Yogyakarta, PSKK UGM – Guna menjalankan program penanggulangan kemiskinan yang lebih tepat sasaran dan tepat program, maka data kemiskinan yang akurat serta tepat sasaran sangatlah diperlukan. Namun, hingga kini ada beragam basis data kemiskinan yang digunakan oleh pemerintah.
Untuk perencanaan, dan kebijakan penanggulangan kemiskinan di tingkat provinsi, data yang digunakan adalah PPLS (Pendataan Program Perlindungan Sosial) 2011 yang berbasis rumah tangga. Data ini dikumpulkan oleh Badan Pusat Statistik (BPS) selama enam bulan, sejak Juli sampai Desember 2011 hingga menghasilkan Basis Data Terpadu (BDT). BDT lalu digunakan sebagai basis data untuk menjalankan program-program penanggulangan kemiskinan dari pemerintah pusat, seperti Raskin, Bantuan Siswa Miskin (BSM), Program Keluarga Harapan (PKH), Program Keluarga Produktif (KKS, KIP, KIS, Kartu Simpanan Keluarga Sejahtera).
Sementara untuk program-program penanggulangan kemiskinan dari pemerintah kota/kabupaten, data yang digunakan adalah data kemiskinan lokal. Data ini menggunakan 14 indikator kemiskinan BPS yang dimodifikasi dalam menentukan rumah tangga miskin. Untuk mengukur kemiskinan, BPS menggunakan pendekatan basic need, kemampuan untuk memenuhi kebutuhan dasar.
Melalui pendekatan basic need, kemiskinan dipandang sebagai ketidakmampuan dari sisi ekonomi untuk memenuhi kebutuhan dasar makanan, dan bukan makanan yang diukur dari sisi pengeluaran. Suatu rumah tangga dikategorikan miskin apabila, lantai rumah terbuat dari tanah atau bambu atau kayu murahan; penerangan rumah tidak menggunakan listrik; hanya mengonsumsi daging atau susu atau ayam satu kali dalam seminggu, dan kategori lainnya.
“Jika dilihat dari cara pengukuran, PPLS 2011 menggunakan garis kemiskinan atau poverty line, sedangkan data kemiskinan lokal menggunakan klasifikasi miskin, yakni mulai sangat miskin, miskin, hampir miskin, dan tidak miskin,” ujar Pande Made Kutanegara, M.Si., Peneliti Pusat Studi Kependudukan dan Kebijakan Universitas Gadjah Mada saat Rapat Kerja Pemetaan Data Awal Penduduk Miskin di DIY yang diselenggarakan oleh Ditjen Kependudukan dan Pencatatan Sipil, Departemen Dalam Negeri RI, Selasa (18/11).
Perbedaan konsep, indikator, serta parameter yang digunakan pada akhirnya memengaruhi data kemiskinan yang dihasilkan. Made mengatakan, jumlah serta cakupan data kemiskinan PPLS 2011 dengan data kemiskinan lokal tidak sama. Umumnya, angka kemiskinan menurut data kemiskinan lokal lebih besar jumlah serta cakupannya dibanding angka kemiskinan PPLS 2011.
“Selain itu, tidak selalu rumah tangga yang dikategorikan miskin di PPLS 2011 juga masuk dalam kategori rumah tangga miskin menurut data kemiskinan lokal. Begitu juga sebaliknya,” kata Made.
Ada tantangan dan kendala yang tidak kalah besar untuk mewujudkan basis data kemiskinan yang tunggal. Jika dilihat dari aspek kelembagaan, masing-masing lembaga yang terlibat di dalam perencanaan, penerapan, serta pengawasan program penanggulangan kemiskinan harus siap untuk menghilangkan ego sektoral. Dari aspek birokrat, masing-masing birokrat pun harus siap untuk bersinergi dengan orang lain.
Faktor sosial budaya tentang pola pemukiman, dan tempat tinggal masyarakat ternyata juga cukup memengaruhi perbedaan konsep dalam menentukan indikator kemiskinan. Pada masyarakat Indonesia, dalam satu keluarga bisa terdiri dari beberapa rumah tangga. Begitu juga sebaliknya. Data kemiskinan PPLS 2011 dan beberapa data kemiskinan lokal kabupaten/kota menggunakan konsep rumah tangga. Sementara, data kemiskinan dengan kategori sejahtera yang digunakan oleh BKKBN menggunakan konsep keluarga.
Hal yang bisa dilakukan menurut Made adalah pengumpulan data dengan metode sensus di seluruh wilayah Indonesia dengan cakupan yang luas serta terperinci. Ini tentu bukan pekerjaan yang mudah karena membutuhkan biaya sangat besar. Meski demikian, data kemiskinan yang baik sangat diperlukan untuk mengevaluasi kebijakan pemerintah, melihat perbandingan kemiskinan antardaerah dari waktu ke waktu, serta penentuan sasaran rumah tangga miskin.
“Data kemiskinan tunggal yang akurat dan tepat sasaran sesungguhnya bisa mendorong efektifitas, dan sinergisitas program-program penanggulangan kemiskinan baik yang dilakukan oleh pemerintah pusat, maupun pemerintah kabupaten/kota,” kata Made. [] Media Center PSKK UGM | Foto: Ilustrasi pembagian raskin (Joglosemar)