JAKARTA, KOMPAS – Indonesia diproyeksikan menikmati bonus demografi selama minimal 24 tahun, yakni tahun 2012-2035. Namun, sejauh ini, optimalisasinya minim. Jika isu kependudukan tak segera menjadi arus utama kebijakan, bukan tidak mungkin tren itu berlanjut dan akhirnya bonus demografi hanya lewat begitu saja.
Salah satu potret tentang isu demografi yang optimalisasinya minim ditemukan di wilayah terpadat penduduknya di Asia Tenggara, yaitu di Kecamatan Tambora, Jakarta Barat.
Tingkat pendidikan penduduk di Kecamatan Tambora belum memadai. Hasil observasi yang dilakukan Kompas, Sabtu (1/3), menunjukkan tingkat pendidikan warga di wilayah itu maksimal hanya sampai sekolah menengah pertama.
Supriyadi, warga RT 013 RW 005, Kelurahan Tanah Sareal, Kecamatan Tambora, mengaku sebagai penganggur tanpa penghasilan tetap. Supriyadi hanya memperoleh penghasilan jika diminta menjadi kuli bangunan. Uang yang diperoleh dari pekerjaan itu pun bervariasi tergantung pemberi proyek.
“Saya pernah dibayar Rp. 600 ribu untuk satu minggu. Tapi, ya, tidak semua proyek membayar segitu,” kata Supriyadi yang bersama istrinya hanya tamatan SD. Mereka punya lima anak yang berpendidikan SMP hingga SMA. Kalau sakit, mereka hanya ke puskesmas atau minum jamu tradisional.
Eva (30), warga RT 006 RW 004, Keluragan Tambora juga hanya bersekolah sampai tingkat SMP. Eva punya dua anak laki-laki, yang sulung berusia 9 tahun. Suaminya adalah kurir di sebuah perusahaan suku cadang. Seperti Supriyadi, tempat tinggal Eva sangat sederhana. Sekalipun berlistrik, penerangannya minim. Air bersih hanya mengandalkan air tanah.
Isu Marjinal
Bonus demografi adalah kondisi ketika jumlah penduduk usia produktif, 15-65 tahun, lebih banyak dibandingkan jumlah penduduk usia di bawah atau di atas 15-65 tahun. Namun, bonus demografi di Indonesia tidak otomatis meningkatkan produktivitas nasional yang akhirnya mendorong kesejahteraan rakyat. Sejumlah prasyarat mesti dipenuhi.
Prasyarat itu meliputi peningkatan kualitas kesehatan masyarakat, peningkatan kualitas pendidikan dan pengembangan keterampilan, pengendalian laju pertumbuhan penduduk, dan dukungan kebijakan ekonomi.
Kepala Pusat Studi Kependudukan dan Kebijakan Universitas Gadjah Mada, Agus Heruanto Hadna menyatakan, capaian pemenuhan prasyarat itu sampai dengan hari ini masih rendah. Ini akibat kependudukan menjadi isu marjinal sejak reformasi. Padahal, untuk menggenapi prasyarat itu, perlu konsistensi program jitu selama bertahun-tahun.
“Kalau tidak segera ada perubahan kebijakan, saya pesimistis bonus demografi bisa dimanfaatkan dengan baik. Jadi, saya berharap rezim yang akan datang, termasuk partai politik, menjadikan kependudukan sebagai arus utama dari semua kebijakan. Masalah kependudukan itu luas, bukan hanya keluarga berencana,” kata Hadna.
Kepala Lembaga Demografi Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia, Sonny Harry Budiutomo Harmadi berpendapat, pemerintah terlambat menyiapkan prasyarat untuk memanfaatkan bonus demografi. Meski bonus demografi sudah dinikmati sejak 2012, optimalisasinya minim.
“Kalau seluruh prasyarat terpenuhi, kita bisa menikmati pertumbuhan ekonomi yang lebih tinggi dan kesejahteraan yang lebih baik. Kita juga bisa keluar dari jebakan negara berpendapatan menengah,” kata Sonny.
Tahun 2012 dan 2013, bonus demografi belum banyak terkonversi pada peningkatan produktivitas nasional. Bonus demografi baru berimplikasi pada besarnya sisi konsumsi, belum pada sisi suplai.
Ini tercermin pada sumbangan konsumsi rumah tangga terhadap produk domestik bruto yang porsinya terus meningkat. Tahun 2012 dan 2013, porsinya 54,69 persen dan 55,82 persen.
Kondisi itu, sebagaimana dipaparkan Hadna dan Sonny, karena empat prasyarat untuk mengonversi bonus demografi menjadi manfaat ekonomi belum terpenuhi. Di bidang kesehatan, pembangunan terus berjalan, tetapi lajunya lamban.
Angka kematian ibu (AKI) misalnya, Indonesia tertinggal. Mengacu Survei Demografi dan Kesehatan Indonesia tahun 2007, AKI mencapai 220 per 100.000 kelahiran hidup. Ini angka tertinggi nomor 3 di kawasan Asia Selatan dan Asia Tenggara. Sementara AKI Singapura 3, Brunei 24, Malaysia 29, Thailand 48, Vietnam 59, dan Filipina 99. Pemerintah menargetkan AKI turun menjadi 102 per 100.000 kelahiran hidup tahun 2015.
Di pendidikan, persoalan utamanya adalah kualitas rendah dan akses yang belum merata. Rendahnya kualitas pendidikan berbanding lurus dengan rata-rata kualitas tenaga kerja. Data Badan Pusat Statistik per Februari 2013, sekitar 74,9 juta orang atau 65,70 persen tenaga kerja berpendidikan SMP ke bawah.
Sementara laju pertumbuhan penduduk tak kunjung surut. Tingkat kesuburan dalam sepuluh tahun terakhir stagnan 2,6 anak per perempuan. Begitu pula dengan penggunaan kontrasepsi modern pada pasangan usia subur stagnan pada 57 persen.
Kepala Bappenas Armida Salsiah Alisjahbana menyatakan, pemerintah terus mengejar pemanfaatan bonus demografi. Banyak di antaranya bersifat jangka panjang, seperti peningkatan kualitas sumber daya manusia melalui pendidikan. Armida mengakui, kualitas pendidikan masih rendah dan aksesnya belum merata.
Menurut Armida, kunci dari kualitas pendidikan adalah kualitas guru. Berikutnya pemerataan karena ternyata akses pun belum merata. Lebih jangka panjang adalah kaitan dengan iptek, inovasi, tenaga terdidik, dan tenaga terampil. “Memang harus disiapkan di semua jenjang dan semua bidang. Jangan sampai begitu ini dikembangkan, SDM-nya tidak ada. Ini sedang disiapkan, bukannya belum,” kata Armida. [] A01/A09/LAS
*Sumber: headline Harian KOMPAS, 3 Maret 2014 | Sumber foto: VivaNews "Kebakaran di Tambora".