HARI KEPENDUDUKAN DUNIA 2017: Mendorong Keterlibatan Aktif Laki-Laki dalam Program KB

12 Juli 2017 | admin
Berita PSKK, Main Slide, Media, Siaran Pers

Yogyakarta, PSKK UGM – Program Keluarga Berencana (family planning) bukanlah semata-mata tanggung jawab perempuan. Isu pemberdayaan perempuan di dalam program KB perlu dipahami dengan benar agar tidak terjadi pandangan yang bias gender.

Bagaimanapun, keterlibatan serta kemitraan penuh di antara perempuan dan laki-laki adalah hal yang penting di dalam upaya pengendalian penduduk maupun peningkatan kualitas hidup. Isu ini kemudian menjadi isu utama dalam rangka Hari Kependudukan Dunia yang jatuh pada 11 Juli tahun ini.

Peneliti Senior Pusat Studi Kependudukan dan Kebijakan Universitas Gadjah Mada yang juga memiliki perhatian terhadap isu-isu gender dan kesehatan reproduksi, Prof. Dr. Muhadjir Darwin, M.P.A. menyampaikan, upaya peningkatkan kapasitas perempuan di dalam mengambil keputusan bagi dirinya, khususnya dalam hal seksualitas dan reproduksi perlu terus didorong. Namun, meningkatkan keterlibatan laki-laki juga perlu dilakukan demi keberhasilan program kependudukan jangka panjang.

“Di dalam praktek rumah tangga, perempuan seringkali tidak punya cukup otoritas di dalam pengambilan keputusan. Contoh yang menonjol misalnya di dalam hubungan seks, pemilihan dan penggunaan alat kontrasepsi hingga keputusan untuk melanjutkan atau mengakhiri kehamilan,” kata Muhadjir.

Data Survei Demografi dan Kesehatan Indonesia (SDKI) 2012 menunjukkan masih rendahnya partisipasi laki-laki di dalam penggunaan metode kontrasepsi. Penggunaan metode kontrasepsi oleh laki-laki masih sangat terbatas di antara pasangan suami istri di Indonesia. Di antara laki-laki berstatus kawin usia 15-54 tahun, yang melaporkan pemakaian kontrasepsi kondom hanya 3 persen dan senggama terputus 1 persen. Sementara untuk metode kontrasepsi seperti sterilisasi sangat kecil, hanya kurang dari 1 persen.

Masih berdasarkan sumber data yang sama, jumlah perempuan berstatus kawin usia 15-54 tahun yang menggunakan kontrasepsi adalah sebanyak 62 persen. Sebagian besar dari mereka menggunakan metode kontrasepsi modern (58 persen) seperti suntikan KB (32 persen), pil KB (13,6 persen), IUD (4 persen), susuk KB (3,3 persen), dan sterilisasi perempuan (3,2 persen). Untuk metode suntik KB paling banyak digunakan oleh perempuan di bawah usia 30 tahun. Sementara pada kelompok perempuan dengan usia yang lebih tua (30-44 tahun) selain suntikan, memakai pil dan metode kontrasepsi jangka panjang seperti IUD, implan, dan sterilisasi perempuan.

Seperti pada kelompok laki-laki yang belum menikah, data tentang penggunaan kontrasepsi pada perempuan yang belum menikah juga terbatas. Keterbatasan data tersebut berkelindan pula dengan persoalan akses yang dihadapi oleh kelompok usia subur yang belum menikah. Bukan hanya akses terhadap informasi tentang kesehatan reproduksi yang benar melainkan juga akses terhadap alat kontrasepsinya sendiri.

“Akses dan alat kontrasepsi itu sebetulnya hak siapa? Kalau di Indonesia, hal itu masih menjadi hak pasangan yang terikat dalam hubungan perkawinan. Padahal, kehamilan juga berpotensi terjadi pada mereka yang belum menikah, namun telah aktif secara seksual (premarital),” kata Muhadjir lagi.

Terlepas dari persoalan moral, baik dan buruk, Muhadjir menambahkan, hubungan seksual di luar pernikahan harus diakui ada bahkan angkanya cukup tinggi. Sayangnya, kelompok ini masih berada di luar target program KB. Ada kekhawatiran apabila masuk menjadi target program, pemerintah akan disebut seperti melegalkan perbuatan zina.

“Ketiadaan akses informasi dan pelayanan untuk kontrasepsi mendorong terjadinya kehamilan yang tidak dikehendaki. Padahal, aborsi kerap terjadi pada kehamilan yang tidak dikehendaki. Aborsi dilarang, akses terhadap kontrasepsi ikut dihilangkan. Ini ambigu,” terang Muhadjir.

Ada beberapa NGO/LSM yang giat melakukan advokasi terhadap persoalan keterbatasan akses informasi dan pelayanan kontrasepsi. Namun, seberapa jauh topangan pemerintah terhadap upaya-upaya tersebut masih jadi pertanyaan. Pemerintah khususnya Badan Kependudukan dan Keluarga Berencana Nasional (BKKBN) sebetulnya dapat bersinergi dengan NGO/LSM untuk menjangkau mereka yang tidak masuk dalam target program KB.

Tantangan radikalisme

Selain soal akses informasi dan pelayanan kontrasepsi, isu-isu kependudukan juga menghadapi tantangan lainnya, yakni tren radikalisme. Di Indonesia, pandangan agama cukup berpengaruh terhadap terbentuknya pendapat publik untuk isu seperti keluarga berencana.

Muhadjir menegaskan, pemerintah seharusnya dapat lebih pro aktif menangkal keberadaan kelompok serta paham-paham radikalnya. Upaya-upaya deradikalisasi perlu dilakukan untuk mereduksi paham radikal sehingga menjadi moderat kembali dengan kultur tanpa kekerasan yang mengedepankan toleransi serta dialog.

Dalam konteks KB, kelompok-kelompok radikal secara terang-terangan melalui media informasi yang mereka miliki, aktif menganjurkan orang untuk tidak melakukan KB, bahkan mendorong orang untuk memiliki banyak anak. Penggunaan alat kontrasepsi dinilai oleh mereka sebagai hal yang haram.

“Indonesia perlu belajar dari apa yang terjadi di Mesir saat ini dimana kelompok-kelompok ekstrim radikal gencar melancarkan aksi teroris. Mereka itu anti terhadap apa saja. Jika radikalisme semakin kuat, maka semua program pemerintah akan mental. KB hanya salah satunya saja,” tegas Muhadjir lagi. [] Ilustrasi keluarga berencana/the health site