Jakarta, CNN Indonesia – Ratusan warga eks Gerakan Fajar Nusantara (Gafatar) yang dipindahkan Pemerintah dari Kalimantan mengalami kendala saat mengurus status kependudukan mereka di lokasi tujuan.
Menurut Peneliti dari Pusat Studi Kependudukan dan Kebijakan Universitas Gadjah Mada (PSKK UGM) Profesor Muhadjir Darwin, ratusan warga eks Gafatar tersebut sebenarnya telah tercatat sebagai warga Kalimantan sebelum direlokasi Pemerintah. Mereka bahkan sudah memiliki identitas berupa Kartu Tanda Penduduk dan Kartu Keluarga di Pulau Borneo.
Namun, setelah dipindahkan ke Pulau Jawa, warga eks Gafatar tersebut harus mengurus kembali status kependudukan baru mereka.
"Sistem KTP di Indonesia dibangun berdasarkan asumsi bahwa penduduk itu statis padahal, masyarakat kita semakin lama mobilitasnya semakin tinggi,” kata Muhadjir dalam keterangan tertulis yang diterima, Selasa (2/2).
Menurut Muhadjir, Pemerintah seharusnya mengubah sistem pendataan penduduk di Indonesia. Perubahan dibutuhkan untuk mengakomodasi keperluan warga yang mobilitasnya tinggi, dan untuk mencegah terjadinya masalah serupa saat relokasi kembali dilakukan di masa depan.
"Mobilitas adalah salah satu bentuk hak hidup. Maka sistem administrasi penduduk pun perlu dibangun atas dasar pemikiran ini, bahwa penduduk itu dinamis, bergerak, memiliki mobilitas, tidak stagnan tinggal di satu tempat," katanya.
Sistem berbasis social security number (SSN) seperti yang digunakan Amerika Serikat dipandang mampu menjadi solusi atas problem pendataan penduduk di Indonesia.
Muhadjir bercerita, di Negara Paman Sam identitas seorang warga adalah SSN. Hal tersebut juga berlaku bagi migran atau warga yang hanya menetap sementara waktu di Amerika.
"Data kependudukan terekam secara nasional dan terpadu sehingga sistem mampu mendeteksi siapa saja yang tinggal di negara tersebut, bahkan memantau mobilitasnya. SSN bisa digunakan untuk semua urusan administratif, seperti di bank, kantor, pemerintahan, sekolah, bahkan untuk urusan pemilihan umum, cukup dengan menunjukkan SSN," ujarnya.
Pemerintah pun diminta tetap memperhatikan hak warga eks Gafatar di lokasi tujuan relokasi mereka saat ini. Menurut Muhadjir, pandangan bahwa Gafatar merupakan organisasi yang memiliki keyakinan berbeda tak bisa menjadi dasar Pemerintah untuk mendiskriminasi warga bekas pengikutnya.
"Mereka sebagai warga negara pun wajib untuk tidak menimbulkan kerusakan, tidak melakukan aksi yang merugikan publik, ikut menciptakan suasana yang damai dan tentram di masyarakat, itu sudah cukup,” katanya. (pit) []
*Sumber: CNN Indonesia | Photo pemulangan warga eks Gafatar/CNN Indonesia