Yogyakarta, PSKK UGM – Politik dan komedi memiliki sejarah panjang dan bertingkat. Dalam beberapa dekade terakhir, komedi dan politik telah berubah dari teman canggung menjadi aliansi yang tak terpisahkan.
Beberapa waktu lalu terjadi unjuk rasa di berbagai wilayah Indonesia. Pengunjuk rasa turun ke jalan menggelar demonstrasi penolakan UU PKS, UU KPK dan UU RKUHP.
Salah satu sisi menarik selama protes tersebut dapat dilihat dari poster-poster “lucu” bertebaran yang dibawa para demonstran ke jalan. Para generasi Z ini berusaha menyampaikan aspirasi politik mereka dengan cara baru, yakni menggunakan poster atau spanduk demo yang dikemas dalam gaya humor.
Terkait hal tersebut, Sakdiyah Ma’ruf saat menjadi pembicara seminar di PSKK UGM bertajuk “Melawan dengan Gembira: Humor dalam Komunikasi Politik Kebangsaan,” Senin (21/10), menyampaikan bahwa humor saat ini sedang mendapatkan momentumnya.
Berbeda dari pemuda tahun 1998, menurut Sakdiyah, Generasi Z yang berpartisipasi untuk pertama kalinya dalam demokrasi (yaitu memberikan suara pada pemilihan) dan menjaga demokrasi (protes dan demonstrasi) tampak tidak hanya fokus pada masalah yang mereka perjuangkan, tetapi juga membawa isu bereferensi acak maupun pribadi.
“Kalimat seperti, ‘perawatan kulit saya mahal, jika saya sampai turun ke jalan pasti ada masalah serius’, itu mewarnai demonstrasi di seluruh Indonesia dan membuat rangkaian protes tahun ini bersemangat dan hal yang terpenting adalah viral,” jelas Sakdiyah.
Sakdiyah memaparkan empat karakter generasi Z: Mereka berkelompok tetapi ekspresinya sangat individual karena bagi mereka bertindak itu sangat penting, bukan partisan, dialog untuk menyelesaikan konflik dan membuat keputusan secara pragmatis.
Poster-poster yang Gen Z bawa turun ke jalan mencuri perhatian masyarakat dengan humor unik dan pesan-pesan perayaan dan partisipasi mereka. Namun poster-poster tersebut juga mungkin tidak meningkatkan kesadaran publik terkait isu-isu utama protes.
“Namun, mereka (domonstran) mengirim pesan keras dan jelas bahwa generasi baru hidup dan sehat, serta siap untuk bertarung dengan cara apapun yang mereka inginkan,” ujarnya.
Pada Seminar yang dihadiri mahasiswa dan peneliti berbagai bidang ini, Sakdiyah juga memaparkan, tulisan pada poster demo itu memiliki empat kategori; Fokus Isu, Budaya Pop, Referensi Kehidupan Pribadi dan Acak.
Poster Fokus Isu memiliki referen terhadap kondisi politik yang mereka alami, seperti kalimat, “Pak Polisi Jangan Persekusi saya! Saya Ponakan Pak Tito”. Kemudian terdapat Budaya Pop dimana apresiasi disampaikan dengan menyertakan tren terkini seperti kalimat, ”Drama Korea Tak Seasik Drama DPR”.
Sementara kategori Referensi Kehidupan Pribadi, yakni ketika poster memiliki referen terhadap masalah pribadi seperti, “Cukup Cintaku yang Kandas, KPK Jangan!”. Kemudian kategori Acak memiliki referen acak yang tidak berkaitan langsung dengan konteks demonstrasi, misalnya, “Ibuk, Anakmu Pengen Rabi”.
Humor bukan sekedar guyon belaka, tetapi sebuah entitas yang berarti, terutama dalam kontestasi politik untuk menyuarakan dan mendapat perhatian dari penguasa.
Humor juga dapat membantu orang mendapatkan perspektif, mencerna masalah, dan melepaskan ketegangan dalam situasi kecemasan, kebingungan dan keputusasaan.
Saling mengakui diri lemah melalui humor adalah senjata paling ampuh menunjukkan kemanusiaan, kedewasaan berpolitik dan juga penghargaan terhadap kecerdasan rakyat. “Kita mengerti kok, Bahasa-bahasa satir dan metafor, yang tidak kita ngerti itu adalah bahasa kebencian,” ujarnya.