Pengarusutamaan Jender Belum Memberikan Hasil Optimal
JAKARTA, KOMPAS – SEPARUH penduduk Indonesia adalah perempuan, tetapi belum banyak merasakan hasil pembangunan manusia, alias masih tertinggal. Hal ini tidak hanya menghambat percepatan peningkatan indeks pembangunan manusia, tetapi juga mengancam keberhasilan pemanfaatan puncak bonus demografi 2020-2040.
“Pengarusutamaan jender belum memberikan hasil optimal,” kata Direktur Program Magister dan Doktor Studi Kebijakan Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta, Muhadjir Darwin saat dihubungi dari Jakarta, Kamis (30/3).
Laporan Pembangunan Manusia Program Pembangunan Perserikatan Bangsa-Bangsa (UNDP) 2016 yang dipublikasikan pekan lalu menunjukkan indeks pembangunan manusia (IPM) Indonesia 2015 untuk perempuan hanya 0,660, tertinggal dibandingkan dengan laki-laki sebesar 0,712. Kesetaraan adalah kunci pembangunan berkelanjutan.
Perempuan tertinggal dalam rata-rata lama sekolah, jumlah yang tamat pendidikan menengah, pendapatan nasional per kapita, dan partisipasi kerja. Kesenjangan pendapatan dan partisipasi kerja adalah yang paling mencolok. Perempuan juga menghadapi persoalan pelik kesehatan akibat tingginya kematian ibu melahirkan dan jumlah remaja putri yang melahirkan.
Muhadjir menilai, akses perempuan terhadap kerja sudah meningkat, tetapi masih banyak hambatan. Banyak perempuan masuk pekerjaan bergaji rendah, seperti buruh dan pedagang kecil.
Mereka juga banyak terperangkap dalam pekerjaan informal yang rentan eksploitasi dan rendah kesejahteraannya seperti asisten rumah tangga.
“Kalaupun masuk kerja bergaji tinggi, sebagian perempuan digaji lebih rendah dibandingkan dengan laki-laki,” katanya.
Sulitnya perempuan masuk pasar kerja, katanya, karena sikap praktis pemberi kerja. Perempuan memiliki cuti menstruasi, hamil, dan melahirkan serta rentan berpindah atau keluar kerja saat mereka menikah. Kondisi itu membuat pemberi kerja merasa tidak aman sehingga mempekerjakan laki-laki dianggap lebih menguntungkan.
Mendorong perempuan masuk pasar kerja juga menjadi syarat utama tercapainya bonus demografi yang mencapai puncaknya pada 2020-2040. Banyaknya perempuan bekerja akan meningkatkan pendapatan rumah tangga yang pada gilirannya menaikkan tabungan dan investasi hingga meningkatkan kesejahteraan masyarakat Indonesia.
Untuk mendorong perempuan masuk pasar kerja, Kementerian Ketenagakerjaan serta Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak perlu menyosialisasikan kepada pemberi kerja tentang manfaat mempekerjakan perempuan dan keadilan jender.
“Pendekatannya harus rasional, tidak bisa hanya dengan alasan hak asasi manusia atau kesetaraan jender,” katanya.
Paling tangguh
Hambatan perempuan di dunia kerja itu merupakan fenomena global, termasuk di Amerika Serikat. Namun, krisis ekonomi yang melanda sejumlah negara memunculkan kesadaran baru bahwa perempuanlah yang paling tangguh menghadapi krisis. Selain itu, karakter perempuan yang cermat dan teliti mulai disadari lebih menguntungkan di dunia kerja.
Dosen Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Indonesia, Evi Nurvidya Arifin, menilai lebih rendahnya partisipasi perempuan di pasar kerja perlu dicermati bijak. Banyak perempuan memilih tidak masuk pasar kerja karena ingin mengurus rumah tangga, anak, atau lansia.
Secara moneter, pekerjaan itu tidak dihitung karena tidak menghasilkan pendapatan. Padahal, jika mempekerjakan orang lain untuk mengurus rumah tangga, anak, atau lansia akan dihitung sebagai pendapatan orang lain. Konsep penghitungan seperti itu membuat pendapatan nasional per kapita perempuan lebih rendah dari laki-laki.
“Ini persoalan konsep IPM. Padahal, perempuan yang memilih mengurus rumah tangga dan anak sedang melakukan investasi untuk menyiapkan generasi mendatang yang akan berkontribusi pada peningkatan pendapatan per kapita 15-20 tahun ke depan,” kata Evi.
Di sisi lain, mendorong lebih banyak perempuan masuk pasar kerja dinilai bukan solusi terbaik meningkatkan IPM atau mengatasi ketimpangan jender. Dari 51 negara dengan IPM 2015 sangat tinggi (nilai >0,800), sebanyak 18 negara atau 35 persen justru memiliki partisipasi kerja perempuan lebih rendah dari Indonesia, seperti Jepang, Korea Selatan, Perancis, dan Italia.
“Memaksakan perempuan masuk pasar kerja bisa jadi tidak benar. Yang penting tidak ada hambatan perempuan masuk kerja. Menghargai apa pun pilihan perempuan juga bagian dari pembangunan,” katanya. []
*Sumber: Harian Kompas (31/3) | Ilustrasi buruh perempuan di pabrik konveksi/beritamoneter.com