Menunda Kelahiran Menuju Keluarga Ideal | Oleh: Agus Joko Pitoyo

17 Februari 2015 | admin
Esai & Opini, Media

Program Keluarga Berencana atau KB yang telah dilaksanakan oleh Pemerintah Indonesia sejak Pelita I, yang kemudian berubah menjadi Gerakan KB Nasional pada Pelita V adalah upaya serius pemerintah untuk meningkatkan kesejahteraan bangsa. Gerakan KB adalah gerakan masyarakat untuk menghimpun dan mengajak segenap potensi masyarakat untuk berpartisipasi aktif dalam melembagakan dan membudayakan konsep Norma Keluarga Kecil Bahagia dan Sejahtera (NKKBS). Muaranya tentu saja pada pencapaian kesejahteraan dengan didukung kualitas sumber daya manusia yang unggul. Sungguh luar biasa, dalam waktu tidak lebih dari dua dekade gerakan tersebut mampu membalikkan budaya “banyak anak, banyak rezeki” menjadi norma “dua anak cukup, laki-laki atau perempuan sama saja”. Motto “setiap anak membawa rezeki tersendiri” telah berubah menjadi gelora “keluarga kecil, tangguh, dan bangsa tangguh”.

Di tengah gempita norma keluarga caturwarga dengan dua anak saja cukup, Indonesia dikejutkan dengan angka TFR yang meningkat menurut hasil SDKI tahun 2007 sekitar 2,6. Padahal, sepuluh tahun sebelumnya (1997) angka TFR sudah mencapai 2,4. Ini menunjukkan kecenderungan jumlah anak dalam keluarga menjadi lebih banyak. Pada 2007 terdapat kecenderungan tiap wanita usia subur sampai akhir masa suburnya memiliki sekitar 2 sampai 3 anak (angka 2,6 mendekati angka 3). Ada indikasi bahwa dua anak lebih baik belum sepenuhnya melembaga dan membudidaya di seluruh lapisan masyarakat Indonesia. Akses terhadap kontrasepsi modern di sebagian masyarakat juga dapat menjadi kendala perwujudan keluarga kecil. Terutama, pada masyarakat yang masih terpencil, juga di perdesaan, banyak di antara mereka yang memiliki anak lebih dari dua.

Potensi jumlah penduduk Indonesia pada 2015 diperkirakan mencapai 300 juta jiwa jika gerakan Keluarga Berencana tidak berjalan sebagaimana yang diharapkan. Penduduk Indonesia di tahun 2007 berjumlah 224 juta, namun jika tingkat pemakai alat kontrasepsi (contraceptive prevelance rate/CPR) tetap 60 persen, maka penduduk Indonesia menjadi 255,5 juta jiwa. Apabila CPR meningkat satu persen tiap tahun, maka jumlah penduduk menurun menjadi 237,8 juta jiwa. Tetapi, jika CPR turun 0,5 persen saja, penduduk Indonesia dapat bertambah menjadi 264,4 juta jiwa dan ledakan penduduk di Indonesia tidak dapat terelakkan kembali. Beberapa upaya pengendalian jumlah penduduk di Indonesia dilakukan melalui pendewasaan usia kawin, penundaan mempunyai anak pertama, penjarangan kelahiran, dan pengakhiran kehamilan. Tingkat fertilitas di Indonesia (TFR) tahun 2007 adalah 2,6 anak per wanita dan telah menurun sebanyak 50 persen dibandingkan dengan kondisi 1970, yaitu 5,6 anak per wanita. Namun, TFR pada tiap provinsi tidak merata, berkisar dari 1,9 di Yogyakarta sampai 4,1 di Nusa Tenggara Timur. Begitu juga dengan TFR di perdesaan dan perkotaan. TFR di perkotaan hanya 2,3, tetapi di perdesaan masih mencapai 2,9 (lihat di www.bkkbn.go.id).

Variasi TFR di Indonesia, baik menurut provinsi maupun perkotaan dan perdesaan, menjadi bukti bahwa norma keluarga kecil belum sepenuhnya telah dicapai oleh seluruh lapisan masyarakat Indoneisa. Kecenderungan naiknya TFR dari 2,4 pada 1997 menjadi 2,6 pada 2007 juga merupakan preseden meningkatnya jumlah anak dalam keluarga. Apabila ini adalah indikasi penurunan angka prevalensi kontrasepsi, maka pemerintah harus memberikan banyak perhatian pada berbagai upaya, baik kemudahan akses maupun keterjangkauan harga terhadap alat/metode kontrasepsi. Apabila peningkatan tersebut terjadi karena preferensi penduduk yang tidak lagi puas dengan dua anak cukup, maka tugas pemerintah ke depan semakin berat karena menyangkut kepuasan emosi penduduk. Bukan tanpa alasan, hal yang perlu menjadi perhatian serius saat ini adalah banyak khalayak yang mulai memelintir motto dari “dua anak lebih baik”, menjadi “dua anak lebih… baik”, atau “lebih dari dua anak paling baik”. Lebih kasar lagi, ada pula keyakinan bahwa jumlah anak adalah urusan pribadi rumah tangga, bukan urusan negara. Fakta ini perlu pendekatan berikut penanganan yang serius dan hati-hati.

Pertanyaan besar lain yang sangat sulit untuk dijawab adalah jaminan NKKBS dalam mewujudkan bukan saja kesejahteraan sesaat, melainkan kesejahteraan berkelanjutan dalam kehidupan bernegara (sustainable welfare state). Keraguan tersebut bukan tanpa alasan, telah sejak lama pakar ekonomi, Julian L. Simon (1989) yang berawal dari bukunya the Economic of Population Growth menjelaskan bahwa suatu negara membutuhkan jumlah penduduk yang besar untuk membangun. Begitu juga dengan Weeks (1986) menjelaskan bahwa kemajuan Eropa dan Amerika sangat ditopang oleh jumlah penduduk besar yang berkualitas. Faktar terbaru dari hasil riset di Jepang menyebutkan adanya potensi populasi JJepang akan menjadi sepertiga dari angka sekarang pada 2050 dan 2105 jumlah penduduknya tinggal tersisa sekitar 44 juta orang dari 127 juta di tahun 2008. Hal ini terjadi karena TFR di Jepang pada 2008 berada pada angka 1,37 sehingga dalam waktu 30 tahun ke depan, Jepang akan menjadi decaying country, yaitu negara yang kehilangan kekuatan sumber daya manusianya (Herdiawan, 2009). Tidaklah mengherankan jika di banyak negara maju, seperti di Kanada, Jepang, dan Singapura, negara justru memberikan subsidi bagi warganya yang ingin mempunyai anak.

Diskursus norma keluarga kecil dengan dua anak saja terus akan berkepanjangan seirama dengan kemajuan ekonomi negara. Pihak yang tidak setuju dengan konsep dua anak cukup menganggap bahwa keluarga berencana tidak lagi berfungsi mengontrol jumlah anak (birth controlling), tetapi lebih ke arah membatasi jumlah anak (birth stopping). Padahal jumlah anak banyak tidak selamanya bermasalah selama anak-anak itu berkualitas. Dengan lain perkataan, lebih baik mempunyai jumlah anak lebih dari dua dengan jarak kelahiran yang diatur sesuai dengan kondisi ekonomi keluarga daripada dengan dua anak, tetapi hanya asal ikut-ikutan, tanpa perencanaan. Lebih jauh lagi disebutkan bahwa pengaturan jarak kelahiran (birth spacing) menjadi lebih penting untuk mewujudkan sumber daya yang berkualitas daripada hanya norma dua anak cukup. Untuk itu, di tengah pertentangan antara pihak yang setuju dan tidak setuju dengan norma keluarga kecil, tulisan ini bermaksud mengkaji profil penundaan kelahiran anak di Indonesia. Tulisan dititikberatkan pada dinamika fertilitas, penggunaan metode/alat kontrasepsi untuk mengatur dan/atau membatasi kelahiran anak serta persepsi tentang jumlah anak yang diinginkan. Pembahasan dibagi dalam dua hal. Pertama, tinjauan teoritis terkait dengan fertilitas dan penundaan kelahiran anak dan kedua, analisis inferensial faktor-faktor yang berhubungan dengan penundaan kelahiran anak. []

*Sebuah tulisan pendahuluan dari artikel “Menunda Kelahiran Menuju Keluarga Ideal” yang diterbitkan dalam buku “Keluarga Berencana dan Kesehatan Reproduksi” oleh PSKK UGM & Pustaka Pelajar, Oktober 2010. | Ilustrasi ibu dan anak/ibudanbalita.com