Yogyakarta, PSKK UGM – Praktek menyusui bukanlah persoalan sederhana. Menyusui bukan sekedar memberi asupan nutrisi bagi bayi langsung dari payudara sang ibu. Tetapi, ada banyak hal yang perlu untuk dinegosiasikan terutama bagi perempuan yang bekerja. Hal itu disampaikan oleh Desintha Dwi Asriani, MA, Sosiolog Universitas Gadjah Mada saat Seminar Bulanan Pusat Studi Kependudukan dan Kebijakan UGM “Perempuan dan Politik Tubuh: Studi Wacana dan Program ASI Eksklusif di Indonesia”, Kamis (20/3).
Dalam penelitiannya tentang ASI Eksklusif, Desintha menemukan bahwa sebagian perempuan terutama yang bekerja di pabrik tidak berhasil memberikan ASI Eksklusif kepada bayinya. Ada beberapa faktor penyebabnya, yakni pendeknya masa cuti melahirkan, tidak ada sistem cuti menyusui, terbatasnya waktu istirahat, tidak ada fasilitas ruang laktasi, tidak punya lemari penyimpan ASI, faktor kelelahan, maupun persoalan kultural—malu jika memerah ASI di tempat bekerja.
“Satu catatan penting dalam penelitian ini adalah karena mereka pun tidak berani untuk bernegosiasi dengan pimpinan pabrik, bahwa mereka ingin mendapatkan waktu istirahat ekstra misalnya,” ujar Desintha.
Tak hanya sampai di situ, kondisi saat perempuan tidak mampu memberikan ASI Eksklusif ternyata memberikan dampak psikologis yang lebih kompleks. Ada perasaan bersalah, takut, sedih, menyesal, dan gagal karena tidak bisa menjadi sosok ibu ideal seperti yang dituntut dalam masyarakat.
Pada akhirnya praktek menyusui dinilai sebagai persoalan konstruktif. Menyusui merupakan konsekuensi bagi perempuan yang melahirkan. Seorang perempuan yang melahirkan, wajib kiranya untuk menyusui bayinya selama enam bulan. Kata wajib inilah yang memunculkan dampak simultan terhadap wacana kultural masyarakat—Perempuan yang baik dan ideal tidak hanya mampu melahirkan tetapi juga mampu menyusui bayinya.
Hal serupa juga tergambar dalam kebijakan-kebijakan yang ditetapkan oleh pemerintah. Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 33 Tahun 2012 tentang Pemberian ASI Eksklusif misalnya, selalu merujuk pada subyek anak. Perempuan cenderung tidak dimunculkan sebagai subyek yang utama. Wacana bahwa menyusui juga merupakan persoalan hak seorang ibu, tidak selalu ditampilkan.
“Ada beberapa kebijakan yang saya cermati, dan hampir semuanya terbatas dalam menjelaskan hak yang dibutuhkan oleh perempuan. Menyusui disebut sebagai kewajiban namun struktur di dalam lingkungan ternyata belum mendukung bahkan menjamin persoalan-persoalan kompleks yang dihadapi perempuan saat menyusui. Hak agar perempuan bisa menyusui dengan baik, bahagia, tenang, nyaman, dan disertai kesadaran, masih minim dibahas,” ujar Desintha.
Sementara itu, data Riset Kesehatan Dasar (Riskesda) 2013 menunjukkan, cakupan pemberian ASI Eksklusif di Indonesia baru mencapai angka 42 persen. Jika dibandingkan dengan target organisasi kesehatan dunia atau WHO yang mencapai 50 persen, maka angka tersebut masihlah jauh dari target.
Meski menunjukkan tren kenaikan jika dibanding dengan hasil Riskesda 2007, angka cakupan ASI Eksklusif ini masih dinilai jauh dari harapan. Jumlah kelahiran di Indonesia mencapai angka 4,7 juta per tahun, sementara jumlah bayi yang memperoleh ASI Eksklusif—selama enam bulan bahkan hingga dua tahun—ternyata tidak mencapai dua juta jiwa.
Tetapi Desintha kembali menjelaskan, hasil penelitian yang dilakukan di Yogyakarta, Klaten, dan Jakarta ini memperlihatkan menyusui pada akhirnya memposisikan perempuan sebagai obyek demi sebuah program besar yang digagas oleh pemerintah tentang kesejahteraan dan kesehatan. Baginya, penelitian yang dilakukan ini bertujuan untuk menampilkan wacana baru dalam konteks praktek menyusui.
“Kritik saya di sini adalah seharusnya praktek menyusui menjadi praktek hak. Bukan kemudian menjadi praktek konstruktif yang diterjemahkan dalam kata kewajiban tadi. Ketika ini dipahami sebagai hak, dan saat perempuan tersebut tidak bisa menyusui misalnya, maka dia akan mencari cara bagaimana agar bisa mendapatkan haknya untuk menyusui,” ujar Desintha lagi. [] Media Center PSKK UGM.