Yogyakarta – Pusat Studi Kependudukan dan Kebijakan (PSKK) UGM mengadakan rapat kerja 2022 di Hotel Grand Rohan, Yogyakarta pada 27-28 Januari 2022. Dalam salah satu rangkaian rapat kerja ini adalah, PSKK UGM mengadakan sesi Sharing Publikasi International dengan mengundang Prof. Dr.
Media
Pusat Studi Kependudukan dan Kebijakan (PSKK) UGM menggelar seminar online internasional bertajuk “The Dynamics of International Migration during Covid-19 Pandemic: Multiple Perspective”. Pada seminar ini, PSKK mengundang tiga pembicara ahli yaitu Prof Aris Ananta (president of Asian Population Assosiation), Salman Al Farisi (Ambassador of the Republic of Indonesia to South Africa), dan Anis Hidayah (Head of Center for Research and Migration Studies Migrant CARE).
CPPS UGM – Sektor kependudukan seringkali dianggap berkaitan erat dengan terminologi kebijakan publik. Demeny (1988) mendefinisikan sektor kependudukan sebagai kegiatan pemerintah dengan perencanaan pembangunan yang dipahami dan dipraktikkan sebagai seperangkat rencana sektoral yang terkoordinasi secara terpusat. Kedekatan kependudukan dengan kebijakan juga terlihat dari kebijakan-kebijakan pangan karena kependudukan juga berkaitan erat dengan ketersediaan pangan, sehingga Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) ketika itu membentuk United Nations Fund for Population Activities (UNFPA) (Bongaarts, 1994).
Kedua definisi tersebut memperlihatkan bahwa sektor kependudukan dalam kerangka kebijakan publik telah diterjemahkan ke dalam konteks kelembagaan dan sistem. Kebijakan Kependudukan yang sering diterjemahkan ke dalam kedua konteks tersebut menjadikan diskusi mengenai kebijakan kependudukan sebagai studi empiris, seperti studi mengenai karakteristik demografi, kondisi sosial-ekonomi, akses transportasi, lingkungan, dan pembangunan (Alvarez-Diaz et al., 2018). Dalam tataran yang lebih praktikal, diskusi Kebijakan Kependudukan juga termasuk seremonial kegiatan sistem dan kelembagaan.
Sebagai contoh, dalam konteks Indonesia, kebijakan kependudukan secara serius dipikirkan ketika Pemilihan Umum (Pemilu) akan dilakukan. Keseriusan pendataan menjelang Pemilu tidak lepas dari partisipasi penduduk dalam memilih sebagai kesuksesan demokrasi yang diterjemahkan ke dalam Pemilu. Dengan demikian, persoalan Daftar Pemilih Tetap (DPT) di dalam Kepemiluan menjadi persoalan laten bagi penyelenggaraan Pemilu (Prayudi, 2018). Lebih jauh, keseriusan memikirkan kebijakan kependudukan juga penting bagi kepentingan pemerintah untuk memperbarui dan menjaga data kependudukan agar tidak jatuh ke tangan kepentingan tertentu di luar konteks Kepemiluan.
Keseriusan juga ditemui di dalam kebijakan asuransi kesehatan. Hal ini tidak terlepas dari kewajiban pemerintah untuk memberikan jaminan sosial pokok bagi semua orang dan memberikan standar kehidupan yang memadai kepada semua orang agar dapat memperoleh layanan kesehatan serta kesejahteraan (Direktorat Perlindungan dan Kesejahteraan Masyarakat Bappenas, 2014). Jangkauan semua orang mengharuskan pemerintah untuk melakukan pendataan kependudukan dengan sistematis dan masif dengan menempatkan pendudukan tidak hanya dengan identitasnya, tetapi juga dengan tingkat ekonomi.
Ditinjau dari contoh-contoh tersebut, dapat terlihat bahwa pemerintah perlu melakukan pendataan kependudukan secara masif, cepat, dan tepat. Data-data tersebut akan sangat penting bagi pemerintah untuk memperbarui data dalam konteks peningkatan DPT di dalam Pemilu, termasuk memberikan perlindungan sosial kepada penduduk. Kebutuhan data kependudukan secara cepat, tepat, dan luas ini dapat dipecahkan melalui pemanfaatkan big data.
Pemanfaatan big data di dalam Kebijakan Kependudukan merupakan cara pandang baru di dalam kebijakan kependudukan. Cara pandang ini memungkinan pemerintah untuk mengawasi penduduknya secara real-time. Sebagai contoh, penelitian Firdaus & Wijayanto (2020) menunjukkan bahwa utilitas big data, seperti mobilitas penduduk berbasis ponsel, dapat digunakan untuk melihat kepatuhan individu terhadap protokol kesehatan di masa pandemi COVID-19. Penelitian ini memperlihatkan bahwa pemanfaatan big data sangat bermanfaat untuk melihat bagaimana efektifitas kebijakan lainnya telah berjalan, dalam hal ini adalah protokol kesehatan COVID-19. Dengan demikian, pemanfaatan dan pembangunan big data ini penting untuk dikembangkan di dalam kerangka Kebijakan Kependudukan.
Secara garis besar, tulisan ini mencoba untuk mengupas pemanfaaatan big data di dalam Kebijakan Kependudukan melalui beberapa tiga hal. Pertama, potensi pemanfaatan big data melalui media sosial dan ponsel sebagai pembangunan Kebijakan Kependudukan. Kedua, tulisan ini akan menggunakan contoh kebijakan pensiun sebagai dasar penjelasan bagaimana big data digunakan. Ketiga, tulisan ini menekankan pentingnya membangun demografi digital sebagai penerjemahan produk dari big data. Pembangunan demografi digital ditujukan tidak hanya untuk kepentingan membangun data hidup, tetapi juga menunjukkan bahwa kebijakan berbasis data multilinier akan menghasilkan kebijakan yang komprehensif dengan mengambil contoh mengenai pensiun.
Pemanfaatan Big Data
Pemanfaatan big data dapat dijadikan pijakan untuk keperluan memantau pelaksanaan kebijakan. Utilisasi big data ini tidak terlepas dari beberapa hal. Pertama, peristiwa kependudukan hampir terjadi setiap hari pada spektrum yang luas, baik sosial maupun ekonomi. Dinamika setiap hari ini tidak bisa lagi direspons dengan Kebijakan Kependudukan yang manual.
Kedua, hampir setiap penduduk dunia terhubung dengan internet dan memiliki ponsel sendiri. Data dari We Are Social (2021) menyebutkan bahwa per Januari 2021, terdapat sekitar 4,66 miliar orang di seluruh dunia menggunakan internet, naik 316 juta (7,3 persen) sejak tahun lalu. Data tersebut juga memaparkan bahwa pada tahun yang sama, pengguna ponsel mencapai 5,22 miliar orang dengan pertumbuhan sebesar 1,8 persen (93 juta) sejak Januari 2020. Sementara itu, pengguna media sosial juga meningkat sebesar 490 juta selama 12 bulan terakhir dan menjadi sebanyak 4,20 miliar pengguna.
Data-data tersebut menunjukkan bahwa terdapat potensi besar untuk mencermati dinamika kependudukan melalui pengawasan terhadap aktivitas-aktivitas sosial penduduk di media sosial dan ponsel. Langkah ini memungkinkan untuk dilakukan, mengingat internet, ponsel, dan media sosial memiliki tautan satu sama lain. Ketiganya tidak jarang melakukan pembaruan berkala terhadap aktivitas sosial penggunanya dan akan menanyakan keaktifan pemilik akun ketika tidak aktif selama beberapa hari atau minggu.
Ketiga, basis pembangunan big data dapat memperkuat kebijakan berbasis data. Hal ini tidak terlepas dari fakta bahwa big data mampu merangkum berbagai jenis data yang saling terkait ke dalam suatu klaster kebijakan. Klaster kebijakan dipahami sebagai serangkaian data yang terkait satu sama lain, memiliki kesamaan pola, dan dapat ditarik benang merahnya di dalam kerangka geografis dan organisasi yang saling terhubung dengan aktor-aktor terkait (The Innovation Policy Platform, 2010). Hal ini penting untuk membangun mekanisme situasional. Ketika nantinya big data dalam sektor kependudukan dapat dikembangkan, maka mekanisme kependudukan didasarkan kepada situasi penduduk itu sendiri. Misalnya, untuk melihat diferensiasi pendapatan berdasarkan gender, maka data digital kependudukan melalui sosial media berupa pengeluaran belanja daring, data perbankan elektronik, dan data kependudukan Kartu Tanda Penduduk (KTP) dapat dikombinasikan. Dengan demikian, kebijakan yang diambil bisa komprehensif.
Setelah mencermati utilitas big data tersebut, maka sebenarnya terdapat beberapa peluang pengembangan big data. Di dalam tulisan ini, akan dijelaskan potensi big data sebagai basis pengembangan kebijakan pensiun dan pembangunan demografi digital.
Kebijakan Pensiun
Pengembangan big data pada akhirnya juga penting bagi pembangunan manusia secara langsung. Hal ini penting karena bagi negara-negara berkembang, kebijakan pensiun sering tidak sesuai dengan pengabdian dan kinerja seseorang. Oleh sebab itu, seseorang terpaksa untuk terus memperpanjang karirnya seumur hidup. Padahal, bisa jadi perpanjangan masa karir tidak sesuai dengan produktivitas orang tersebut. Hal ini berbeda dengan sistem di negara-negara maju di mana penghargaan seseorang didefinisikan secara jelas sesuai dengan pengabdian dan kinerja. Dengan demikian, ketika memasuki masa pensiun, orang tidak memiliki kekhawatiran.
Fakta-fakta tersebut sebenarnya membuka celah bagi big data untuk dapat membangun literasi dan sekuritas pendapatan. Potensi risiko pendapatan dan pengeluaran melalui riwayat transaksi belanja daring misalnya, bisa dikoneksikan dengan gaji yang diterima oleh seseorang. Basis crossing data ini akan menjadi penentuan besaran take home pay seseorang beserta dengan peluang-peluang investasi ke depannya ketika orang tersebut pensiun.
Lebih lanjut, big data juga dapat dimanfaatkan untuk mengaitkan struktur finansial kebijakan pensiun dengan tingkat edukasi seseorang, termasuk tingkat kebutuhan seseorang, kesesuaian keterampilan seseorang dengan kebutuhan kerja terkini melalui data-data situs LinkedIn, misalnya. Dengan demikian, orang yang akan pensiun dapat direspons dengan investasi lainnya, salah satunya adalah dengan bekerja melalui platform digital sebagai pekerja lepas atau lazim disebut digital nomad.
Pembangunan Demografi Digital
Pembangunan demografi digital juga merupakan salah satu pengembangan yang dapat dilakukan dengan basis big data. Hal ini tidak terlepas dari urgensi pembangunan big data dan perumusan kebijakan berbasis data. Lebih jauh, pembangunan demografi digital diperlukan untuk membuat kebijakan yang tidak hanya berbasis data, tetapi juga komprehensif.
Pembangunan demografi digital diperlukan untuk membangun data hidup dan merumuskan kebijakan berbasis data multilinier dan komprehensif. Pembangunan demografi digital mirip dengan sistem sekuritas sosial yang dibangun di Tiongkok. Sistem sekuritas sosial yang dibangun di Tiongkok berhasil menurunkan angka kemiskinan ketika penduduk-penduduk yang tidak terjangkau oleh kebijakan dan layanan publik di Tiongkok dapat diidentifikasi melalui lokasi terkini penduduk atau citra satelit untuk kemudian diintervensi kebijakan penanggulangan kemiskinan oleh Pemerintah Tiongkok (Primayanti et al., 2017).
Pemanfaatan ini dapat dilakukan di Indonesia, meskipun memang diperlukan batasan mengenai ranah privat dan publik beserta sekuritasnya. Ketiga hal tersebut membutuhkan kolaborasi antaraktor dalam membangun demografi digital agar domain privat dan public memiliki batas yang jelas, mengingat persoalan kependudukan juga merupakan permasalahan multisektoral.
Hal ini penting mengingat big data memiliki tren trafficking data. Oleh sebab itu, selain membangun kolaborasi untuk membuat platform demografi digital yang menerjemahkan big data, segmentasi atau diferensiasi kepentingan publik dan privat juga perlu diperhatikan.
Penutup
Kebijakan kependudukan tidak bisa didekati dengan cara-cara manual dan pendekatan linieritas. Kebutuhan untuk merespons dinamika kependudukan dan membangun kebijakan berbasis data yang responsif dapat dilakukan melalui pemanfaatan big data. Big data hadir untuk memberikan data komprehensif terhadap suatu permasalahan, tidak hanya isu. Masalah cenderung multisektoral, sehingga perspektif dan data juga harus multisektoral. Kemudian big data menawarkan itu.
Kebijakan pensiun di Indonesia menjadi suatu pembelajaran khusus saat pensiun tidak diantisipasi, misalnya bagaimana melakukan transfer produktivitas dan sekuritas finansial, hanya memikirkan kompensasi yang kadang hal itu jauh dari kontribusi, pengabdian, dan kinerja seseorang. Pada akhirnya, demografi digital dibangun sebagai landasan platform kebijakan kependudukan di masa depan. Kebijakan tersebut tidak melihat penduduk dalam satu dimensi, namun multidimensi yang membutuhkan respons yang juga multidimensional yang juga diramu dalam perspektif dan data di dalam kebijakan berbasis data.
Referensi
Alvarez-Diaz, M., D’Hombres, B., Ghisetti, C., Pontarollo, N., & Dijkstra, L. (2018). The Determinants of Population Growth and Density. In JRC Working Papers in Economics and Finance (Issue October).
Bongaarts, J. (1994). Population policy options in the developing world. In Science (Vol. 263, Issue 5148). .
Demeny, P. (1988). Social science and population policy. Population & Development Review, 14(3), 451–479.
Direktorat Perlindungan dan Kesejahteraan Masyarakat Bappenas. (2014). Perlindungan Sosial di Indonesia: Tantangan dan Arah ke Depan. In Bappenas.
Firdaus, Z. F., & Wijayanto, A. W. (2020). Tinjauan Big Data Mobilitas Penduduk Pada Masa Social Distancing Dan New Normal Serta Keterkaitannya Dengan Jumlah Kasus Covid-19. Seminar Nasional Official Statistics, 1, 265–272.
Prayudi. (2018). Mengapa Masalah Dpt Terus Terjadi? In Info Singkat: Kajian Singkat Terhadap Isu Aktual dan Strategis: Vol. X (Issue 18).
Primayanti, L., Fasisaka, I., & Nugraha, A. (2017). Strategi Pemerintah Tiongkok Dalam Mengentaskan Kemiskinan Dan Kelaparan Yang Ekstrim Sebagai Target Pertama Mdgs. Jurnal Hubungan Internasional, 1(1).
The Innovation Policy Platform. (2010). Cluster Policies.
We Are Social. (2021). Digital 2021: The Latest Insights into the “State of Digital.”
*Satria Aji Imawan, M.P.A. | Pengamat Kebijakan Publik UGM, Dosen dan Staf Akademik di Magister Kepemimpinan dan Inovasi Kebijakan UGM | Ilustrasi: M. Affen Irhandi/PSKK UGM | Editor Bahasa: Rinta Alvionita
*Tulisan ini merupakan refleksi dari pemaparan hasil penelitian terkait Anticipating the Future pada APA Conference 2021
Yogyakarta, PSKK UGM – Saat ini dunia belum terbebas dari pandemi COVID-19, bahkan kasusnya masih menunjukkan peningkatan di sejumlah negara, termasuk Indonesia. Kekhawatiran nyata dari lonjakan kasus tersebut adalah lumpuhnya layanan medis, akibat terbatasnya kapasitas sarana dan sumberdaya medis dalam menangani pasien. Jika hal tersebut terjadi, maka persoalan tingginya tingkat kematian akibat COVID-19 maupun penyakit lain yang tidak tertangani menjadi tak terhindarkan. Hingga akhir Agustus 2021, tingkat kematian akibat COVID-19 sebanyak 4,51 juta jiwa. Kasus COVID-19 di Indonesia mencapai 4,08 juta jiwa dengan angka kematian sebanyak 132 ribu jiwa.
Tingginya angka kematian yang terjadi selama pandemi akan memengaruhi jumlah dan struktur penduduk di bumi. Pada awal pandemi, misalnya, kematian akibat COVID-19 banyak terjadi pada kelompok usia lanjut, sehingga dapat mengubah komposisi penduduk di suatu wilayah. Catatan resmi perubahan struktur penduduk akibat pandemi COVID-19 itu belum diteliti secara rinci dan datanya belum dirilis karena banyaknya energi dan sumberdaya yang terserap untuk menangani COVID-19. Saat ini kematian akibat COVID-19 tidak lagi terjadi pada kelompok umur tertentu, tetapi terjadi di hampir semua kelompok umur, sehingga publik semakin cemas dan khawatir, terutama terkait tingginya tingkat kematian yang akan mengurangi jumlah penduduk.
Dalam situasi seperti ini, terlintas teori lama yang dikemukakan oleh Thomas Malthus. Di akhir abad ke-17 (1798), Malthus menulis pendapatnya dalam sebuah artikel provokatif berjudul An essay in the principle of population as it affects the future improvement of society. Malthus mengkhawatirkan ketidakseimbangan antara pertumbuhan penduduk yang terus bertambah dengan ketersediaan pangan. Malthus mengistilahkan pertumbuhan penduduk mengikuti deret ukur (misal dari 2 menjadi 4, dari 4 menjadi 8, dari 8 menjadi 16 dan seterusnya) tidak akan terdukung oleh kemampuan produksi pangan yang pertumbuhannya mengikuti deret hitung (misal dari 1 menjadi 2, 3, 4, dst). Kemudian Mathus menganalisis bahwa ketika jumlah penduduk semakin banyak, maka persaingan antarindividu semakin ketat. Situasi ini akan semakin parah dengan hadirnya faktor-faktor yang mendatangkan bencana, seperti musim penyakit, epidemi, serta wabah bencana yang dapat menghilangkan penduduk. Malthus menyarankan dua hal untuk menjaga keseimbangan laju pertumbuhan penduduk dengan ketersediaan pangan, yaitu preventive check dan positive check. Preventive check merupakan upaya yang dilakukan agar pertumbuhan penduduk tetap terkendali, seperti menghindari perkawinan dan membatasi jumlah kelahiran. Adapun positive check adalah pengendalian pertumbuhan penduduk melalui cara-cara ekstrim, seperti peperangan, wabah penyakit dan epidemi, kemiskinan, serta kelaparan.
Dalam konteks pandemi COVID-19 dan kematian yang terjadi, diperlukan kehati-hatian untuk mengartikan pandemi sebagai salah satu positive check. Terlebih pemerintah di berbagai negara telah melakukan upaya preventive check. Di Indonesia, pemerintah telah melakukan pencegahan untuk menekan penyebaran COVID-19. Terhitung sejak dinyatakan sebagai pandemi oleh kepala negara pada Maret 2020, pemerintah telah memberlakukan kebijakan Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB). Kebijakan tersebut menjadi dasar bagi pembatasan kegiatan sosial masyarakat di ruang publik, seperti pendidikan dan sebagian pekerjaan yang diselenggarakan secara daring. Pada moda transportasi, pembatasan dilakukan dari sisi kapasitas penumpang dan intensitas pengoperasionalannya, sedangkan pada tempat-tempat ibadah dengan cara tidak menyelenggarakan kegiatan ibadah keagamaan. Pembatasan juga beroperasi pada sektor-sektor strategis, seperti kesehatan, ekonomi dan bahan pangan, bahan bakar minyak dan gas, serta kebutuhan dasar lainnya. Pembatasan-pembatasan tersebut masih berlaku hingga saat ini dengan memperhatikan kasus COVID-19 yang terjadi di unit desa dan kecamatan. Apabila di desa dan kecamatan tidak ditemukan kasus COVID-19, maka kegiatan di ruang publik dapat diselenggarakan. Sebaliknya, apabila ditemukan kasus COVID-19, maka kegiatan di ruang publik akan dibatasi. Sejalan dengan pembatasan kegiatan sosial, pemerintah melakukan langkah-langkah strategis lain berupa penyiapan rumah sakit darurat COVID-19, tempat isolasi bagi penderita COVID-19, pendirian shelter, dan tes deteksi COVID-19. Secara nomenklatur dan implementasi, pembatasan tersebut terus diperbarui sesuai dengan perkembangan COVID-19 yang ada di masyarakat. Dengan demikian, tidak ada pembiaran atas merebaknya virus COVID-19. Pemerintah telah melakukan upaya pencegahan (preventive check) agar angka kesakitan dan kematian akibat COVID-19 dapat ditekan, sehingga faktor dan mekanisme alam yang mungkin bekerja untuk mencapai keseimbangan tidak berjalan sendiri. Hal ini memunculkan prinsip “Yang kuat, yang akan bertahan hidup” sebagai turunan positive check tidak ditemukan.
Positive check, sebagaimana penalaran Malthus, adalah bekerjanya variabel-variabel yang memengaruhi pertumbuhan penduduk dan tidak dikontrol. Hal ini berarti ada kesan pembiaran hingga tercipta evolusi yang ditandai oleh bertahannya penduduk yang kuat, sedangkan penduduk yang kalah bersaing akan punah. Pandemi yang masih berlangsung saat ini tidak serta-merta dapat dikatakan sebagai “bangkitnya Malthus” untuk mencapai keseimbangan, sebab ada upaya yang dilakukan untuk mengurangi dampak kematian akibat pandemi. Ada upaya lockdown untuk membatasi pergerakan manusia untuk menekan penyebaran virus COVID-19. Ada upaya pemberian vaksin untuk menciptakan kekebalan di masyarakat dan pendirian rumah sakit darurat untuk menangani COVID-19. Seandainya tanpa upaya-upaya preventif tersebut, COVID-19 mungkin telah menyebar lebih masif dan mengakibatkan kematian dalam jumlah yang lebih besar. Dengan demikian, teori Malthus yang menyebutkan bahwa untuk mendapatkan kesimbangan antara jumlah penduduk dan ketersediaan pangan dapat ditempuh melalui positive check tidak ditemukan dalam pandemi COVID-19.
Referensi
Malthus. 1798. An Essay in the principle of population as it affects the future improvement of society. London. (http://www.ac.wwu.edu/~stephan/malthus/malthus.0.html; November 10, 2004)
A. Mukhopadhyay, Malthus. [2003]. Population Theory. An Irony in the Annals of Science, Breakthrough, vol.10, no.3
*Sumini, S.Si., M.Si. | Peneliti Pusat Studi Kependudukan dan Kebijakan UGM | Ilustrasi: M. Affen Irhandi/PSKK UGM
CPPS UGM – The 5th Asian Population Association (APA) Conference tahun ini diadakan secara virtual pada 3-5 Agustus 2021 di Indonesia dengan menggandeng BKKBN, UNFPA, dan PSKK UGM. Union Formation merupakan salah satu topik menarik yang dibahas dalam kelas paralel hari kedua, Rabu, 4 Agustus 2021. Diikuti lebih dari 80 peserta, sesi ini menghadirkan tiga pembicara, yaitu Yothin Sawangde, Ph.D, seorang Associate Professor di Institute for Population and Social Research, Mahidol University, Thailand, Fatemeh Torabi Ph,D., Research Officer and Data Analyst di Swansea University, Iran, dan Prof. Hiroshi Kojima, Profesor Departemen Ilmu Sosial di Waseda University, Jepang.
Peran Keluarga dalam Perkembangan IQ Anak
“Rasa gembira yang dirasakan anak dapat memengaruhi perkembangan IQ anak”, demikian kesimpulan studi Yothun Sawagde yang bertajuk “Family Context, Sufficient Physical Activity, and Game Consequences on Primary School Age Childrens Jovial Habit and IQ in Thailand”. Studi ini menyasar 2.306 responden yang merupakan anak bungsu dalam keluarga, biasanya anak kedua atau ketiga. Menggunakan metode Path Analysis, hasil studi ini menunjukkan bahwa dukungan orang tua, baik dalam keluarga inti maupun keluarga besar, memiliki pengaruh terhadap perilaku gembira anak dan berdampak pada skor IQ anak.
“Selain ayah dan ibu dalam keluarga inti, keluarga besar seperti kakek dan nenek, ternyata juga berperan penting dalam meningkatkan maupun menurunkan perilaku gembira anak yang kemudian berdampak pada skor IQ,” lanjut Yothin Sawangde.
Maka menurutnya, lingkungan dan suasana merupakan hal yang paling penting dalam membentuk kondisi psikologi dan intelijensi anak.
Preferensi Perkawinan di Iran dan Jepang
Pembicara lainnya, Prof. Hiroshi Kojima, menyampaikan materi hubungan pengalaman kohabitasi (tinggal serumah tanpa ikatan perkawinan) sebelum pernikahan pada pasangan menikah di Jepang. Hiroshi menjelaskan bahwa hasil studinya yang bertajuk “Correlates of Premarital Cohabition Experience of Married Adults in Japan” menunjukkan adanya perbedaan strategi kohabitasi berdasarkan gender.
Selain itu, perempuan yang berpendidikan rendah cenderung ingin lebih cepat menikah. Apalagi jika terjadi kohabitasi pranikah (Cohabitation First Before Marriage), maka pernikahan pun lebih cepat terjadi. Sebaliknya, perempuan berpendidikan tinggi cenderung melakukan pertunangan terlebih dahulu dan meminta ijin orang tua untuk tinggal satu atap.
Perempuan yang berpendidikan tinggi biasanya juga menunda pernikahan untuk meningkatkan karir profesional sembari menjaga hubungan dengan pasangan dan mengupayakan hubungan yang setara.
Pada kesempatan yang sama, Fatemeh Torabi melalui studinya yang berjudul “Temporal Changes in Ideal Age at Marriage in Iran” memaparkan bahwa terjadi kenaikan usia ideal pernikahan, baik bagi laki-laki maupun perempuan di Iran, meskipun koefisien usia pernikahan ideal pada perempuan lebih tinggi dari laki-laki. “Ada perbedaan variabel yang mendorong usia ideal untuk menikah bagi perempuan, yaitu variabel pentingnya status perkawinan pada 2004 dan variabel agama pada 2015”, jelas Fatemeh.
Penulis: Igih Adisa/Media CPPS UGM | Editor bahasa: Basilica Dyah – Rinta Alvionita |
Foto: Tangkapan layar zoom APA Conference (4/8)
CPPS UGM – Aktivitas fisik masih menjadi isu yang harus diperhatikan di Indonesia. Ketidakaktifan gerak fisik menjadi salah satu penyebab berbagai penyakit hingga dapat mengakibatkan kematian.
Data WHO 2018 menunjukkan, 73 persen kematian di dunia disebabkan Penyakit Tidak Menular (PTM), yaitu 35 persen akibat penyakit kardiovaskular, 21 persen akibat penyakit menular, maternal, perinatal, dan nutrisi, sementara 12 persen akibat kanker, 6 persen akibat diabetes mellitus, dan 15 persen akibat PTM lainnya.
Di Indonesia, prevalensi PTM masih tinggi karena gaya hidup yang tidak sehat. Data Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) 2018 menunjukkan bahwa 95,5 persen masyarakat Indonesia kurang mengonsumsi sayur dan buah. Kemudian 33,5 persen masyarakat kurang beraktivitas fisik, 29,3 persen masyarakat usia produktif merokok setiap hari, 31 persen mengalami obesitas sentral serta 21,8 persen mengalami obesitas pada usia dewasa.
Dyah Anantalia Widyastari, Peneliti Institute for Population and Social Research, Mahidol University, Thailand, memaparkan hasil penelitian bertajuk “Sociodemographic Differentials of Physical Activity of Indonesia: An analysis of the 5th Wave of Indonesia Family Life Survey (IFLS5)” dalam acara Asian Population Association (APA) Conference pada Selasa, 3 Agustus 2021.
Hasil studi ini menunjukkan bahwa seseorang yang berpendidikan tinggi memiliki aktivitas fisik lebih sedikit karena cenderung duduk lebih lama di kantor atau melakukan aktivitas di depan laptop dengan durasi lama.
“Mereka yang berpendidikan tinggi tidak berarti mereka tidak mengetahui hal ini, namun mereka tidak memiliki cukup waktu untuk melakukan aktivitas fisik. Mereka biasanya akan melakukan aktivitas fisik menggunakan properti di sekitarnya, seperti kursi dan sebagainya,” ujar Dyah.
Selain itu, perbedaan jenis kelamin juga memengaruhi aktivitas fisik masyarakat Indonesia, yaitu 51 persen laki-laki dan 48 persen perempuan. Perbedaan usia dan jenis kelamin dalam aktivitas fisik juga menunjukkan bahwa laki-laki, orang dewasa, dan orang tua lebih mungkin untuk memenuhi tingkat aktivitas fisik sedang hingga kuat (MVPA) dari perempuan dan remaja.
“Perempuan cenderung kurang aktif dibandingkan laki-laki. Meskipun mereka memiliki harapan hidup lebih lama, mereka bisa hidup di bawah ketidaksetaraan. Oleh sebab itu, Indonesia diharapkan dapat memberikan pelayanan kesehatan yang lebih baik kepada masyarakat untuk mendapatkan kualitas hidup yang lebih baik dan harapan hidup yang lebih panjang,” jelas Dyah.
Dyah menambahkan, jika dilihat dari wilayah tempat tinggal, penduduk perdesaan 1,3 kali lebih aktif dari penduduk perkotaan. Sementara itu, dari segi sosial ekonomi, seseorang yang berasal dari keluarga kaya 12 kali lebih mungkin untuk memenuhi tingkat aktivitas fisik.
Dyah menegaskan bahwa aktivitas fisik ini tidak hanya ditentukan oleh faktor individu, tetapi juga strategi promosi kesehatan yang harus ditujukan kepada masyarakat serta pada tingkat makro (kebijakan) untuk menjembatani ketimpangan akibat hambatan sosial, ekonomi, dan budaya.
Penulis: Nuraini Ika & Rinta Alvionita / Media CPPS UGM | Editor bahasa: Rinta Alvionita | Foto: Tangkapan layar zoom APA Conference (4/8)
CPPS UGM – Permasalahan stunting masih menyelimuti Indonesia. Stunting merupakan gangguan tumbuh kembang yang dialami anak akibat gizi buruk, infeksi berulang, dan stimulasi psikososial yang tidak memadai.
Selain dapat mengganggu pertumbuhan fisik, stunting juga berpotensi memperlambat perkembangan otak dalam jangka panjang berupa keterbelakangan mental, rendahnya kemampuan belajar, dan risiko serangan penyakit kronis, seperti diabetes, hipertensi hingga obesitas.
Di Indonesia, berdasarkan data Riskesdas, angka stunting memang telah mengalami penurunan dari tahun ke tahun, yaitu dari 37,2 persen (2013) menjadi 30,8 persen (2018) dan berada di angka 27,7 persen (2019). Namun angka ini masih jauh dari total presentase standar World Health Organization (WHO), yaitu maksimal 20 persen.
Menurut data BPS Kemenkes (2019), hampir seluruh provinsi di Indonesia, kecuali Bali, Kepulaun Riau, Bangka Belitung, dan Jakarta, memiliki persentase stunting di atas batas rekomendasi WHO. Adapun provinsi dengan angka stunting tertinggi berturut-turut adalah Nusa Tenggara Timur (NTT) di angka 43,82 persen, Sulawesi Barat 40,38 persen, dan Nusa Tenggara Barat (NTB) 37,85 persen.
Deputi Bidang Pelatihan, Penelitian, dan Pengembangan BKKBN BKKBN, Prof. drh. Muhammad Rizal Martua Damanik, menyampaikan bahwa Presiden Joko Widodo menargetkan angka stunting Indonesia turun hingga 14 persen pada 2024. Untuk memenuhi target ini, maka angka stunting Indonesia harus turun 2,7 persen setiap tahunnya.
“Memang target ini sangat sulit, namun bukan berarti tidak mungkin tercapai selama semua pihak yang terlibat memiliki komitmen tinggi dan koordinasi yang baik serta mengambil tindakan nyata untuk mempercepat penurunan angka stunting di Indonesia,” ungkap Muhammad Rizal Martua Damanik dalam pembukaan Konferensi Asian Population Associatuon (APA), Selasa 3 Agustus 2021.
Sebagai informasi, Konferensi APA merupakan konferensi internasional yang berfokus membahas isu kependudukan di negara-negara Asia. Pada tahun ini, Konferensi APA diadakan secara virtual selama tiga hari pada 3-5 Agustus 2021 di Indonesia dengan menggandeng BKKBN, UNFPA, dan PSKK UGM.
Rizal menyampaikan bahwa Indonesia masih memiliki segudang tantangan yang harus diselesaikan agar bisa menurunkan angka stunting, seperti masih tingginya anemia pada ibu hamil, pernikahan usia dini, bayi lahir prematur, dan jarak kehamilan kurang dari 24 bulan.
Dalam data Riskesdas 2018 tercatat 593 ribu ibu hamil mengalami anemia, 663 ribu kehamilan dengan jarak kurang dari 24 bulan (SDKI 2017), dan 675 ribu bayi lahir prematur (SP, 2010).
Menurutnya, pemerintah terus berupaya maksimal untuk menekan angka stunting, salah satunya dengan memperkuat pendampingan pada pasangan sebelum menikah dan sebelum hamil, pendampingan selama kehamilan, dan pendampingan pascapersalinan, seperti menyusi, KB, pascapersalinan hingga merawat anak di bawah lima tahun dan dua tahun.
“Kami (BKKBN) berfokus pada kejadian anemia dan defisiensi mikronutrien sebelum menikah dan sebelum hamil, pemantauan ibu hamil dengan anemia dan ibu hamil risiko tinggi untuk mengurangi jumlah bayi prematur atau Intrauterine Growth Restriction (IUGR). Untuk menekan angka stunting, maka kita harus menekan masalah yang bisa meningkatkan risiko stunting,” ujar Rizal.
Sementara dilansir dari kemkopmk.go.id (4/8), pandemi COVID-19 menjadi tantangan tersendiri untuk mempercepat penurunan stunting. Deputi Bidang Koordinasi Peningkatan Kualitas Kesehatan dan Pembangunan Kependudukan Kementerian Koordinator Bidang Pembangunan Manusia dan Kebudayaan (Kemenko PMK), Agus Suprapto, mengatakan bahwa pandemi yang melanda dikhawatirkan dapat meningkatkan angka stunting. Menurutnya, pandemi COVID-19 yang mengakibatkan meningkatnya angka pengangguran dan angka kemiskinan berpotensi meningkatkan angka stunting di Indonesia.
Penulis: Nuraini Ika/Media CPPS UGM | Editor bahasa: Rinta Alvionita | Foto: Tangkapan layar zoom APA Conference (3/8)
CPPS UGM – Kesehatan merupakan salah satu dimensi utama untuk membangun sumber daya manusia (SDM) bersama dua dimensi lainnya, yaitu ekonomi dan pendidikan. Teori klasik H. L. Bloom menyatakan bahwa ada empat faktor yang memengaruhi derajat kesehatan secara berturut-turut, yaitu gaya hidup (lifestyle), lingkungan (sosial, ekonomi, politik, dan budaya), pelayanan kesehatan, dan faktor genetik (keturunan). Keempat determinan tersebut saling berinteraksi dan memengaruhi status kesehatan seseorang.
Dalam rangka memeriahkan Hari Kesehatan Sedunia yang diperingati setiap 17 April, Pusat Studi Kependudukan dan Kebijakan (PSKK) UGM mengadakan acara Live PopCorn (Population Corner) bertajuk “Tantangan Peningkatan Derajat Kesehatan di Indonesia” dengan menghadirkan Dr. Umi Listyaningsih, M.Si. (Peneliti PSKK UGM) sebagai pembicara serta Citra Sekarjati, M.P.A. (Asisten Peneliti PSKK UGM) sebagai pembawa acara.
Umi menjelaskan bahwa Indonesia ditargetkan bisa menekan MMR hingga 70 persen pada 2024, namun hal ini akan sulit tercapai karena penyebab kematian ibu pascapersalinan masih banyak diakibatkan oleh gangguan hipertensi dan pendarahan.
“Banyak ibu yang datang ke fasilitas kesehatan, namun kebanyakan tidak melakukan antenatal care (pemeriksaan kehamilan). Meskipun di data Riskesdas itu sebetulnya jumlah ibu yang sudah melakukan pemeriksaan cukup banyak, tetapi kita masih punya tugas sekitar 15 persen ibu hamil yang tidak melakukan antenatal care. Itulah sebabnya angka kematian ibu itu masih menjadi tugas bersama,” ujar Umi.
Ia berpendapat bahwa pemerintah telah berupaya untuk menekan angka kematian ibu melahirkan, salah satunya dengan membuat program Rumah Singgah untuk ibu hamil yang rumahnya jauh dari fasilitas kesehatan. Rumah Singgah ini dapat menjadi tempat sementara bagi ibu yang telah masuk masa kehamilan tua. Permasalahannya, menurut Umi, sejauh ini Rumah Singgah bukan hanya ditempati oleh ibu yang akan melahirkan, tetapi juga ada yang membawa sanak saudara. Kemudian hal ini menjadi tantangan lain bagi pemerintah.
Selain itu, Selain itu, ada program Generasi Berencana (GenRe) yang dilaksanakan BKKBN dengan slogan “Katakan tidak untuk pernikahan usia dini, seks pra nikah, dan NAPZA (Narkotika, Psikotropika, dan Zat Adiktif Lainnya)”. Menurut Umi, program ini cukup membanggakan, mengingat salah satu target SDGs pada poin keempat adalah mengurangi kesakitan dan kematian akibat penyakit menular dan tidak menular.
Untuk meningkatkan derajat kesehatan masyarakat, Umi memaparkan bahwa setidaknya ada lima strategi jitu, yaitu meningkatkan Gerakan Masyarakat Hidup Sehat (GERMAS); meningkatkan penganekaragaman dan keamanan pangan (termasuk olahan); meningkatkan pelayanan medis, rehabilitasi medis, rehabilitasi sosial; dukungan dari masyarakat bagi penderita gangguan jiwa; serta meningkatkan aksebilitas dan pelayanan kesehatan yang berkualitas.
Penulis: Nuraini Ika | Editor Bahasa: Rinta Alvionita | Foto: PSKK UGM/Affen Irhandi
Yogyakarta, PSKK UGM – Kasus pelecehan seksual kembali terjadi di Indonesia. Belakangan ini masyarakat digemparkan dengan berita kasus pelecehan seksual yang dilakukan AT (21), anak anggota DPRD Bekasi terhadap anak di bawah umur, PU (15). Setelah ditangkap dan ditetapkan sebagai tersangka, AT justru menyampaikan bahwa dirinya akan menikahi korban atas alasan dirinya mencintai korban. Wacana untuk menikahi korban ini ditolak mentah-mentah oleh D, ayah korban.
Novi Widyaningrum, peneliti dan pemerhati gender Pusat Studi Kependudukan dan Kebijakan (PSKK) UGM, mengkritik keras wacana pelaku untuk menikahi korban. Menurutnya, wacana menikahi korban merupakan wujud arogansi berdasarkan kelas sosial dan kuatnya budaya patriarki di Indonesia.
“Saya sangat menentang hal tersebut. Korban baru 15 tahun, ini artinya masih anak-anak dan melanggar Undang-Undang Perkawinan,” ujar Novi.
Berdasarkan Undang-Undang No.16/2019 tentang Perkawinan, usia minimal pernikahan adalah 19 tahun. Menikahkan korban yang masih berusia 15 tahun berarti melakukan forced marriage atau pernikahan paksa. Selain melanggar UU Perkawinan, hal ini juga melanggar UU Perlindungan Anak, Konveksi Hak Asasi Manusia, dan Konveksi Hak Anak.
Novi menilai, menikahkan korban dengan pelaku berarti menjebak korban dalam lingkaran kekerasan seumur hidup. Setelah menikah, korban berpotensi mengalami multiple forms of violence, seperti kekerasan psikologis, kekerasan seksual, dan tidak menutup kemungkinan juga akan mengalami kekerasan verbal, fisik, dan ekonomi.
Menikahkan korban dengan pelaku juga berarti bahwa kekerasan tersebut tidak dihentikan, tetapi justru dilegalkan dalam ikatan pernikahan. Menurutnya, wacana menikahkan korban dengan pelaku karena pelaku merupakan orang dekat juga hanyalah pencitraan semata, dan upaya untuk menghindari sanksi hukum bagi para pelaku.
“Ini sih namanya membunuh korban secara perlahan. Syukurlah, orang tua korban menyadari ini dan menolak tawaran ‘damai’ tersebut. Pengacara menyatakan itu adalah kasus perzinaan. Ini mirip contoh kuat dari rape culture ditambah permisivitas yang tinggi terhadap rape yang dilakukan oleh pasangan, ujung-ujungnya solusinya adalah damai dan nikah,” ungkap Novi.
Menurut Novi, upaya ‘mediasi’ dan ‘perdamaian’ yang diciptakan masyarakat, institusi pemerintah, bahkan pihak kepolisian merupakan bukti bahwa kasus pelecehan seksual masih dilihat bukan sebagai sebuah kejahatan. Terlebih dalam kasus PU, pelaku AT merupakan kekasih korban, sehingga kejadian seperti ini kerap dianggap sebagai hal lumrah. Pola pemikiran seperti ini berpotensi membuat perempuan semakin masuk dalam lingkungan kekerasan.
Perlindungan Maksimal terhadap Korban & Urgensi Pengesahan RUU PKS
Kasus pelecehan seksual yang dialami PU tentu bukanlah satu-satunya yang ada di tengah masyarakat, tetapi fenomena gunung es maupun hal yang hanya tampak di permukaan pasti juga terjadi pada kasus seperti ini.
Untuk melindungi korban kasus pelecehan seksual, Novi memaparkan bahwa setidaknya ada tiga hal yang harus dilakukan. Pertama, memberikan upaya perlindungan dan trauma healing kepada korban serta mengupayakan agar korban mendapat lingkungan yang aman dan nyaman, sehingga bisa membangkitkan rasa percaya diri dan menjalani hidup selanjutnya tanpa rasa ketakutan.
“Jangan memasukkan korban dalam lingkaran kekerasan selanjutnya termasuk perundungan, karena korban juga sangat rentan mendapatkan ini. Masyarakat masih belum banyak memiliki kesadaran atas kasus seperti ini dan bisa melakukan blaming the victim,” ujarnya.
Kedua, pelaku harus mendapat hukuman sesuai hukum yang berlaku. Pelaku telah melakukan kejahatan berlapis. Setidaknya ada pemerkosaan, human trafficking (perdagangan orang), dan kekerasan terhadap anak. Memberikan hukuman terhadap pelaku sesuai dengan hukum yang berlaku akan menjadi contoh baik bagi masyarakat luas dan penegakan hukum di Indonesia.
Novi juga menekankan bahwa para pemangku kebijakan harus menguatkan penegakan hukum (law enforcement) di Indonesia. Hukum yang dibentuk harus dijalankan secara adil dan dapat diakses oleh siapa pun. “Jangan karena pelaku adalah orang yang memiliki kedudukan dan kekuatan politis, sehingga ada upaya-upaya untuk mengaburkan kejahatan dan mereduksi hukuman,” tegas Novi.
Novi juga menekankan pentingnya percepatan pengesahan Rancangan Undang-undang Penghapusan Kekerasan Seksual (RUU PKS) yang nantinya akan menjadi pijakan hukum yang kuat untuk melindungi korban dalam kasus seperti ini. Dalam RUU PSK juga ditegaskan bahwa, pemaksaan perkawinan dilarang dan dijadikan tindak pidana.
Selain itu, pemerintah juga harus memperkuat upaya edukasi kepada masyarakat luas mengenai kekerasan terhadap perempuan, salah satunya adalah menguatkan kurikulum pendidikan sejak dini di sekolah terkait pencegahan kekerasan dan perlindungan perempuan. Penghormatan terhadap perempuan dan kesetaraan gender harus benar-benar ditekankan dalam dunia pendidikan.
Langkah penting lainnya adalah menciptakan dan menyosialisasikan sistem jalur pengaduan yang terjangkau bagi perempuan korban kekerasan. Konteks bahwa korban selalu dalam posisi traumatis dan lemah (secara psikologis, sosial, dan mungkin fisik) merupakan pertimbangan utama untuk menciptakan sebuah alur pengaduan yang dapat dijangkau secara cepat dan tepat.
Penulis: Nuraini Ika | Editor Bahasa: Rinta Alvionita | Foto: Ilustrasi Kekerasan Seksual Anak (istockphoto)
Yogyakarta, PSKK UGM – D.I. Yogyakarta, selain dijuluki sebagai pusat kebudayaan dan pusat pendidikan, juga dikenal dengan kekayaan pesona alam dan kulinernya. Oleh sebab itu, tidak heran jika daerah ini menjadi salah satu destinasi wisata yang ramai dikunjungi, baik oleh wisatawan dalam negeri maupun luar negeri, setiap tahunnya. Dinas Pariwisata D.I. Yogyakarta mencatat, sebelum pandemi COVID-19 atau pada tahun 2019, pertumbuhan kunjungan wisatawan ke D.I. Yogyakarta meningkat dari tahun sebelumnya, yaitu sebesar 15,15 persen.
Yogyakarta dengan pesona kulinernya memiliki salah satu oleh-oleh andalan yang paling sering diincar oleh wisatawan, yaitu bakpia. Rata-rata wisatawan pasti membawa oleh-oleh bakpia ketika kembali ke daerah asalnya. Bakpia merupakan kue yang terbuat dari campuran kacang hijau dengan gula yang dilapisi tepung dan dibentuk bulat pipih, kemudian dipanggang. Menilik sejarahnya, bakpia dapat dikatakan sebagai wujud akulturasi budaya Tiongkok dan Yogyakarta. Pada tahun 1940-an, bakpia dibawa oleh para imigran Tionghoa yang menempati daerah Pathuk (Ameer, dalam Nihayati, 2020). Di Tiongkok, bakpia identik dengan kue berisi daging babi. Namun, karena mayoritas warga di Indonesia beragama Islam dan tidak memakan daging babi, sehingga dibuatlah kue berisi kacang hijau (Eriyanto, 2018).
Keluarga-keluarga Tionghoa biasanya menikmati bakpia sebagai kudapan keluarga (Nihayati, 2020). Namun, pada tahun 1930 terjadi depresi ekonomi di Hindia-Belanda (baca: Indonesia), sehingga beberapa keluarga Tionghoa tersebut menjual bakpia untuk menambah penghasilan mereka (Nihayati, 2020). Lambat laun, pada tahun 1980-an industri-industri rumah tangga yang menjual bakpia mulai bermunculan. Hal ini ditandai dengan banyaknya bakpia yang dijual dengan merek menyesuaikan nomor rumah produsen bakpia. Tahun 1992 menjadi puncak pesatnya perkembangan industri bakpia mulai dikenal sebagai oleh-oleh khas D.I. Yogyak.
Seiring dengan berkembangnya waktu, varian rasa bakpia pun berevolusi. Bakpia tempo dulu biasanya memiliki varian rasa kacang hijau dan kumbu hitam. Sementara saat ini, sudah banyak bakpia yang berisi coklat, keju, kacang, green tea, coffee, buah-buahan, dan sebagainya. Bahkan, saat ini ada Bakpia Tugu yang bentuknya sangat berbeda dari bakpia tempo dulu. Bakpia ini merupakan bakpia kukus berbentuk seperti bakpao mini dengan isian rasa kacang hijau, coklat, keju, brownies coklat, dan sebagainya yang dapat meleleh di mulut.
Anak muda sekarang menyebut Bakpia Tugu ini dengan sebutan bakpia “zaman now”. Bakpia ini pun tidak kalah laris dibandingkan dengan bakpia generasi sebelumnya. Bahkan, di salah satu tokonya yang terletak di jalan Kaliurang, sering terjadi antrean pengunjung dari luar kota yang ingin menikmati bakpia ini. Berdasarkan pengalaman, pemandangan orang-orang menenteng tas belanjaan bakpia Tugu sangat mudah ditemui di bandara dan stasiun di D.I. Yogyakarta. Dalam kurun waktu tiga tahun, Bakpia Tugu telah membuka enam toko cabang. Hal ini menunjukkan inovasi bakpia ini berhasil dan mampu memikat hati wisatawan.
Fenomena inovasi kuliner khas D.I. Yogyakarta ini menunjukkan bahwa telah terjadi pergeseran identitas bakpia seiring dengan konteks sosial yang terus berubah. Pertanyaannya adalah apakah bakpia zaman now akan menggeser posisi bakpia tempo dulu di kalangan peminat kuliner khas D.I. Yogyakarta? atau apakah bakpia “zaman now” ini akan melunturkan nilai-nilai sejarah yang melekat pada bakpia tempo dulu?
Sebuah inovasi tentunya harus dimaknai secara positif. Mengutip Robbins dan Coulter (2010), inovasi merupakan hasil dari ide-ide kreatif menjadi produk yang bermanfaat. Oleh sebab itu, produk-produk inovasi kuliner khas daerah ini merupakan produk kreatif anak bangsa yang harus diapresiasi secara tinggi, apalagi jika mampu meningkatkan sektor pariwisata dan ekonomi daerah. Meski demikian, nilai sejarah yang melekat pada kekayaan kuliner khas daerah tidak boleh dilupakan. Dalam beberapa tahun ke depan, tentu akan banyak bermunculan variasi bentuk, bahkan rasa baru dari bakpia. Bagaimanapun bentuk dan varian rasa bakpia ke depannya, bakpia merupakan produk dari sikap saling menghargai antarwarga dengan kebudayaan yang berbeda dan sikap inilah yang perlu kita jaga dan lestarikan.
Jadi, kamu tim bakpia tempo dulu atau bakpia “zaman now”?
REFERENSI:
Dicky Eriyanto, 1310658032 (2018) Bakpia Sebagai Salah Satu Identitas Budaya Yogyakarta Dalam Penyutradaraan Film Dokumenter “Bakpia” Dengan Gaya Ekspository. Skripsi thesis, Institut Seni Indonesia Yogyakarta.
Robbins, Stephen P. dan Coulter, Mary. 2010. Manajemen Edisi Kesepuluh. Jakarta: Erlangga
Nihayati, L. (2020). Dampak Sosial Perkembangan Bakpia Dalam Industri Pariwisata Di Pathuk Yogyakarta. Pringgitan, 01(01), 40–47. http://ejournal.stipram.ac.id/index.php/pringgitan/article/view/10
https://bakpia25.com/sejarah-bakpia-pathok/article/sejarah-bakpia-pathok”>https://bakpia25.com/sejarah-bakpia-pathok/article/sejarah-bakpia-pathok diakses tanggal 30 Januari 2021
https://bakpiakukustugu.co.id/”>https://bakpiakukustugu.co.id/ diakses tanggal 30 Januari 2021
Statistik Kepariwisataan 2019. (2019).
*Citra Sekarjati, M.P.A. | Asisten Peneliti Pusat Studi Kependudukan dan Kebijakan UGM | Ilustrasi: M. Affen Irhandi/PSKK UGM