PERSOALAN politik agaknya masih menjadi panglima di negeri ini. Tengok saja selama kampanye yang telah berakhir pekan lalu, sangat sedikit persoalan kependudukan yang disinggung di atas panggung oleh para juru kampanye (jurkam).
Padahal, persoalan kependudukan yang tidak ditangani secara serius akan mengakibatkan di antaranya pertumbuhan kota-kota di negeri ini yang semakin tidak terkendali.
Kebijakan pembangunan yang lebih banyak terpusat di kota-kota besar ketimbang di desa, kian menambah rumitnya persoalan kependudukan. Dampaknya kemudian, terjadi ketimpangan ekonomi kota dan desa, lantas memicu urbanisasi yang sulit dibendung.
Ahli kependudukan Fakultas Geografi Universitas Gadjah Mada (UGM), Sukamdi di Jakarta, Senin (14/4) lalu, secara gamblang menyebutkan dua pertiga penduduk Indonesia pada 2035 diprediksi akan tinggal di kota. Ia juga menyebutkan, pola pertumbuhan kota-kota di Indonesia pada 2035 tidak akan berbeda dengan sekarang. Kota tumbuh merambat ke pinggiran, mengikis area pertanian dan mengubah desa menjadi kota.
Pusat pertumbuhan tetap berpusat di Pulau Jawa. Kepala Lembaga Demografi Universitas Indonesia (UI), Sonny Harry B Harmadi, dalam kesempatan yang sama menambahkan, pada suatu masa, Jawa akan menjadi pulau kota. Tidak akan ditemui adanya sawah dari satu kota ke kota lainnya.
Saat ini, separuh penduduk Indonesia tinggal di kota. Pada 2035, hampir 90 persen penduduk Jawa Barat tinggal di kota. Porsi penduduk kota di Banten 85 persen, DI Yogyakarta 84 persen, Jawa Timur 67 persen, dan Jawa Tengah 61 persen. Di luar Jawa, pertumbuhan masih akan terfokus pada kota-kota besar yang ada saat ini, seperti Medan, Makassar, Balikpapan, dan Denpasar.
Mengaca pada hitungan perkiraan tersebut, dapat disimpulkan pembangunan ternyata tidak sepenuhnya merata hampir di seluruh desa di negeri ini. Kue pembangunan yang dibuat pemerintah masih berkutat di kota-kota besar.
Kondisi itu melahirkan ketimpangan ekonomi yang berujung mendorong laju urbanisasi. Laju pertumbuhan penduduk kota memang lebih tinggi dibanding desa. Selain urbanisasi dan perubahan desa menjadi kota, tingkat kelahiran di kota pun tetap tinggi. Sebaliknya, tingkat kematiannya lebih rendah karena tingginya kesejahteraan dan adanya fasilitas kesehatan bermutu di kota.
Laju urbanisasi yang sulit dikontrol itu mengakibatkan penumpukan penduduk di kota-kota. Seperti diprediksi tadi, pada 2035 dua pertiga penduduk Indonesia bakal menetap di kota. Pembangunan fisik yang pesat di desa secara perlahan tetapi pasti telah menggusur lahan persawahan.
Munculnya kekeringan yang mengakibatkan panen gagal mengakibatkan harga beras naik. Banyak warga desa kemudian meninggalkan kampung halaman, pergi ke kota mencari pekerjaan. Terminal bus di daerah-daerah ramai. Begitu pula stasiun kereta api, dijejali penduduk desa.
Bagi kota yang menjadi sasaran penduduk desa, jelas ini masalah luar biasa. Daya tampung yang tak seberapa pada akhirnya melahirkan perkampungan kumuh di bantaran kali dan pinggir rel kereta api. Lapangan pekerjaan yang menipis menyebabkan munculnya pengangguran.
Bagi penduduk desa yang mencoba mengambil jalan pintas, menyebabkan angka kriminal meroket. Penyediaan pangan dan air bersih pun terancam. Potensi bencana pun meningkat akibat rusaknya lingkungan. Risiko stres dan penyakit perilaku juga naik. Persoalan gelandangan, pengemis, hingga tindak kriminal pun kian berat.
Tidak ada pilihan lain untuk membagi kue pembangunan lebih banyak ke desa-desa. Pemerintah daerah jangan terlalu terbuai dengan semangat otonomi daerah sehingga lupa mengantisipasi pergerakan penduduk antarkota. Semangat otonomi daerah itu seharusnya menjadi landasan untuk meningkatkan pembangunan di desa, bukan malah untuk dikorupsi.
Pemerintah juga harus membangun infrastruktur desa yang mutunya sama dengan di kota. Pemerintah telah menyodorkan Masterplan Percepatan dan Perluasan Pembangunan Ekonomi Indonesia (MP3EI), yang antara lain diharapkan ikut mendorong pertumbuhan sektor investasi di daerah. Hal itu tak mampu mengejar ketertinggalan pemerataan pembangunan di desa.
Siapa pun presidennya nanti, persoalan ketimpangan ekonomi antara desa dan kota yang dipicu urbanisasi harus menjadi perhatian serius. Ini menyangkut sosok perkembangan kota dan desa di masa mendatang, termasuk rakyat yang sandang, pangan, dan papannya harus dipenuhi. []
*Sumber: Tajuk Rencana Sinar Harapan, 19 April 2014