JAKARTA, KOMPAS — Keberadaan RI sebagai negara penganut asas kewarganegaraan tunggal membuat RI belum mampu menerapkan kewarganegaraan ganda seumur hidup. Sikap RI ini berpotensi menimbulkan masalah pada kemudian hari karena globalisasi membuat semakin banyak orang asing datang dan menikah dengan WNI.
Ketua Bidang Humas dan Advokasi Masyarakat Perkawinan Campuran Indonesia Rulita Anggraini mengatakan hal itu dalam acara Sosialisasi Peraturan Menteri No 22/2012 tentang Tata Cara Pendaftaran Anak Berkewarganegaraan Ganda dan Permohonan Fasilitas Keimigrasian, di Jakarta, Senin (8/9).
Sistem dan birokrasi di Indonesia, kata Rulita, juga belum memadai untuk menjalankan sistem kewarganegaraan ganda. ”Antardirektorat kementerian saja berbeda sikap terhadap implementasi status kewarganegaraan ganda dan proses mengurusnya. Ini belum termasuk anak WNI di luar negeri. Kebijakan Kementerian Luar Negeri juga berbeda,” kata Rulita. Lagi pula, tambah Rulita, sebagian masyarakat belum bisa menerima pernikahan beda kewarganegaraan.
Perbedaan sikap Direktorat Catatan Sipil Kemendagri serta Direktorat Jenderal Imigrasi dan Direktorat Administrasi Hukum Umum Kemenkumham terkait anak hasil pernikahan beda warga negara diakui Kepala Kantor Imigrasi Kelas 1 Jakarta Selatan Yudi Kurniadi. Perbedaan itu, kata Yudi, khususnya dalam menyikapi status anak hasil pernikahan beda warga negara yang lahir sebelum 2006.
”Anak yang lahir sebelum 2006 dan belum mengurus surat keputusan status kewarganegaraan gandanya, kami anggap mereka WNA, sementara Direktorat Administrasi Hukum Umum memberikan mereka status warga negara ganda,” ujar Yudi.
Masalah serupa tidak dialami anak hasil pernikahan beda warga negara yang lahir setelah 2006. Sebab, sejak itu sudah berlaku UU Kewarganegaraan No 12/2006. Pemberlakuan UU itu membawa konsekuensi, semua anak hasil pernikahan beda warga negara terkategori berkewarganegaraan ganda.
Menurut Yudi, perbedaan sikap terhadap UU menyebabkan data jumlah anak berkewarganegaraan ganda, WNI, dan WNA jauh dari pengawasan. ”Tiap direktorat memiliki jumlah yang berbeda,” ujarnya.
Fakta itu membuat pelaksanaan UU Kewarganegaraan No 12/2006 yang sudah berjalan delapan tahun kurang maksimal. Direktur Izin Tinggal dan Status Keimigrasian Kemenkumham Firdaus Amir menyatakan, dua tahun terakhir pihaknya gencar menyosialisasikan kepada orangtua mengurus kartu keimigrasian, akta kelahiran status anak kewarganegaraan ganda, dan status anak di usia 21 tahun. (A05)
*Sumber: Harian KOMPAS, 9 September 2014 | Foto: Imigrasi Depok