disadari, penggunaan mesin penggilingan modern sangat mahal, sehingga tidak mungkin terjangkau oleh petani. Untuk itu, keterlibatan swasta, di antaranya PT Lumbung Padi Indonesia, sangat diharapkan memberi kontribusi terhadap produktivitas beras dan pangan nasional. Untuk menjadikan Indonesia sebagai lumbung pangan, tentu tak cukup hanya di sektor pertanian, khususnya beras. Secara simultan, pemerintah juga perlu membenahi pengelolaan dan produktivitas perkebunan dan perikanan. Dengan demikian, kedaulatan pangan benar-benar terwujud. []
*Sumber: Suara Pembaruan | Foto: Yahoo!