Yogyakarta, PSKK UGM – Hari Kependudukan Dunia diperingati setiap 11 Juli. Pada 2013 UNFPA atau lembaga Persatuan Bangsa Bangsa yang fokus terhadap isu kependudukan dunia, menyoroti persoalan kehamilan yang dialami oleh remaja perempuan. Menurut laporan UNFPA, ada sekitar 16 juta remaja perempuan usia 15-19 yang melahirkan setiap tahunnya. Komplikasi kehamilan serta kendala dalam proses kelahiran menjadi penyebab utama kematian pada remaja perempuan terutama bagi mereka yang berada di negara-negara berkembang.
Kehamilan pada remaja perempuan tidak hanya merupakan masalah kesehatan. Lebih jauh, ini merupakan masalah pembangunan. Kasus kehamilan usia dini berkaitan erat dengan persoalan kemiskinan, ketidaksetaraan gender, kekerasan, pernikahan paksa yang dialami anak-anak, tidak seimbangnya kekuasaan antara remaja perempuan dan pasangan laki-laki mereka, kurangnya pendidikan, hingga gagalnya sistem maupun institusi dalam melindungi hak-hak mereka.
Hal serupa juga disampaikan oleh Dr. Agus Heruanto Hadna, Kepala Pusat Studi Kependudukan dan Kebijakan UGM yang juga menjabat sebagai Ketua Koalisi Kependudukan Provinsi DIY dalam acara talkshow “Bincang Hari Ini” di stasiun Jogja TV, Rabu (10/7) lalu. “Untuk Yogyakarta, kalau melihat data-datanya, memang setiap tahun terjadi peningkatan terhadap jumlah remaja perempuan yang menikah di usia dini. Ini tentu menjadi keprihatinan kami semua yang bergelut di masalah kependudukan karena begitu riskannya pernikahan usia dini. Ini bukan hanya soal kesehatan maupun kesiapan fisik para remaja perempuan, tetapi juga ada persoalan ekonomi, kesempatan pendidikan, dan lain sebagainya.”
Untuk mengatasi persoalan kasus kehamilan usia dini pada remaja perempuan, memang diperlukan keterlibatan dan komitmen semua pihak. Pemerintah harus memberlakukan aturan mengenai batas usia minimal pernikahan, yakni sampai 18 tahun. Selain itu, baik remaja perempuan maupun laki-laki perlu diberikan pendidikan kesehatan reproduksi yang komprehensif. Informasi serta pengetahuan yang cukup dibutuhkan agar para remaja mampu mengenal proses perkembangan dan perubahan di dalam tubuhnya, paham akan kemungkinan resiko, serta tahu cara-cara pencegahan.
“Jadi isu tentang kesehatan reproduksi di Indonesia, dan banyak di negara-negara berkembang, masih dipandang sebagai isu yang sensitif. Banyak orang masih menganggap jika membicarakan hal ini adalah tabu. Padahal, tidaklah demikian. Jika dilihat, pengetahuan anak-anak remaja tentang seks, kesehatan reproduksi bukan dari keluarga mereka melainkan dari teman sebaya, bahkan media seperti internet yang sangat banyak serta mudah diakses. Iya jika informasi tersebut tepat, jika tidak tepat maka riskan juga,” jelas Hadna.
Saat ini peran dan fungsi keluarga dinilai kurang dalam memberikan pemahaman serta pendidikan tentang seks maupun kesehatan reproduksi. Padahal, menurut Hadna, peran ibu terutama, sangatlah potensial dalam melakukan edukasi. Perlu kiranya menciptakan pola keluarga yang tidak lagi memandang persoalan ini sebagai hal tabu untuk dibicarakan.
Dalam talkshow bertema “Pemberdayaan Remaja Hindari Kehamilan yang Tak Diinginkan” ini juga hadir Kepala Badan Kependudukan dan Keluarga Berencana Nasional (BKKBN) Pusat, Prof. Dr. Fasli Jalal, Ph.D. “Terkait isu ini memang BKKBN merasa pendekatan oleh teman sebaya dirasa sudah tepat, selain keluarga itu tadi ya. Kita melihat cara mereka melihat serta rujukannya itu lebih kepada temannya. Oleh karena itu, kita kembangkan program yang namanya Generasi Berencana atau Genre. Melalui program ini, kita mengajak sekolah-sekolah, kampus-kampus, dan tidak menutup kemungkinan organisasi pemuda, untuk turut serta mengembangkan Pusat Informasi dan Konseling Remaja atau PIK-R.”
Melalui PIK-R ini, para remaja diberikan pelatihan sehingga berikutnya mereka dapat menjadi konselor bagi teman sebayanya yang lain. Di pusat informasi dan konseling ini pula diselenggarakan kegiatan-kegiatan yang menyenangkan dan menjadi “pintu masuk” bagi diskusi-diskusi tentang kesehatan reproduksi.
“Kita tetap berupaya agar para remaja kita bisa mencegah dirinya dengan norma agama, norma budaya, disertai dukungan dari teman-teman sebaya, serta keluarga. Penting sebetulnya bagi para remaja kita untuk mengetahui bagaimana merencanakan kapan dia akan berkeluarga, pendewasaan usia perkawinan, kapan menentukan kesepakatan tentang anak pertama, dan kapan dia memilih untuk membentuk keluarga berencana. Harapannya nanti yang tercipta itu adalah betul-betul keluarga yang Insya Allah bahagia dan sejahtera. Dan itu dimulai dari remaja.” []