Yogyakarta, PSKK UGM – Ketiadaan biaya masih menjadi alasan utama seseorang untuk tidak melanjutkan sekolah ke jenjang yang lebih tinggi. Hasil Bantuan Siswa Miskin Endline Survey yang dilakukan oleh Pusat Studi Kependudukan dan Kebijakan Universitas Gadjah Mada di Sumatera Utara, Jawa Barat, Jawa Timur, Nusa Tenggara Barat, Nusa Tenggara Timur, dan Sulawesi Selatan pada 2014 lalu menunjukkan beberapa temuan menarik mengenai hal tersebut.
Sebanyak 47,3 persen responden menjawab tidak bersekolah lagi karena masalah biaya, kemudian 31 persen karena ingin membantu orang tua dengan bekerja serta 9,4 persen karena ingin melanjutkan pendidikan nonformal seperti pesantren atau mengambil kursus keterampilan lainnya. Mereka yang tidak dapat melanjutkan sekolah ini sebagian besar berijazah terakhir sekolah dasar (42,1 persen) maupun tidak memiliki ijazah (30,7 persen).
Meski demikian, rencana untuk menyekolahkan anak ke jenjang pendidikan yang lebih tinggi ternyata cukup besar, yakni 93,9 persen. Hanya 6,1 persen yang menyatakan tidak memiliki rencana untuk itu.
Peneliti PSKK UGM, Triyastuti Setianingrum, S.I.P., M.Sc. dalam Focused Group Discussion “Penanganan Siswa Rawan Putus Sekolah dari Keluarga Pemegang KMS (Kartu Menuju Sejahtera)”, Jumat (29/12) mengatakan, pendidikan merupakan investasi modal manusia (human capital investment) dan pemerintah harusnya memberi perhatian yang sungguh terhadap hal ini, terlebih dalam merespon perubahan komposisi demografi. Tingginya angka penduduk usia kerja hanya akan menjadi bonus (window of opportunity) apabila penyediaan kesempatan kerja sudah sesuai dengan jumlah penduduk usia kerja serta ditopang oleh kualitas angkatan kerja yang baik.
Banyak tempat menghadapi persoalan tingginya angka putus sekolah, tak terkecuali di Daerah Istimewa Yogyakarta. Meski nilai Indeks Pembangunan Manusia (IPM) Yogyakarta pada 2010-2014 tinggi—peringkat kedua setelah DKI Jakarta—bahkan berada di atas IPM Nasional, angka putus sekolah juga menjadi persoalan pelik bagi Yogyakarta.
Data Badan Pusat Statistik dalam Data Strategis DIY 2015 menunjukkan, rerata lama sekolah di DIY naik dari tahun ke tahun, namun masihlah jauh dari target Wajib Belajar 12 Tahun. Rerata lama sekolah pada 2013 adalah 8,72 tahun, naik dari tahun sebelumnya, yakni 8,63 tahun. Kemudian pada 2014 rerata lama sekolah naik menjadi 8,84 tahun. Menurut kabupaten/kota, rerata lama sekolah terendah pada 2014 masih Kabupaten Gunungkidul (6,45 tahun) disusul kemudian Kabupaten Kulon Progo (8,20 tahun).
Triyas menambahkan, seperti siklus, kasus anak putus sekolah saling mempengaruhi satu sama lain dengan persoalan kemiskinan. Putus sekolah mengakibatkan bertambahnya jumlah pengangguran, bahkan menambah kemungkinan kenakalan anak dan tindak kejahatan dalam kehidupan sosial masyarakat. Begitu seterusnya, karena tingkat pendapatan yang rendah, akses ke pendidikan formal pun sulit dicapai.
“Alih-alih mengurangi beban ekonomi orang tua dengan tidak meneruskan sekolah, hal ini justru menjerat anak dalam lingkaran kemiskinan. Ini jelas merupakan kerugian baik bagi anak, orang tua, masyarakat maupun bangsa. Untuk itu, diperlukan penanganan yang holistik atau menyeluruh di antara siswa didik, lingkungan, dan pemerintah,” kata Triyas.
Guna meningkatkan kesempatan memperoleh pendidikan dan penuntasan Wajib Belajar 12 Tahun, pemerintah perlu memiliki komitmen baik melalui regulasi dan anggaran yang disusunnya. Lingkungan juga perlu mendukung dengan menciptakan iklim belajar, misalnya dengan penerapan jam belajar masyarakat lagi. Sementara untuk anak didik, terutama yang minat sekolahnya rendah, perlu diberikan pendampingan untuk menumbuhkan kesadaran tentang pentingnya pendidikan bagi hidupnya. [] Media Center PSKK UGM
*Photo: Yonathan Naisaban (8), siswa SD Tuamolo, Kecamatan Bikomi Selatan, Timor Tengah Utara, Nusa Tenggara Timur, membantu orangtuanya menggali batu mangan di Kilometer 9 Kefamenanu pada jam sekolah. Kemiskinan mendorong banyak siswa putus sekolah atau tak mengenyam pendidikan/KOMPAS