Metrotvnews.com, Jakarta: Pada era Orde Baru, Indonesia sempat menjadi anutan dunia lantaran dianggap sebagai negara yang berhasil menekan laju pertumbuhan penduduk lewat program Keluarga Berencana (KB).
Kegemilangan Indonesia dalam mengelola kependudukan, mengantarkan Presiden Soeharto mendapat penghargaan paling bergengsi di bidang kependudukan. Penghargaan United Nations Population Award diberikan oleh PBB di New York pada 1989.
Keberhasilan program pengendalian kependudukan semata-mata bukan berkat jasa almarhum Soeharto saja. Keberhasilan itu diraih secara bersama-sama. Kesuksesan diraih dari hasil perjuangan kader KB di desa-desa yang rela mensosialisasikan program tanpa dibayar. Selain itu juga ada dukungan ulama, Petugas Lapangan KB (PLKB), bidan desa keliling, dokter desa, pasangan usia subur peserta KB, dan lain-lain.
Jasa penggiat KB yang tidak kenal lelah mengembangkan program, dampaknya bisa dirasakan selang puluhan tahun kemudian sejak program KB mulai digelar pada 1970-an.
Menurut Kepala Badan Kependudukan dan Keluarga Berencana (BKKBN) Fasli Jalal, atas jasa para pejuang KB, berdasarkan Sensus Penduduk 2010, terbukti bahwa program KB bisa menekan sekitar 100 juta kelahiran.
Dengan laju pertumbuhan penduduk 2,4 persen, jumlah penduduk pada 2010 diprediksi mencapai lebih dari 300 juta jiwa. Kenyataannya, berdasarkan sensus penduduk 2010, penduduk Indonesia berjumlah 237,6 juta jiwa.
"Dengan penduduk saat ini saja, pemerintah sudah sibuk menyediakan kesediaan pangan, lapangan kerja, dan kebutuhan lainnya bagi rakyat. Bisa dibayangkan betapa repotnya jika jumlah penduduk saat ini tambah 100 juta lagi," ujar Fasli.
Namun sayang, pasca-1999 atau sejak era reformasi berjalan, semua program Orde Baru, bahkan yang baik seperti KB, disingkirkan. Imbasnya, program KB mengalami stagnasi selama 10 tahun terakhir. Jumlah penduduk kembali meningkat tajam. Imbasnya angka kematian ibu juga meninggi. Indonesia pun kembali disorot oleh dunia dalam bidang kependudukan, tapi bukan karena prestasinya, melainkan masalah-masalahnya.
Berkenaan dengan perayaan HUT ke-69 Kemerdekaan RI pada 17 Agustus nanti, menurut Fasli, menjadi momen yang tepat untuk menemukan kembali semangat perjuangan meraih keberhasilan di bidang kependudukan.
Sudah saatnya kesadaran masyarakat digugah lagi untuk membangkitkan program yang sangat berdampak bagi keberhasilan pembangunan dan kesejahteraan rakyat ini. Para kader, relawan, PLKB, dokter, dan bidan KB harus diciptakan kembali. Itu semua demi kemajuan bangsa di masa depan.
Berkenaan dengan bakal diberlakukannya ASEAN Free Trade Area (AFTA) yang dijadwalkan diterapkan pada 2015, program KB yang dapat mencetak SDM bangsa yang bermutu menjadi sangat relevan. Terlebih pada 2030 nanti, Indonesia akan mengalami kondisi bonus demografi atau suatu kondisi kelompok produktif (usia 19-60 tahun) lebih banyak daripada penduduk nonproduktif.
"Tadinya bonus demografi diproyeksi akan berlaku selama 10 tahun. Karena kelahiran kembali meningkat, bonus itu lebih pendek menjadi lima tahun mulai dari 2030," papar Fasli.
Agar bonus demografi tidak berubah menjadi bencana, lantaran SDM yang dicetak ternyata tidak berkualitas dan rendahnya daya saing bangsa menghadapi AFTA, suka atau tidak, program KB harus dibangkitkan kembali. Dengan perencanaan kelahiran, kualitas anak bangsa akan terjamin, lantaran pendidikan, gizi, dan lapangan kerja telah dipersiapkan lebih baik. [] Kesturi Haryunani
*Sumber: Metrotvnews.com