Yogyakarta, PSKK UGM – “Indonesia dikenal sebagai negara dengan tingkat pernikahan dini yang cukup tinggi. Berada pada ranking 37 dunia, sementara di wilayah Asia Tenggara, Indonesia berada pada ranking 2 setelah Kamboja,” ujar Agus Joko Pitoyo, S.Si., MA., Peneliti Pusat Studi Kependudukan dan Kebijakan Universitas Gadjah Mada Yogyakarta, di Hotel Royal Ambarrukmo, Jumat lalu (8/11)
Di dalam Expert Group Meeting on Socio-Cultural Determinants and Impact of Adolescent Pregnancy in Indonesia yang diselenggarakan oleh UNFPA (United Nations Population Fund), Joko memaparkan hasil penelitian yang pernah dilakukan pada 2011. Ada enam wilayah kabupaten sebagai dampingan yang diteliti, yakni Kabupaten Grobogan, dan Kabupaten Rembang di Provinsi Jawa Tengah, Kabupaten Dompu di Provinsi NTB, serta Kabupaten Sikka, Kabupaten Lembata, dan Kabupaten Timor Tengah Selatan (TTS) di Provinsi NTT. Sementara untuk wilayah kontrol, penelitian dilakukan di Kabupaten Indramayu, Provinsi Jawa Barat, dan Kabupaten Tabanan, Provinsi Bali.
Secara umum, hasil dari penelitian menunjukkan, usia pernikahan rata-rata di delapan kabupaten yang dikaji adalah 16 tahun. Usia pernikahan rata-rata terendah, yakni di Kabupaten Tabanan dengan 15,79 tahun. Sementara usia pernikahan rata-rata tertinggi adalah di Kabupaten Sikka dengan 17,0 tahun.
Early marriages atau pernikahan dini lazim terjadi pada rumah tangga dengan kepala rumah tangga berpendidikan rendah, serta dominan bekerja di sektor pertanian. Hampir semua kabupaten yang disurvei ternyata tingkat pendidikan kepala rumah tangganya adalah jenjang SD ke bawah. Di Kabupaten Indramayu misalnya, ada lebih dari 90 persen kepala rumah tangganya berpendidikan SD ke bawah.
“Kita kemudian bisa membaca, ketika kepala rumah tangga berpendidikan SD ke bawah maka dia mempunyai empat kali kemungkinan anaknya mengalami pernikahan dini. Begitu pula dengan jenis pekerjaan kepala rumah tangga. Mereka yang bekerja di sektor pertanian mempunyai dua kali kemungkinan dibanding pekerjaan di sektor lain,” jelas Joko.
Ada beberapa variabel lain yang juga cukup berpengaruh. Misalnya, sisi historis status pernikahan kepala rumah tangga. Ada kecenderungan, pernikahan dini diturunkan dari generasi ke generasi. “Jika kepala rumah tangganya dulu menikah pada usia dini, kecenderungan anaknya pun seperti itu. Jadi probabilitasnya cukup tinggi,” jelas Joko lagi.
Di dalam kasus pernikahan dini yang dijumpai, anak dinilai sebagai sumber daya potensial untuk keluar dari lingkaran kemiskinan. Setelah seorang anak perempuan mengalami menstruasi, dia dianggap sudah pantas untuk menikah. Harapannya, selain untuk mengurangi beban tanggungan orang tua, dengan menikahkan anak, mereka bisa memperoleh mahar atau maskawin beserta sumbangan. Ini dinilai cukup untuk membantu keberlanjutan ekonomi rumah tangganya.
Namun, dalam kenyataannya tidaklah demikian. Ada banyak contoh kasus yang menunjukkan, setelah menikah, anak-anak justru masih bergantung secara ekonomi kepada orang tuanya. Di Kabupaten Lembata misalnya, ada lebih dari 80 persen mereka yang menikah usia dini masih bergantung pada orang tuanya. Kemiskinan pun akhirnya terus berlanjut, dan diturunkan dari generasi ke generasi. [] Media Center PSKK UGM.