Yogyakarta, PSKK UGM – Pengangguran atau ketiadaan pekerjaan serta standar upah yang rendah merupakan akar dari kemiskinan. Meski dalam kurun waktu satu tahun terakhir mengalami tren penurunan, angka penganguran terbuka di Daerah Istimewa Yogyakarta masih dinilai cukup tinggi. Hal ini menunjukkan, potensi wilayah yang tersedia di Yogyakarta ternyata belum semua mampu memberi peluang kerja bagi penduduk usia kerjanya.
Jikapun tersedia peluang kerja, pekerjaan tersebut belum dipandang ideal karena upah yang rendah serta status pekerja yang tidak tetap. Hal itu disampaikan oleh Pengamat Kebijakan Penanggulangan Kemiskinan, dan Peneliti Pusat Studi Kependudukan dan Kebijakan Universitas Gadjah Mada, Pande Made Kutanegara, M.Si. dalam Rapat Kerja Daerah Pemberdayaan Masyarakat, Biro Administrasi Pembangunan dan Kemasyarakatan Pemerintah Daerah DIY pada Kamis (20/11).
Pengangguran terbuka adalah penduduk usia produktif yang sama sekali tidak mempunyai pekerjaan. Ketiadaan pekerjaan itu menurut BPS bisa karena sedang mencari pekerjaan, sedang mempersiapkan usaha, merasa tidak mungkin mendapatkan pekerjaan, serta telah diterima bekerja, namun belum mulai bekerja.
Jumlah pengangguran terbuka di DIY dari tahun ke tahun terus mengalami penurunan. Namun, penurunan tersebut dinilai masih belum cukup signifikan. Menurut data BPS 2014, jumlah pengangguran terbuka di DIY pada 2013 sebanyak 63.889 penduduk. Jumlah ini turun sebanyak 13.261 penduduk jika dibanding dengan jumlah pengangguran terbuka pada tahun sebelumnya.
Dari jumlah tersebut, sebanyak 49.129 penduduk merupakan pengangguran terbuka yang tinggal di perkotaan. Sementara di perdesaan, jumlah pengangguran terbukanya lebih rendah daripada di perkotaan, yakni 14.760 penduduk.
Sementara itu, menurut Data Sakernas Februari 2012-Februari 2014, angka Tingkat Pengangguran Terbuka (TPT) DIY juga menunjukkan tren penurunan. TPT adalah perbandingan antara jumlah penganggur dengan jumlah angkatan kerja. TPT bisa digunakan untuk memantau serta mengevaluasi perkembangan angka pengangguran. TPT DIY terus alami penurunan, berkisar di angka 2,1 sampai 4,0 persen. Angka ini selalu berada di bawah TPT nasional, yakni 5,7 sampai 6,4 persen.
Khusus di wilayah perkotaan DIY, angka TPT turun 1,77 poin, yakni 4,45 persen pada Februari 2013 menjadi 2,68 persen pada Februari 2014. Turunnya TPT Perkotaan menurut BPS DIY melalui berita resmi statistik, karena beragamnya lapangan pekerjaan, dan meningkatnya pusat perekonomian. Angkatan kerja baru pun cenderung mencari pekerjaan dengan pindah atau mondok di perkotaan.
Untuk TPT perdesaan DIY, juga mengalami penurunan sebanyak 1,23 poin, yakni 2,47 persen pada Februari 2013 menjadi 1,24 persen pada Februari 2014. Menurut BPS DIY, hal ini kemungkinan karena penduduk perdesaan biasanya tidak terlalu selektif memilih lapangan pekerjaan sehingga akan melakukan kegiatan apa saja walau hanya sebagai pekerja keluarga, pekerja bebas pertanian, dan sebagian masih bertahan di perdesaan dengan berusaha mencari pekerjaan sambil ngelaju (pulang-pergi atau ulang-alik) ke perkotaan.
Jika dilihat dari status pendidikan terakhir yang ditempuh, sebagian besar pengangguran terbuka di DIY merupakan lulusan sekolah menengah atas (SMA). Dari sisi usia, rata-rata berusia antara 20 sampai 24 tahun. Masih menurut data BPS 2014, jumlah pengangguran terbuka terbanyak ada di Kabupaten Gunungkidul, yakni sebanyak 6.634 penduduk dengan mayoritas tamat sekolah menengah atas (SMA). Berikutnya, Kabupaten Kulonprogo dengan jumlah pengangguran terbuka sebanyak 5.089 penduduk serta Kabupaten Bantul dengan 1.757 pengangguran terbuka.
Tentang pengangguran terbuka di wilayah perdesaan, Made mengatakan, penduduk perempuan di perdesaan sebagian besar bekerja namun tidak mendapatkan upah. Lalu, sebagian penduduk laki-laki bekerja secara serabutan atau tidak tetap, dengan jam kerja yang tidak jelas serta upah yang sangat rendah.
“Sebagian besar penduduk perdesaan memiliki pendapatan dari sektor pertanian yang tingkat pendapatan atau nilai tambahnya rendah. Pendapatan yang rendah mendorong rumah tangga, khususnya para perempuan untuk mengatur strategi mengurangi pengeluaran untuk kebutuhan hidup. Maka, jika ada program pemberdayaan di perdesaan, akan lebih baik jika fokus terhadap kelompok perempuan karena mereka adalah penggerak perubahan ekonomi rumah tangga,” Kata Made. [] Media Center PSKK UGM | Photo pencari kerja: REU Indonesia Economy