12 JUNI: Peringatan Hari Internasional Menentang Pekerja Anak
Yogyakarta, PSKK UGM – “Mewujudkan Masa Depan Tanpa Pekerja Anak” (Future without Child Labour) tak lain merupakan upaya dunia internasional guna menangani persoalan pekerja anak yang hingga kini masih memprihatinkan realitasnya. Tak ketinggalan, Pemerintah Indonesia pun berkomitmen untuk mewujudkan “Bebas Pekerja Anak” pada 2022. Namun, tanpa upaya peningkatan kesadaran pada komunitas atau masyarakat tentang isu pekerja anak, cita-cita tersebut tampak mustahil.
Pemerintah melalui Kementerian Tenaga Kerja dan Transmigrasi sejak 2008 telah melakukan aksi Pengurangan Pekerja Anak untuk mendukung Program Keluarga Harapan (PPA-PKH). Program ini melakukan penarikan terhadap pekerja anak dari lingkungan kerjanya dan dikembalikan ke dunia pendidikan melalui beragam pendampingan. Sasarannya adalah anak-anak yang bekerja dan tidak bersekolah dari Rumah Tangga Sangat Miskin (RTSM).
Pelaksana Tugas Direktur Pengawasan Norma Kerja Perempuan dan Anak Kementerian Ketenagakerjaan, Laurend Sinaga seperti dilansir dari halaman situs resmi Kemenaker mengatakan, melalui PPA-PKH sudah ada 11.000 pekerja anak yang telah ditarik dari lingkungan kerja pada 2013, kemudian 15.000 pekerja anak pada 2014, dan 16.000 pekerja anak pada 2015. Jika dilihat sejak 2008, pemerintah mengklam bahwa total penarikan pekerja anak hingga 2016 sejumlah 80.163 pekerja anak.
Pemerintah memang sudah menyusun sekian kebijakan serta strategi terkait penghapusan pekerja anak misalnya, melalui Peta Jalan (roadmap) Pencapaian Penghapusan Bentuk-Bentuk Pekerjaan Terburuk untuk Anak (BPTA) Tahun 2016 maupun Rencana Aksi Nasional (RAN) Penghapusan BPTA. Namun, Peneliti Pusat Studi Kependudukan dan Kebijakan Universitas Gadjah Mada, Novi Widyaningrum, M.A. mengatakan, capaian tersebut menjadi kurang efektif apabila belum ada pemahaman tentang pekerja anak dan hak anak pada level komunitas atau masyarakat.
Menurut Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan Anak, pekerja anak adalah anak yang berumur di bawah usia 18 tahun dan melakukan segala jenis pekerjaan yang memiliki sifat atau intensitas yang mengganggu pendidikan, membahayakan keselamatan, kesehatan serta tumbuh kembangnya. Pada situasi sosial masyarakat, ada kecenderungan sikap permisif dari para orang tua terhadap anak-anaknya yang bekerja. Anak ikut bekerja dengan alasan untuk membantu beban orang tua.
“Sistemnya sudah dibuat sedemikian rupa oleh negara, tapi belum benar-benar menyentuh aspek kulturnya. Ini adalah jalan panjang, bagaimana mengubah pola pikir atau mindset terutama orang tua. Ada banyak kasus dimana anak tidak secara legal menjadi pekerja seperti di perkebunan dan bekerja atas ijin orang tua,” kata Novi.
Menceritakan tentang Studi Kualitatif Kasus Pekerja Anak Perkebunan di Kabupaten yang pernah dilakukan pada 2014, Novi menambahkan, dari 24 informan pekerja anak, sebagian besar mengaku mulai bekerja karena disuruh oleh orang tua. Ada di antara mereka yang mendapat upah dari orang tua, ada pula yang bekerja tanpa upah. Setiap anak berpeluang untuk bekerja melalui proses internal, sebab hampir seluruh orang tua dari pekerja anak yang diwawancarai tersebut tidak memiliki lahan perkebunan tembakau sendiri.
Beberapa yang lain mengemukakan alasan bekerja berangkat dari inisiatif mereka sendiri. Faktor peer group dari para anak sendiri yang membuat mereka memutuskan untuk ikut bekerja. Aktivitas bekerja bersama teman-teman di lingkungannya rumah itu mendorong anak-anak untuk masuk dalam aktifitas ekonomi ini.
“Anak lalu sungkan jika menganggur, tidak melakukan apa-apa sementara orang tuanya bekerja di hadapan mereka. Dengan dorongan untuk bekerja bersama teman-temannya, maka, mereka dengan sukarela ikut membantu menyelesaikan pekerjaan orang tuanya,” kata Novi lagi.
Terkait rentang waktu bekerja per hari, ada 33,3 persen anak-anak yang bekerja 1-3 jam, lalu 20,8 persen bekerja selama 4-6 jam, 25 persen bekerja selama 7-9 jam per hari, dan 4,2 persen bekerja lebih dari 9 jam. Ada 16,7 persen informan pekerja anak yang tidak menjawab pertanyaan terkait rentang waktu bekerja.
Selain itu, hasil studi kualitatif juga menunjukkan hampir separuh dari informan pekerja anak tidak berminat untuk melanjutkan pendidikan ke jenjang selanjutnya. Penghasilan yang mereka dapat dari kebun tembakau dirasa dapat memenuhi kebutuhan hidup. Bagi mereka, masa depan akan terjamin saat telaten bekerja di kebun tembakau sehingga tak mengherankan bila ada dari mereka yang yakin untuk tidak meneruskan sekolah dan memilih bekerja.
Sebanyak sepuluh informan pekerja anak tidak lagi bersekolah. Dua anak berusia sekolah dasar, enam anak berusia sekolah menengah pertama, dan dua anak berusia sekolah menengah atas. Jika melihat alasannya, 70 persen pekerja anak yang tidak lagi bersekolah tersebut sudah tidak mau lagi memikirkan materi pelajaran sekolah (malas belajar). Sementara 30 persennya karena ketidakmampuan keluarga untuk membiayai. Selain rendahnya minat belajar pekerja anak, pemakluman dari orang tua menjadi persoalan tersendiri. Semua informan mengatakan, para orang tua tidak bermasalah bila anak bekerja di kebun atau proses pasca panen tembakau, sebaliknya senang karena bisa ikut menyokong ekonomi keluarga.
“Ketiadaan data yang valid tentang jumlah pekerja anak di Indonesia menunjukkan bahwa fenomena ini merupakan gunung es, oleh karena itu identifikasi pekerja anak harus dilakukan di level komunitas oleh masyarakat sendiri. Proses musrenbang kini sudah melibatkan masyarakat. Masyarakat bisa didorong untuk mengidentifikasi adanya pekerja anak dan membuat perencanaan terkait penghapusan pekerja anak di desa atau lingkungannya. Bahwa menarik anak dari pekerjaan, khususnya di sektor-sektor yang eksploitatif idealnya dilakukan oleh masyarakat dengan pemahaman dan kesadaran yang penuh, bukan oleh pemerintah, lembaga sosial masyakarat atau lembaga lain semata,” jelas Novi. [] Media Center PSKK UGM | Ilustrasi pekerja anak di perkebunan tembakau/Human Right Watch