Siaran pers dalam rangka peringatan HUT Ke-43 Pusat Studi Kependudukan dan Kebijakan UGM
Yogyakarta, PSKK UGM — Butir pertama dan kesepuluh dari tujuan pembangunan berkelanjutan atau sustainable development goals (SDGs) adalah mengakhiri kemiskinan dan mengurangi ketimpangan. Untuk mewujudkannya, Indonesia masih menghadapi tantangan berat dimana baik tingkat kemiskinan maupun indeks rasio gini yang menunjukkan tingkat ketimpangan, masihlah tinggi.
Tingkat kemiskinan di Indonesia memang masih menunjukkan kecenderungan menurun, namun dalam satu dekase terakhir mengalami pelambatan. Bahkan, mulai merayap naik pada awal 2015. Data Badan Pusat Statistik (BPS) pada Maret 2015 menunjukkan, tingkat kemiskinan di Indonesia adalah 11,22 persen atau sebanyak 28,59 juta orang masih hidup dalam kemiskinan. Angka ini lebih tinggi jika dibandingkan dengan tingkat kemiskinan pada semester sebelumnya, yakni 10,96 persen atau 27,73 juta orang miskin pada September 2014.
Kepala Pusat Studi Kependudukan dan Kebijakan Universitas Gadjah Mada, Dr.soc.pol. Agus Heruanto Hadna, M.Si. dalam Seminar HUT Ke-43 PSKK UGM, Sabtu (9/4) menuturkan, sejak awal dekade 1970-an pemerintah gencar melaksanakan berbagai macam program penanggulangan kemiskinan, dan bahkan menjadi arus utama pembangunan. Akan tetapi, kenyataan bahwa tingkat kemiskinan masih relatif tinggi dan cenderung meningkat kembali menunjukkan, ada yang salah dengan kebijakan penanggulangan kemiskinan yang diambil oleh pemerintah selama ini.
“Ada permasalahan pada pemahaman serta parameter kemiskinan yang selama ini terlalu mengandalkan pada aspek moneter. Padahal, kemiskinan perlu juga untuk dilihat secara komprehensif dan beragam. Kami menyebutnya sebagai asymmetric poverty atau kemiskinan asimetris,” kata Hadna.
Sebagai contoh, Indeks Kemiskinan Multidimensi (IKM) seperti yang dikembangkan oleh Perkumpulan Prakarsa bersama Oxford Poverty and Human Development Initiative (OPHI) Universitas Oxford. Metode ini lahir karena adanya ketidakpuasan terhadap pengukuran kemiskinan dengan pendekatan moneter yang selama ini dominan. Dalam IKM, kemiskinan juga mencakup kurangnya akses terhadap pelayanan kesehatan, pendidikan, dan kualitas hidup yang memadai. Berdasarkan metode itu, tingkat kemiskinan di Indonesia pada 2014 sebesar 29,7 persen. Meski sama-sama menunjukkan tren menurun, ada selisih yang signifikan apabila dibandingkan dengan tingkat kemiskinan pada September 2014 (10,96 persen) menurut BPS.
Selain masalah kemiskinan, tingkat ketimpangan juga cukup tinggi dan cenderung meningkat. Menurut data BPS, rasio gini Indonesia pada 1999 sebesar 0,31 dan dalam perkembangannya mengalami peningkatan hingga 0,41 pada 2014.
Menurut Hadna, tingkat kemiskinan dan tingkat ketimpangan bagaikan dua sisi mata uang. Beberapa provinsi di Indonesia yang pertumbuhan ekonominya cukup tinggi, ternyata juga mengalami kenaikan angka kemiskinan yang tinggi, seperti Bali, Sulawesi Utara, DKI Jakarta, dan DIY. Begitu pula dengan rasio gini di keempat wilayah tersebut yang cukup tinggi, di atas 0,41.
Menurut Bank Dunia (2015), pada 2002 konsumsi dari 10 persen penduduk terkaya sama banyaknya dengan total konsumsi dari 42 persen penduduk termiskin. Lalu pada 2014, konsumsi dari 10 persen penduduk terkaya sama banyak dengan total konsumsi dari 54 persen penduduk termiskin. Pada kurun 2003 sampai 2010, konsumsi per kapita 10 persen penduduk terkaya di Indonesia naik lebih dari 6 persen per tahun setelah memperhitungkan inflasi. Sementara konsumsi 40 persen penduduk termiskin hanya naik kurang dari 2 persen per tahun.
“Ini menegaskan, ada kecenderungan kelompok miskin semakin tertinggal dalam menikmati hasil pembangunan dibandingkan dengan kelompok menengah ke atas,” jelas Hadna.
Pemerintah sebetulnya sudah menargetkan untuk menurunkan tingkat kemiskinan hingga 7 sampai 8 persen, dan rasio gini turun hingga 0,30 seperti yang tertuang dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah dan Panjang (RPJMP) 2015-2019. Agar kebijakan yang diambil efektif, Hadna menambahkan, pemerintah membutuhkan pemahaman serta parameter kemiskinan yang tepat. Kemiskinan perlu dipahami dalam konsep yang multidimensi.
“Ketimpangan bukan hanya persoalan peluang atau akses. Melihat kecenderungan naiknya rasio gini maka harus mempertimbangkan pula ketimpangan atas penguasaan aset yang adil,” jelas Hadna lagi.
Selain parameter, hal penting lainnya yang perlu dikembangkan, yakni metode pengukuran yang merakyat. Dalam perumusan kriteria dan pengumpulan data, perlu melibatkan perspektif dan dinamika rumah tangga miskin beserta komunitasnya.
Hal itu disampaikan oleh Drs. Pande Made Kutanegara, M.Si., Wakil Kepala PSKK UGM dalam kesempatan yang sama dalam seminar. Menurut Pande, perspektif yang berangkat dari masyarakat, terutama yang miskin perlu diperhitungkan di dalam memahami dan mengukur kemiskinan, termasuk dimensi ketimpangannya.
“Prinsipnya, masyarakat khususnya rumah tangga miskin jangan hanya ditempatkan sebagai obyek. Kebijakan penanggulangan kemiskinan yang dibuat perlu mendorong mereka untuk lebih berdaya, dan bukannya mengalami ketergantungan,” kata Pande.
Dengan metode tersebut, kemiskinan tidak hanya dipandang multidimensi, tetapi juga beragam karena berangkat dari perspektif masyarakat, khususnya yang miskin (asymmetric poverty). Pande menambahkan, identifikasi dan pengukuran ini akan semakin komprehensif dan tajam. Harapannya, kebijakan yang dihasilkan juga lebih kontekstual dan efektif dalam menanggulangi kemiskinan.
Kemiskinan Asimetris
Memahami kemiskinan multidimensi, berikut aspek ketimpangan dengan perspektif kerakyatan adalah bentuk pendekatan kemiskinan asimetris. Hadna kembali menambahkan, pendekatan ini sangat strategis, namun kurang menjadi perhatian baik di kalangan pengambil kebijakan maupun di lingkungan akademik. Hal inilah yang kemudian menjadi latar belakang PSKK UGM menyelenggarakan seminar.
Sebagai bagian dari universitas yang mengemban visi kerakyatan dan mempunyai komitmen terhadap upaya penanggulangan kemiskinan dan pengurangan ketimpangan, diselenggarakanlah seminar bertema “KEMISKINAN DAN KETIMPANGAN DI INDONESIA: Perspektif Kerakyatan”. Dalam seminar ini juga dibacakan Deklarasi “Zero Poverty Kampong” (Kampung Bebas Miskin) sebagai “suara dari Bulaksumur” kepada pemerintah, khususnya Kemenko PMK, untuk mempercepat penanggulangan kemiskinan dan pengurangan ketimpangan sebagai bentuk komitmen mewujudkan SDGs. []