Polemik Tes Keperawanan Calon Polisi Wanita di Indonesia
Yogyakarta, PSKK UGM – Hari ini, bertepatan dengan peringatan Hari Internasional untuk Penghapusan Kekerasan terhadap Perempuan, kita kembali diingatkan tentang masih banyaknya kasus kekerasan, dan praktik diskriminasi yang dialami oleh perempuan. Hal itu bisa terjadi dimana saja mulai dari pelecehan seksual di ruang publik, bullying di sekolah, diskriminasi di tempat kerja, hingga kekerasan di dalam rumah tangga.
Lebih jauh, praktik kekerasan, dan diskriminasi terhadap perempuan juga tersistematis melalui berbagai bentuk peraturan, dan kebijakan. Sebagai contoh, tes keperawanan yang harus dijalani oleh seorang calon polisi wanita.
Laporan Human Right Watch menyebutkan, praktik tes keperawanan ternyata masih dijalankan kepolisian meski secara formal syarat tersebut telah dihapuskan sejak era reformasi. Terlepas bukan menjadi penilaian utama yang menentukan, tes keperawanan secara fisik telah menimbulkan trauma. Tes keperawanan merupakan pengalaman buruk bagi perempuan yang mengikuti seleksi masuk kepolisian.
“Ini sesuatu yang sangat ironis. Saat sebuah institusi yang salah satu mandatnya adalah memberikan perlindungan terhadap perempuan, tapi justru melakukan praktik yang represif terhadap perempuan. Jika melihat institusi kepolisian sebagai kepanjangan tangan negara, maka praktik diskriminasi terhadap perempuan itu dilakukan dengan restu dari negara,” kata Dr. Dewi Haryani Susilastuti, pemerhati isu gender sekaligus peneliti Pusat Studi Kependudukan dan Kebijakan Universitas Gadjah Mada.
Banyak pihak kemudian menanyakan, apa pentingnya tes keperawanan terhadap calon polisi wanita. Dewi menambahkan, mungkin institusi kepolisian tidak benar-benar paham apa makna dan maksud dari tes keperawanan. Praktik tersebut jelas menunjukkan kerasnya budaya yang meminggirkan sekaligus merendahkan perempuan. Status seorang perempuan seolah-olah ditentukan apakah dia masih perawan atau tidak. Bukan ditentukan oleh talenta, kapasitas, dan kecerdasan berpikirnya. Bukan juga ditentukan oleh sumbangsih yang bisa dia berikan bagi lingkungan paling kecil sampai ke lingkungan yang paling besar.
Keterlibatan Masyarakat Madani
Sejak berlakunya Undang-Undang Pemberantasan Tindak Pidana Kekerasan dalam Rumah Tangga pada 2004, jumlah penyedia layanan bagi korban kekerasan berbasis gender mengalami peningkatan, termasuk Unit Pelayanan Perempuan dan Anak (UPPA) di tubuh kepolisian. Skema organisasi dan tata kerjanya disusun melalui Peraturan Kepala Kepolisian Negara Republik Indonesia Nomor 10 Tahun 2007. Unit yang pada tingkat Mabes Polri berkedudukan di bawah Direktorat I Keamanan dan Transnasional Bareskrim Polri ini memiliki visi untuk memberikan perlindungan sekaligus pelayanan secara cepat, dan profesional kepada perempuan dan anak yang menjadi korban dan atau saksi atas tindakan kekerasan, dan kejahatan trafficking, dan pelecehan seksual dengan empati.
Namun, sebuah studi menunjukkan, umumnya peningkatan jumlah unit layanan bagi perempuan dan anak belum diikuti dengan meningkatnya kualitas pelayanan. Staf penyedia layanan pada unit-unit tersebut “tidak sensitif gender”, dan belum diberikan pelatihan peningkatan kapasitas yang memadai. Banyak lembaga layanan tersebut belum memiliki fasilitas yang cukup, dan representatif, khususnya tempat penampungan bagi korban.
“Saya kira lembaga atau unit layanan yang sudah matang dalam jumlah ini juga kurang diikuti dengan kampanye yang gencar. Misalnya, diseminasi informasi tentang isu-isu kekerasan terhadap perempuan. Masyarakat bisa tahu unit layanan apa saja yang tersedia, hingga bagaimana cara mengaksesnya, siapa yang harus dihubungi, dan lain sebagainya,” kata Dewi.
Menambah keberadaan unit-unit layanan bagi perempuan dan anak menurut Dewi tidak kemudian serta merta memudahkan akses bagi perempuan selama persoalan kekerasan, dan praktik diskriminasi masih dinilai tabu atau tidak boleh disinggung. Kelembagaan memang perlu diperkuat. Namun, pada saat yang sama, pendidikan serta sosialisasi atau kampanye untuk memerangi kekerasan terhadap perempuan juga harus dilakukan.
“Kita tidak bisa menyerahkan semuanya untuk dilakukan oleh pemerintah. Jadi, memang perlu ada gerakan dari masyarakat madani, masyarakat sipil untuk bersama-sama mengatasi persoalan kekerasan. Ini bisa dilakukan juga bersama lembaga sosial masyarakat, mahasiswa, serta orang-orang yang memiliki perhatian terhadap isu-isu perempuan,” jelas Dewi. [] Media Center PSKK UGM | Photo: UN Women
*Unduh siaran pers (pdf):