Tidak Mudah Mengubah Kondisi Sosial Gepeng | Tribun Jogja

20 Maret 2017 | admin
Arsip Media, Main Slide, Media

TRIBUNJOGJA.COM, YOGYA – Mangkraknya puluhan unit rumah di huntap “Desaku Menanti” di Gunungkidul tak lepas dari belum siapnya pihak terkait melaksanakan program pengentasan untuk kaum Pengemis, Gelandangan dan Orang Terlantar (PGOT).

Menurut Pakar Kebijakan Publik UGM, Prof Muhadjir Darwin, mengubah kondisi sosial yang sifatnya perilaku sosial tidaklah mudah.

“Pembuat kebijakan harus memahami kondisi sosiologi masyarakat. Program semacam Desaku Menanti yang digagas oleh pemerintah ini sudah ada program serupa di lapangan dan cenderung gagal,” katanya kepada Tribun Jogja, belum lama ini.

Prof Muhadjir memaparkan, mengubah budaya dan gaya hidup suatu kalangan masyarakat bukan perkara mudah. Ia mencontohkan, dulu ada program untuk mendaratkan orang laut yang terbukti gagal. Kebiasaan mereka yang hidup dari mencari ikan, tinggal di perahu, diubah untuk tinggal di darat.

“Contoh lainnya adalah pengentasan para Pekerja Seks Komersial. Mereka yang terbiasa mendapatkan uang dengan cara mudah diajak berubah, diberi keterampilan, diberi modal. Namun nyatanya tidak semudah itu. Banyak yang kembali ke jalan karena ternyata hidup dari menjahit, misalnya, cukup sulit. Mereka harus kerja keras dengan hasil yang tidak sebanyak sebelumnya,” ungkapnya.

Untuk pengentasan kehidupan para gepeng, lanjutnya, pemerintah bisa belajar dari Non-Government Organization (NGO) yang pernah menggelar program Pemukiman Pinggir Kali atau girli beberapa tahun sebelumnya di kawasan kota Yogya.

Anak jalanan, pengamen dan kalangan sejenis diberikan rumah tidak jauh dari wilayah lingkungan dimana mereka biasa mencari makan. Rumah ini tidak jauh dari pemukiman penduduk biasa yakni di pinggiran sungai.

“Mereka diberi pelatihan keterampilan dan pelan-pelan diajak keluar dari dunianya selama ini. Mereka disosialkan agar bisa berinteraksi dengan masyarakat pada umumnya. Selain itu mereka juga diberikan pendidikan. Namun proses ini memerlukan waktu yang cukup lama, bertahun-tahun,” urainya.

Prof Muhadjir melanjutkan, upaya ini nampaknya cukup berhasil, walau hanya untuk sementara. Walau para gepeng ini sudah berubah, yang tidak bisa menerima adalah masyarakat.

Banyak kampung yang menolak mereka. Dengan kata lain kalangan ini mendapatkan resistensi dari masyarakat. Namun demikian, upaya mengentaskan gepeng ini bisa dikatakan berhasil walau tidak sempurna.

“Apabila program Desaku Menanti ini pada intinya mencabut seseorang dari akarnya lalu dibawa ke tempat baru, lalu, mereka disuruh melakukan apa? Program ini mirip dengan program transmigrasi,” tekan dia.

Prof Muhadjir melanjutkan, apabila pola hidup di tempat yang baru tidak jauh berbeda dengan yang sekarang, tentu tidak terlalu menjadi masalah.

Namun apabila berbeda, misalnya dari memulung menjadi petani, tentu masalah besar. Diperlukan masa transisi atau penyesuaian yang tidak sebentar.

“Apabila pemerintah ingin melanjutkan program ini, sejak awal desainnya harus benar. Kalau tidak, program ini tidak akan berjalan. Sejak awal harus didesain untuk melibatkan orang-orang yang paham masalah sosiologis masyarakat,” pungkasnya. (*)


*Sumber: Tribun Jogja | Photo razia gepeng dan preman di Bandung/Tribunnews.com