Metrotvnews.com, Jakarta: Tahun 2014 dalam beberapa jam lagi segera berakhir. Namun, tidak dapat dipungkiri, hingga penghujung tahun ini, capaian sektor pangan tidak dapat dikatakan sukses. Pasalnya, dari tahun ke tahun negeri ini kian menggantungkan diri pada produk pangan impor.
Ketua Umum Perhimpunan Peternak Sapi dan Kerbau Indonesia (PPSKI) Teguh Boediyana beberapa waktu lalu mengatakan, pada 11 Juni 2005 di Bendungan Jatiluhur Purwakarta, mantan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) mencanangkan Revitalisasi Pertanian, Perikanan, Perkebunan, dan Kehutanan. Tindak lanjut dari pencanangan itu di bidang pertanian adalah Program Swasembada lima komoditas pangan pada 2010, yaitu beras, daging sapi, kedelai, jagung, dan gula.
Namun, program swasembada lima komoditas itu kurang berjalan sesuai harapan. Program tersebut kemudian dilanjutkan pada era Kabinet Indonesia Bersatu (KIB) Jilid II dan ditargetkan tercapai pada 2014. Akan tetapi, lagi-lagi, hingga pengujung KIB II, pencapaian target swasembada lima komoditas pertanian tersebut juga tidak tercapai.
Teguh menilai, tidak ada perubahan yang berarti dalam produksi kedelai. Akibatnya, Indonesia harus impor 70 persen dari kebutuhan nasional. Selain itu, jagung, gula, beras juga masih harus diimpor.
Teguh mengatakan, impor yang sangat mencolok adalah komoditas daging sapi. Sebab, dalam proyeksi yang disusun Kementerian Pertanian seharusnya impor tahun ini hanya sekitar 10 persen kebutuhan nasional atau setara sekitar 54,56 ribu ton daging sapi. Berdasarkan hasil sensus pertanian BPS 2013, populasi sapi potong hanya 12,6 juta ekor.
BPS mencatat, nilai impor produk pertanian melonjak 346 persen, atau empat kali lipat, selama periode 2003-2013. Laju pertumbuhan impor tersebut jauh melampaui laju pertumbuhan penduduk selama satu dekade. Pada 2003, jumlah penduduk Indonesia sekitar 214 juta. Di 2013, populasi Indonesia menjadi lebih dari 252 juta orang, tumbuh 18 persen jika dibandingkan dengan 2003.
Dengan mempertimbangkan laju inflasi dan nilai tukar rupiah selama periode yang sama, pertumbuhan impor produk pertanian masih jauh meninggalkan laju pertumbuhan penduduk. Itu berarti kemampuan negeri kita dalam menghasilkan produk pertanian melemah sehingga harus ditutupi impor.
BPS mencatat, peningkatan impor produk pertanian dari USD3,34 miliar di 2003 menjadi USD14,9 miliar di 2013. Impor produk pertanian tercatat didominasi oleh produk hortikultura.
Namun, hal ini dibantah oleh Direktur Jenderal Hortikultura Kementerian Pertanian (Kementan) Hasanuddin Ibrahim, yang mengklaim, impor produk hortikultura justru mengalami tren penurunan pada periode 2009-2013. Menurut dia, volume impor hortikultura 2009-2013 sayuran menurun 0,5 persen. Didominasi 60 persen bawang putih. Selain itu, lanjutnya, impor buah-buahan juga menurun sebesar 6,2 persen. Impor didominasi buah-buahan sub-tropis seperti apel, pir maupun anggur.
Adapun dibanding produksi nasional, nilai impor sayuran hanya sekitar 10 persen. Sementara nilai impor buah sekitar 5 persen dari total produksi. "Jadi 90 persen kebutuhan buah dan sayuran dipenuhi oleh produksi dalam negeri," katanya.
Hasanuddin belum bisa memastikan apakah penurunan impor disebabkan kebijakan pembatasan pintu masuk impor produk hortikultura. Namun, diakuinya hal tersebut memberikan tekanan di kalangan importir.
Sesuai Peraturan Menteri Pertanian Nomor 15 Tahun 2012 dan Permentan Nomor 16 Tahun 2012 pemerintah hanya mengizinkan empat pintu masuk untuk impor produk hortikultura dari sebelumnya delapan pelabuhan. Empat pintu masuk yang dibuka untuk impor produk hortikultura yakni Pelabuhan Tanjung Perak, Surabaya, Pelabuhan Makassar, Pelabuhan Belawan, Medan, dan Bandara Soekarno-Hatta, Tangerang. Sementara Pelabuhan Tanjung Priok sudah ditutup. Aturan ini mulai berlaku 19 Juli 2012.
Dia menambahkan, persoalan hortikultura kecuali bawang putih bukan karena produksinya yang kurang. Tapi disebabkan konsumen tertentu yang membeli produk impor. Hasanuddin menduga, peningkatan data impor pertanian menyangkut gandum dan beras ketan. Sebab, industri makanan di dalam negeri dan kelompok kelas menengah tengah bertumbuh.
Penyusutan Lahan Pertanian
Ketidakmampuan kita memenuhi pangan dari dalam negeri sendiri dan malah bergantung pada pangan impor tersebut disinyalir akibat menyusutnya lahan usaha tani sebanyak 5 juta hektar menjadi 26 juta hektar. Dalam tempo 10 tahun, Indonesia kehilangan 5,07 juta rumah tangga usaha petani.
Di sisi lain, teknologi pertanian yang diterapkan di Indonesia tidak banyak berkembang. Bawang merah impor merambah hingga ke sentra-sentra produksi di dalam negeri. Gula mentah impor menyeruak ke pasar domestik hingga mematikan usaha petani tebu.
Janji menambah lahan milik petani yang dilontarkan pemerintah tidak kunjung dipenuhi. Perbaikan tata niaga pertanian untuk memotong rantai pasokan produk petani pun terbengkalai. Rakyat lebih memilih menjadi pedagang yang bisa meraup untung berkali lipat ketimbang hidup miskin sebagai petani.
Menyadari kekeliruan yang terjadi selama ini, pemerintahan baru RI pimpinan Presiden Joko Widodo (Jokowi) dan Wakil Presiden Jusuf Kalla (JK) pun mencanangkan target-target swasembada pangan di era kepemimpinannya. Masih teringat, salah satu janji Jokowi-JK pada saat kampanye Pilpres dulu untuk menciptakan sektor pertanian yang bagus. Dengan menambah lahan pertanian untuk rakyat agar bisa memenuhi kebutuhan padi untuk rakyat Indonesia. Karena Jokowi melihat masyarakat sepertinya kekurangan lahan untuk pertanian.
Namun, lagi-lagi, upaya untuk menambah lahan pertanian tersebut bukanlah tanpa halangan. Ketua Umum Serikat Petani Indonesia (SPI) Henry Saragih mengatakan, sepanjang tahun 2014 masih banyak terjadi konflik agraria terbuka yang melibatkan petani dan korporasi, setidaknya ada 29 konflik terbuka yang mencuat ke permukaan dan 114 konflik yang masih berkecamuk di akar rumput.
Konflik agraria yang terjadi di Indonesia pada tahun 2014 mencakup total luas lahan sekitar 649,97 ribu hektar (ha). Konflik agraria itu secara tidak langsung berkontribusi pada berkurangnya tenaga kerja di sektor pertanian, selain juga karena sulitnya akses pelayanan publik serta kesejahteraan untuk petani. Henry menambahkan, kelangkaan pupuk disertai lonjakan harga di pasar pun menjadi dilema tersendiri bagi petani.
Henry khawatir swasembada pangan tidak secara otomatis dapat mengatasi problem yang terjadi terkait pelanggaran hak-hak asasi petani apabila tidak ada upaya untuk memperbaiki kebijakan-kebijakan yang ada saat ini. Dia khawatir swasembada yang terjadi nanti untuk komoditas padi, jagung, dan kedelai bukan diproduksi petani, melainkan oleh pihak lain seperti korporasi.
Di kesempatan berbeda, Direktur Jenderal Sumber Daya Air Kementerian PUPR Mudjiadi mengatakan, target pencapaian surplus produksi beras nasional pada 2014 sebesar 10 juta ton akan sulit dicapai karena produktivitas sektor pertanian nasional masih menghadapi sejumlah kendala yang belum teratasi sampai saat ini. Kendala tersebut antara lain penyusutan lahan, produksi padi petani menurun, serta minimnya sarana irigasi
Lebih lanjut dia mengatakan bahwa target tersebut adalah target pemerintahan sebelumnya. Sementara untuk target pemerintahan saat ini adalah swasembada beras sebagai bagian dari program ketahanan pangan. "Kalau swasembada patokannya adalah kemampuan memproduksi lebih dari kapasitas yang ada saat ini. Misalnya produktivitas nasional 70 juta ton beras, maka bertambah lima ton, sudah bisa dikatakan swasembada," ucapnya beberapa waktu lalu.
Target tersebut menurutnya sangat mungkin tercapai karena akan diikuti juga dengan program perbaikan dan pembangunan irigasi secara nasional. "Perbaikan saluran irigasi 3,3 juta ha dan irigasi baru 1,1 juta ha, itu sudah cukup memadai dalam tiga tahun ke depan," ujar dia.
Mudjiadi menambahkan, untuk perbaikan saluran irigasi tersebut sebesar 2 juta ha akan menjadi tanggung jawab pemerintah provinsi dan satu juta ha pemerintah pusat. "1,1 juta ha irigasi baru paling banyak akan berada di luar Jawa seperti Sulawesi dan Sumatera," tukasnya. Realisasi surplus beras pada tahun ini hanya sekitar 5 juta ton.
Wakil Menteri Pertanian Rusman Heriawan beberapa waktu lalu mengatakan, Pulau Jawa dalam beberapa tahun ke depan tetap menjadi pusat produksi padi. Namun demikian, penurunan luas lahan sawah di Jawa terjadi setiap tahun dan berdasarkan data 2005-2010 rata-rata turun 0,3 persen. “Penurunan tersebut karena lahan produktif dialihfungsikan untuk kegiatan non pertanian,” ujar Rusman.
Sebaliknya, di luar Jawa terjadi peningkatan luas lahan sawah sebesar 1,1 persen per tahun dan secara nasional terjadi peningkatan luas lahan sawah sebesar 0,6 persen per tahun. “Dengan demikian berbagai upaya sangat diperlukan untuk menekan konversi lahan sawah di Jawa dan meningkatkan lahan sawah di luar Jawa,” kata dia.
Sementara itu Kepala Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian Kementerian Pertanian, Haryono menambahkan di sektor pertanian masih besar gap antara jumlah penelitian yang dilakukan dibanding dengan yang telah dimanfaatkan dalam pembangunan pertanian.
Menurutnya, keunggulan komparatif dan padat karya secara umum masih mendominasi dibandingkan dengan keunggulan kompetitif yang bertumpu pada inovasi teknologi. “Hal ini tentu sangat mempengaruhi produktivitas, produksi dan daya saing pangan dan pertanian nasional,” kata dia.
Maka dari itu, Kementerian Pertanian menyusun kebijakan dan perencanaan pembangunan pertanian melalui implementasi mekanisme perencanaan yang terdesentralisasi (decentralized action plan) yang sejalan dengan kondisi otonomi daerah saat ini.
Presiden Jokowi pernah mengatakan, mustahil mewujudkan swasembada pangan selama jaringan irigasi tidak siap. Dia mencatat 52 persen irigasi yang ada di Indonesia rusak, bahkan beberapa di antaranya sudah 30 tahun tidak diperbaiki.
Untuk mencapai target swasembada pangan, menurut Jokowi, pemerintah akan membangun sekitar 24 waduk baru di beberapa daerah di Indonesia, guna mencapai target Swasembada Pangan pada 2017. Lima waduk pertama akan dibangun mulai Januari dan Februari 2015, yakni Bendungan Kerto di Aceh, Kariyan di Banten, Logung di Kudus, Ratnamo di Nusa Tenggara Timur, serta Lolak di Sulawesi Utara. Diperkirakan, pembangunan bendungan tersebut membutuhkan waktu dua-tiga tahun dengan investasi Rp5,6 triliun.
Rencana Pembangunan Bendungan dan Irigasi
Selain masalah benih, pupuk dan tanah yang melingkupi pembangunan di sektor pertanian Indonesia, pemerintah memperjuangkan rencana ke depan dengan pembangunan dan perbaikan jaringan irigasi seluas 3 juta hektar (ha) sawah, serta mempercepat pembangunan 27 bendungan pada 2014, selanjutnya membangun lima lagi bendungan pada 2015 yang lokasinya di Aceh, Kudus, NTT dan Kaltim serta pada 2016 pemerintah telah mentargetkan minimal pembangunan 20 bendungan dapat dibangun. Pemerintah juga menyiapkan pembukaan areal baru bagi lahan pertanian di luar jawa dengan target luas sebesar 1 juta ha.
Presiden Jokowi pun mengalokasian dana anggaran pada dana alokasi khusus (DAK) untuk provinsi dan kabupaten yang akan dikhususkan dedikasinya untuk rehabilitasi jaringan irigasi. Pernyataan tersebut dapat diartikan bahwa dengan dana DAK yang sangat cukup bagi daerah, maka masalah dana untuk pemeliharan jaringan irigasi dapat teratasi. Berdasarkan data dari Kementerian Pekerjaan Umum, ada sebanyak 52 persen saluran irigasi di seluruh Indonesia keadaannya mengalami rusak parah dan harus segera dibenahi. Sehingga dengan pengelolaan air yang terawat dan lancar sangat berperan penting untuk mengalirkan air secara cukup dan perlahan-lahan ke lokasi areal sawah petani atau pun daerah pertanian lainnya.
Pembenahan Sektor Pangan Menghadapi MEA 2015
Upaya pembenahan sektor pangan ini mendesak dilakukan. Bukan hanya demi mengejar target swasembada pangan, lebih dari itu, dengan akan diberlakukannya perdagangan bebas di kawasan masyarakat ekonomi ASEAN (MEA) pada awal 2015 nanti, Indonesia harus segera berbenah dengan segala kekurangannya untuk bersiap menghadapi gempuran hasil produksi pertanian dari negara-negara lain, yang memiliki potensi harga jual lebih murah serta kualitas produk yang jauh lebih baik.
Kurang mampunya kita memenuhi kebutuhan konsumsi produk pertanian nasional juga terlihat dari kemampuan modal para petani Indonesia yang masih sangat minim, akses kredit dan teknologi yang terbatas, dan musim yang bersifat anomali, serta distribusi produk pertanian ke seluruh wilayah pemasaran yang juga masih sangat terbatas. [] Widyasari
*Sumber: Metro TV | Ilustrasi: ANTARA/Andreas Fitri Atmoko