BOGOR, KOMPAS – Kemajuan Indonesia amat bergantung pada kesejahteraan dan kebahagiaan 67 juta keluarga. Namun, kini kondisi ketahanan keluarga melemah karena orangtua sibuk mencari nafkah sehingga kerap melupakan pengasuhan anak.
Menurut Kepala Badan Kependudukan dan Keluarga Berencana Nasional (BKKBN) Fasli Jalal, saat Deklarasi Keluarga Indonesia, di Bogor, pekan lalu, keluarga ibarat sel, sedangkan negara ibarat tubuh. Jika sel atau keluarga rusak karena tak sejahtera dan tidak bahagia, tubuh atau negara akan sakit.
Fasli mengatakan, 67 juta keluarga atau 250 juta jiwa warga harus dirawat agar sehat, sejahtera, dan bahagia. Kemajuan teknologi, informasi, dan pengaruh kebudayaan mengubah cara berkeluarga. Dulu keluarga dan lingkungan berperan penting mendukung dan menutupi kekurangan keluarga inti yang terdiri dari orangtua serta dua anak. Perkembangan anak dan remaja terpantau dan terantisipasi.
Namun, kini keluarga inti bertahan sendiri. Orangtua terpaksa bekerja keras karena tuntutan ekonomi sehingga kerap melupakan pengasuhan anak-anak. Akibatnya, perkembangan anak terganggu, berperilaku nakal, atau bertindak melawan aturan.
Karena itu, orangtua harus menyadari pentingnya komunikasi dengan anak. Sesibuk apa pun perlu disediakan waktu bermutu untuk mengasuh. Keluarga perlu saling menyayangi dan ramah di lingkungan internal dan tetangga. Kini di Indonesia ada 28 juta anak balita yang butuh panutan untuk pertumbuhan.
Bahagia
Survei Badan Pusat Statistik pada awal 2014 mencakup 2.900 sampel menyebut, keluarga dengan indeks kebahagiaan tertinggi jika punya dua anak. Ini lebih baik daripada lajang, menikah tetapi tak punya anak, beranak satu atau lebih dari dua. Orangtua dengan dua anak adalah komposisi ideal, seimbang dan tak terlalu membebani ekonomi.
BKKBN pernah melansir data, jika pertumbuhan penduduk tak dikendalikan, Indonesia akan menghadapi ledakan pada 2035 dengan 450 juta jiwa. Padahal, proyeksi awal, pada 2035, Indonesia berpenduduk 305 juta jiwa. Ledakan bisa terjadi jika keluarga punya banyak anak. Keluarga akan menanggung beban berat perekonomian dan pengawasan.
Dekan Fakultas Ekologi Manusia IPB Arif Satria mengatakan, kemajuan negara diukur dari indeks kebahagiaan. Negara bagus jika warga mendapat pekerjaan, lingkungan dan keluarga bagus. Antarwarga tumbuh sikap percaya tinggi sehingga solidaritas dan karakter kuat.
Guru besar Ilmu Keluarga IPB Euis Sunarti menambahkan, pemerintah perlu mewujudkan program penyediaan pekerjaan bagi suami ataupun istri dengan penghasilan cukup dan suasana kondusif. (BRO)
*Sumber: Harian KOMPAS, 30 Juni 2014 | Foto: