Tangani Kasus Kekerasan, Kemen PP-PA Miliki Standar Pelayanan Minimal

24 Juni 2015 | admin
Kegiatan, Media, Pelatihan / Lokakarya

Yogyakarta, PSKK UGM — Fenomena kasus kekerasan terhadap perempuan dan anak di Indonesia sudah sangat banyak. Belum lama ini, kasus kematian Angeline di Bali dan kasus dijatuhinya vonis hukuman mati terhadap anak di bawah umur di Gunung Sitoli ramai menjadi perbincangan publik. Kasus-kasus seperti ini terus menunjukkan kepada kita, betapa perempuan dan anak adalah kelompok yang paling rentan terhadap tindak kekerasan.

Deputi Bidang Perlindungan Perempuan, Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (KPP PA), Dra. Luly Altruiswaty, M.Sc. mengatakan, dalam hal ini pemerintah memang harus hadir dalam melindungi dan memberi rasa aman bagi masyarakat. Tapi, pemerintah pun harus mendapatkan dukungan atau support dari masyarakat seluruhnya dalam upaya memberantas tindak kekerasan.

“Setiap elemen masyarakat perlu meningkatkan kepedulian dan kepekaannya. Tidak sedikit kasus kekerasan yang terjadi berulang karena kontrol sosial yang lemah. Oleh karena itu, marilah kita sama-sama menghidupkan kepedulian dan kepekaan itu kembali,” kata Luly saat membuka pelatihan enumerator untuk Studi Pemetaan Costing Standar Pelayanan Minimal Bagi Perempuan dan Anak Korban Kekerasan di Ruang Seminar G-7, Pusat Studi Kependudukan dan Kebijakan UGM, Selasa (16/6) lalu.

Urusan mengenai pemberdayaan perempuan dan perlindungan anak merupakan urusan wajib walaupun bukan merupakan bagian dari pelayanan dasar. Maka, Luly menambahkan, upaya terkait penanganan kekerasan haruslah terintegrasi baik lintas kementerian maupun lembaga. Persoalan dan penanganan kasus kekerasan bukanlah entitas tunggal, namun sangat kompleks, mengikat, dan lintas bidang pembangunan.

Kemen PP-PA sudah mengupayakan untuk memiliki aturan atau kebijakan mengenai standar pelayanan minimal bidang layanan terpadu bagi perempuan dan anak korban kekerasan. Aturan itu tertuang dalam Permen PP-PA Nomor 1 Tahun 2010. Di aturan tersebut, ada lima jenis layanan yang harus diberikan unit pelayanan terpadu kepada perempuan dan anak korban kekerasan, antara lain pelayanan penanganan laporan atau pengaduan, pelayanan kesehatan, rehabilitasi sosial, penegakan dan bantuan hukum, serta pemulangan dan reintegrasi sosial bagi perempuan dan anak korban kekerasan.

Luly menambahkan, khusus untuk layanan pemulangan dan reintegrasi sosial menjadi penting bagi perempuan dan anak yang menjadi korban perdagangan manusia (human trafficking). Para korban biasanya juga terkait dengan pengalaman eksploitasi seksual.

“Agar bisa kembali ke masyarakat, maka penerimaannya perlu diupayakan. Seringkali tidak mudah karena pemberian stigma justru diberikan oleh masyarakat. Pola pikir seperti itu yang perlu diubah dengan meningkatkan empati atau kepedulian tadi,” kata Luly lagi.

Sementara itu, Asisten Deputi Penanganan Kekerasan Terhadap Perempuan, Kemen PP-PA, Rohika Kurniadi Sari, SH., M.Si. dalam kesempatan yang sama mengatakan, Permen PP-PA No. 1/2010 telah dilengkapi dengan standar pembiayaan bagi korban kekerasan dan sudah berjalan hampir lima tahun. Dalam perjalanannya, banyak kebijakan yang harus disinergikan dalam upaya pelayanan bagi korban kekerasan dengan kebijakan nasional.

Sempat melakukan studi penilaian pada 2014, Kemen PP-PA menemukan bahwa kesulitan terbesar yang dihadapi oleh daerah dalam alokasi anggaran, yakni menghitung estimasi biaya penanganan kasus untuk setiap korban yang ditangani. Fleksibilitas kebutuhan penanganan kasus di lapangan memang terbukti memberikan kesulitan tersendiri dalam pengusulan anggaran.

“Kendala lain adalah standar biaya yang ada dalam SPM belum dipakai secara optimal oleh daerah untuk mengusulkan anggaran karena perbedaan standar biaya di setiap daerah” kata Rohika.

Meski ada perbedaan standar biaya, kebutuhan-kebutuhan biaya untuk penanganan sebenarnya hampir sama, misalnya untuk pendampingan korban, pelayanan kesehatan secara fisik, seksual hingga pembuatan visum, hingga proses hukum, pelayanan konseling, pemulangan korban dan reintegrasi. Semua pembiayaan ini pun sebenarnya telah diakomodasi besarannya dalam standar biaya di SPM, namun memang bergantung pada jenis kasus yang ditangani.

“Jika ingin memberikan perlindungan yang optimal, komprehensif maka standar pembiayaan menjadi sangat penting untuk diketahui oleh pemerintah. Di sinilah alasan mengapa studi soal pemetaan pembiayaan atau costing SPM yang dilakukan bersama PSKK UGM ini penting,” kata Rohika lagi. [] Media Center PSKK UGM.