YOGYAKARTA, KOMPAS — Pengelolaan kelautan di Indonesia terkendala tumpang tindih aturan dan kewenangan berbagai instansi pemerintah. Saat ini ada 23 undang-undang terkait kelautan, tetapi bersifat sektoral dan tidak komprehensif. Pemerintah Joko Widodo-Jusuf Kalla diminta mengatasi itu agar Indonesia bisa benar-benar menjadi negara maritim.
”Salah satu tantangan adalah bidang kelautan masih dikelola secara sektoral. Setiap sektor tumbuh dan bekerja dengan undang-undangnya sendiri,” kata Kepala Badan Penelitian dan Pengembangan Kelautan dan Perikanan Achmad Poernomo dalam Kongres Maritim Nasional, Selasa (23/9), di Balai Senat Universitas Gadjah Mada (UGM), Yogyakarta.
Achmad menjelaskan, sebagai negara kepulauan terbesar kedua di dunia setelah Kanada, Indonesia memiliki potensi kelautan yang sangat menjanjikan. Indonesia memiliki 17.504 pulau dengan panjang garis pantai 104.000 kilometer dan luas laut 5,8 juta kilometer persegi. Dari 511 kabupaten/kota di Indonesia, 60 persen merupakan kabupaten/kota pesisir dan lebih dari 60 persen penduduk Indonesia bertempat tinggal di daerah pesisir.
Dia menambahkan, laut Indonesia bisa menyediakan 6,5 juta ton ikan per tahun dan memiliki keanekaragaman hayati berupa 8.500 spesies ikan, 555 spesies rumput laut, dan 950 spesies terumbu karang. Potensi ekonomi kelautan Indonesia yang terkait sumber daya alam dan jasa maritim bernilai 1,2 triliun dollar AS per tahun.
”Selama beberapa tahun terakhir, pembenahan di bidang kelautan terus dilakukan, tetapi masih ada sejumlah tantangan,” kata Achmad.
Salah satu tantangan itu adalah pengelolaan kelautan yang masih bersifat sektoral. Setiap sektor yang terkait dengan laut, misalnya kepabeanan, energi dan sumber daya mineral, pelayaran, pertahanan dan keamanan, perikanan, dan kehutanan, berjalan sendiri sesuai undang-undang (UU) masing-masing.
”Kita punya 23 UU sektoral yang terkait kelautan, tetapi tidak ada UU yang mengintegrasikannya sehingga kita tidak punya landasan untuk membuat tata ruang laut nasional,” ujar Achmad. Kondisi itu membuat konflik kepentingan dan kewenangan di antara lembaga pemerintah kerap terjadi. Untuk mengatasinya, Indonesia membutuhkan regulasi induk tentang kelautan.
”RUU Kelautan yang saat ini sedang dibahas DPR, DPD, dan pemerintah diharapkan bisa jadi solusi dan bisa menjadi landasan legal pertama Indonesia menjadi negara maritim,” katanya.
Rektor UGM Pratikno mengatakan, pemerintah Joko Widodo (Jokowi)-Jusuf Kalla ke depan harus bisa mewujudkan janji membawa Indonesia menjadi negara maritim. Untuk itu, pemerintah ke depan sangat perlu memperhatikan masalah tumpang tindih kewenangan itu.
”Dua bulan setelah kabinet dibentuk, saya berharap langkah pemerintah untuk pengarusutamaan bidang maritim sudah bisa kelihatan, baik terkait ekonomi, politik, maupun pembangunan sosial,” ucapnya.
Pratikno juga mengusulkan pemerintah memperkuat transportasi laut dari wilayah barat hingga timur Indonesia. Penguatan itu akan membuat harga barang di wilayah-wilayah terpencil menjadi lebih murah sehingga pertumbuhan ekonomi daerah itu bisa lebih baik.
Penduduk muda
Secara terpisah, pakar kependudukan UGM, Pande Made Kutanegara, mengingatkan, pemerintah mendatang juga harus memperhatikan faktor manusia dan kependudukan. Apalagi, Indonesia saat ini memiliki bonus demografi.
”Kalau kebijakan pemerintah Jokowi tepat, umur penduduk muda yang banyak ini akan menjadi bonus. Namun, kalau salah justru akan menjadi bencana dan bahkan beban pembangunan ke depan,” ungkapnya.
Kebijakan kependudukan bukan semata-mata menaikkan tingkat pendidikan dan ukuran-ukuran kuantitatif. Namun, yang lebih penting adalah aspek kualitatif, seperti semangat kerja keras dan mental kewirausahaan.
Made menyebutkan, kelemahan pemerintah Susilo Bambang Yudhoyono selama dua periode adalah kurang memperhatikan isu kependudukan ini. Catatan Kompas, penduduk usia produktif Indonesia meningkat pesat sejak awal 1980-an, dari 81,9 juta jiwa pada 1980 diproyeksikan meningkat menjadi 207 juta jiwa pada akhir 2035. (HRS/SUT)
*Sumber: Harian KOMPAS, 24 September 2014