Peran Keluarga dalam Perkembangan IQ Anak dan Preferensi Perkawinan di Iran dan Jepang

05 Agustus 2021 | media_cpps
Berita PSKK, Informasi, Main Slide

CPPS UGM – The 5th Asian Population Association (APA) Conference tahun ini diadakan secara virtual pada 3-5 Agustus 2021 di Indonesia dengan menggandeng BKKBN, UNFPA, dan PSKK UGM. Union Formation merupakan salah satu topik menarik yang dibahas dalam kelas paralel hari kedua, Rabu, 4 Agustus 2021. Diikuti lebih dari 80 peserta, sesi ini menghadirkan tiga  pembicara, yaitu Yothin Sawangde, Ph.D, seorang Associate Professor di Institute for Population and Social Research, Mahidol University, Thailand, Fatemeh Torabi Ph,D., Research Officer and Data Analyst di Swansea University, Iran, dan Prof. Hiroshi Kojima, Profesor Departemen Ilmu Sosial  di Waseda University, Jepang.

Peran Keluarga dalam Perkembangan IQ Anak

“Rasa gembira yang dirasakan anak dapat memengaruhi perkembangan IQ anak”, demikian kesimpulan studi Yothun Sawagde yang bertajuk “Family Context, Sufficient Physical Activity, and Game Consequences on Primary School Age Childrens Jovial Habit and IQ in Thailand”. Studi ini menyasar 2.306 responden yang merupakan anak bungsu dalam keluarga, biasanya anak kedua atau ketiga. Menggunakan metode Path Analysis, hasil studi ini menunjukkan bahwa dukungan orang tua, baik dalam keluarga inti maupun keluarga besar, memiliki pengaruh terhadap perilaku gembira anak dan berdampak pada skor IQ anak.

“Selain ayah dan ibu dalam keluarga inti, keluarga besar seperti kakek dan nenek, ternyata juga berperan penting dalam meningkatkan maupun menurunkan perilaku gembira anak yang kemudian berdampak pada skor IQ,” lanjut Yothin Sawangde.

Maka menurutnya, lingkungan dan suasana merupakan hal yang paling penting dalam membentuk kondisi psikologi dan intelijensi anak.

Preferensi Perkawinan di Iran dan Jepang

Pembicara lainnya, Prof. Hiroshi Kojima, menyampaikan materi hubungan pengalaman kohabitasi (tinggal serumah tanpa ikatan perkawinan) sebelum pernikahan pada pasangan menikah di Jepang.  Hiroshi menjelaskan bahwa hasil studinya yang bertajuk “Correlates of Premarital Cohabition Experience of Married Adults in Japan” menunjukkan adanya perbedaan strategi kohabitasi berdasarkan gender.

Selain itu, perempuan yang berpendidikan rendah cenderung ingin lebih cepat menikah. Apalagi jika terjadi kohabitasi pranikah (Cohabitation First Before Marriage), maka pernikahan pun lebih cepat terjadi. Sebaliknya, perempuan berpendidikan tinggi cenderung melakukan pertunangan terlebih dahulu dan meminta ijin orang tua untuk tinggal satu atap.

Perempuan yang berpendidikan tinggi biasanya juga menunda pernikahan untuk meningkatkan karir profesional sembari menjaga hubungan dengan pasangan dan mengupayakan hubungan yang setara.

Pada kesempatan yang sama, Fatemeh Torabi melalui studinya yang berjudul “Temporal Changes in Ideal Age at Marriage in Iran” memaparkan bahwa terjadi kenaikan usia ideal pernikahan,  baik  bagi laki-laki maupun perempuan di Iran, meskipun koefisien usia pernikahan ideal pada perempuan lebih tinggi dari laki-laki. “Ada perbedaan variabel yang mendorong usia ideal untuk menikah bagi perempuan, yaitu variabel pentingnya status perkawinan pada 2004 dan variabel agama pada 2015”, jelas Fatemeh.

Penulis: Igih Adisa/Media CPPS UGM  | Editor bahasa: Basilica Dyah – Rinta Alvionita |

Foto: Tangkapan layar zoom APA Conference (4/8)