Jakarta, CNN Indonesia — Alokasi anggaran pengentasan kemiskinan mengalami peningkatan signifikan dalam beberapa tahun terakhir. Namun, dampaknya terhadap pengentasan kemiskinan dinilai belum optimal dan jauh dari yang diharapkan.
"Selama ini kita tahu ada program-program anti kemiskinan atau pro poor cukup banyak, tapi tidak sampai kepada masyarakat miskin karena 85 persen anggarannya justru dinikmati yang non-miskin," ujar Iman Sugema, Ekonom International Center for Applied Finance and Economics (Intercafe) kepad CNN Indonesia, Senin (3/11).
Berdasarkan data Kementerian Keuangan, dana yang dikucurkan pemerintah untuk mengentasi kemiskinan pada 2011 sebesar Rp 96,1 triliun. Jumlahnya terus meningkat setiap tahunnya menjadi Rp 136,5 triliun pada 2013 dan dianggarkan Rp 134,5 triliun pada 2014. Artinya alokasi anggaran kemiskinan tumbuh 42 persen dalam tiga tahun terakhir.
Di sisi lain, Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat jumlah masyarakat Indonesia yang masuk kategori miskin pada 2011 sebanyak 29,89 juta jiwa atau 12,36 persen dari total penduduk. Jumlah tersebut berkurang sebanyak 1,39 juta jiwa atau 4,65 persen menjadi 28,5 juta jiwa atau 11,6 persen dari total penduduk pada September 2013. Pada Maret 2014, BPS merilis jumlah penduduk miskin sebanyak 28,09 juta jiwa atau 11,37 persen dari total penduduk.
"Kalau dari alokasi anggaran perlu diapresiasi peningkatannya, tapi tidak sebanding dengan penurunan angka kemiskinan," kata Iman.
Enny Sri Hartati, Direktur Institute for Development of Economics and Finance (Indef) menuturkan lonjakan kemiskinan di Indonesia yang paling terasa terjadi pada 2005-2006 paska naiknya harga BBM bersubsidi dan gagal panen di sektor pertanian. Hal itu perlu menjadi pelajaran pemerintah baru sebelum mengambil kebijakan serupa di tengah perlambatan ekonomi.
"Yang dikhawatirkan kebijakan itu berdampak pada meningkatnya pengangguran dan jumlah orang miskin. Karena saat ini jumlah penduduk yang rentan miskin itu sekitar 100 juta jiwa atau 37 persen dari populasi," ujarnya.
Menurutnya, besarnya jumlah penduduk hampir miskin saat ini mencerminkan kegagalan pemerintah sebelumnya dalam merancang sekaligus mengimplementasikan program-program pembangunan ekonomi yang berkualitas. "Kalau dulu sebelum krisis 1998 setiap 1 persen pertumbuhan ekonomi menyerap 450 ribu tenaga kerja, saat ini hanya mampu menyerap 180 ribu tenaga kerja," katanya.
Lonjakan Harga
Suryamin, Kepala Badan Pusat Statistik (BPS), mengatakan inflasi November 2014 berpotensi menembus angka 1,7 persen jika pemerintah memangkas subsidi BBM pada awal bulan ini. Itu merupakan dampak langsung yang bisa dirasakan jika harga BBM bersubsidi dinaikkan Rp 3.000 per liter.
"Tergantung November tanggal berapa (harga BBM naik), kalau pertengahan, dampak langsungnya di bulan November cuma setengah bulan. Berarti belum tentu 1,7 persen," jelasnya.
Selain itu, kata Suryamin, masih ada dampak lanjutannya berupa kenaikan ongkos transportasi dan biaya produksi untuk kurun waktu enam sampai tujuh bulan ke depan. "Kenaikannya itu antara 1 hingga 2 persen dari dampak tidak langsung, tapi itu tidak sekaligus," ujarnya.
Fenomena itu, kata Suryamin, akan diikuti dengan meningkatnya garis kemiskinan Indonesia. Sebab, komponen garis kemiskinan dibentuk berdasarkan komoditas kebutuhan pokok yang rentan terpengaruh oleh perubahan harga BBM. "Tentu kalau harganya naik maka garis kemiskinan akan naik. Tapi kan pemerintah juga memberikan kompensasi," lanjutnya.
Menurutnya, apabila pemerintah memberikan dana kompensasi sesuai dengan kenaikan angka inflasi, maka efek domino dari kenaikkan harga BBM bersubsidi tidak akan mengurangi tingkat kesejahteraan masyarakat. [] Agust Supriadi & Elisa Valenta Sari
*Sumber: CNN Indonesia | Photo: CNN Indonesia