Yogyakarta, PSKK UGM — Selain pembacaan isu dalam aspek geoekonomi, geopolitik maupun agenda paska 2015 dan perubahan iklim, isu bonus demografi juga menjadi pembahasan penting dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) 2015-2019. Bonus demografi merupakan salah satu isu yang menentukan bagaimana kebijakan ke depan dibuat.
Indonesia memiliki peluang untuk menikmati bonus demografi, yakni percepatan pertumbuhan ekonomi karena struktur umur penduduk berubah. Ini ditandai dengan turunnya rasio ketergantungan (dependency ratio)—rasio antara penduduk usia nonproduktif (0-14 tahun dan 65 tahun ke atas) dibandingkan dengan jumlah penduduk usia produktif (15-64 tahun). Perubahan ini memungkinkan bonus demografi tercipta karena naiknya jumlah angkatan kerja (labor supply), tabungan (saving), dan kualitas sumber daya manusia (human capital).
Peneliti Pusat Studi Kependudukan dan Kebijakan Universitas Gadjah Mada, Dr. Sukamdi dalam Policy Dialog “Kebijakan Pengendalian Penduduk dan Keluarga Berencana di Tingkat Provinsi, Kabupaten dan Kota”, Jumat (13/3) lalu mengatakan, pertumbuhan dan perubahan struktur penduduk tidak sama di masing-masing provinsi, kabupaten maupun kota. Maka, pemanfaatan bonus demografi perlu untuk menyesuaikan situasi dan kondisi kewilayahan.
Pertanyaannya kemudian, apakah ada peta tentang pertumbuhan dan perubahan struktur penduduk di masing-masing provinsi? Bagaimana rasio ketergantungan di masing-masing daerah? Informasi maupun data ini penting untuk dimiliki dan dipahami oleh seluruh pemangku kebijakan daerah sehingga bisa memanfaatkan bonus demografi dengan maksimal.
“Kebijakan perlu disusun berdasarkan bukti atau data. Kita tidak bisa melakukan sesuatu tanpa data. Maka, proses pengumpulan data dan ketersediaan data menjadi sangat penting di dalam proses pengambilan keputusan atau perumusan kebijakan,” kata Sukamdi.
Sebagai contoh, rasio ketergantungan di Daerah Istimewa Yogyakarta diproyeksikan akan kembali meningkat pada 2017 mendatang. Meskipun, angka nasional menurut Proyeksi Penduduk Indonesia 2010-2035 baru akan mencapai titik terendah 46,9 persen pada kurun waktu 2028-2031 untuk kemudian naik kembali.
Mengapa demikian? DIY memiliki angka lanjut usia yang cukup tinggi. Tingginya angka lansia bukan semata-mata karena angka harapan hidup yang tinggi, tetapi juga karena migrasi masuk. DIY menjadi salah satu daerah tujuan bagi penduduk yang hendak menikmati masa pensiunnya. Tidak sedikit penduduk lansia dari Jakarta, Bandung, bahkan wilayah-wilayah lainnya di luar Pulau Jawa yang membeli rumah di DIY. Di Sleman misalnya, banyak perumahan yang ditinggali oleh para lansia.
Tak hanya soal lansia, DIY juga menghadapi kendala dalam mendata penduduknya yang berasal dari luar DIY. Para mahasiswa yang termasuk dalam kategori penduduk usia produktif misalnya, banyak yang tidak melaporkan diri. Padahal, data mereka sangat berpengaruh terhadap komposisi penduduk menurut umur. Jika pendataan ini bisa dilakukan, Sukamdi mengatakan, mungkin rasio ketergantungan DIY tidak akan meningkat begitu cepat karena diseimbangkan dengan perubahan jumlah penduduk usia produktif yang datang dari luar DIY.
“DIY memiliki problematik tersendiri sehingga kebijakan yang diterapkan juga harus berbeda. Bukan hanya di DKI Jakarta saja, jika berbicara kependudukan, isu migrasi juga menjadi aspek yang penting di DIY,” kata Sukamdi lagi.
Kebijakan yang tidak tepat hanya akan membuat bonus demografi lewat begitu saja. Jumlah penduduk yang besar justru akan meningkatkan tekanan terhadap kebutuhan pangan, energi serta daya dukung lingkungan. Pemerintah pun perlu mengarahkan investasinya pada human capital dengan merumuskan kebijakan strategis yang tepat pada bidang kesehatan, pendidikan, eknonomi, ketenagakerjaan, infrastruktur, dan lain sebagainya. [] Media Center PSKK UGM.