Memoar Mata Jiwa Digelar di UGM | Solo Pos

06 Maret 2017 | admin
Arsip Media, Main Slide, Media

Solopos.com, JOGJA — Citaruci Mandalika sebagai penerbit Mata Jiwa, bekerjasama dengan Pusat Studi Kependudukan dan Kebijakan Universitas Gadjah Mada (PSKK UGM), mempersembahkan Gelar Memoar Mata Jiwa: Into the Eye of Life, pada Jumat (3/3/2017) di Gedung Masri Singarimbun, UGM.

Mata Jiwa merupakan karya Marinta Serina Singarimbun dan Amalia Firman yang menceritakan mengenai masyarakat Tenganan Pagringsingan, Bali. Beratus-ratus tahun lamanya merawat tradisi secara turun-temurun, Wastra Gringsing, tenunan dengan teknik ikat ganda yang kini langka di dunia.

Di tengah gempuran globalisasi yang makin cepat dan langsung, lewat internet dan kemudahan berbagai teknologi lain, upaya menjadi diri sendiri tidaklah mudah. Pengaruh dari belahan dunia lain yang begitu jauh dapat mengubah keseimbangan yang telah berjalan berabad-abad sebagai hasil renungan, laku, dan warisan leluhur. Tantangan dihadapi dari segala penjuru, termasuk dari pariwisata yang dewasa ini telah menjadi keseharian Tenganan Pagringsingan. Bagaimana cara masyarakatnya menghadapi tantangan itu?

Marinta Serina Singarimbun rutin mengunjungi Tenganan Pagringsingan sejak tahun 2000 dan menjalin tali dialog yang erat dengan dua orang tokoh adat desa tersebut (alm. Bapak Mangku I Wayan Widia serta Bapak I Nyoman Sadra). Amalia Firman, sembari membidikkan kamera, mulai bersentuhan dengan budaya masyarakat itu sejak 2011. Sama-sama berawal dari ketertarikan akan Wastra Gringsing, mereka berdua mengamati, mempelajari, dan menghayati hidup masyarakat Tenganan Pagringsingan. Kisah keduanya, yang terabadikan dalam buku Mata Jiwa: Into the Eye of Life, adalah kisah perjalanan yang relevan bagi mereka yang tak henti menggali kayanya makna kehidupan.

“Mata Jiwa adalah buah perjalanan batiniah saya dalam upaya menghayati makna ‘keseimbangan’ dan ‘pengendalian diri’. Kedua kata itulah esensi kearifan lokal masyarakat Tenganan Pagringsingan. Proses penghayatannya memakan waktu 10 tahun. Karya memoar ini dapat hadir ke hadapan publik tak lain berkat rasa percaya, kesabaran, serta dukungan penuh alm. Bapak Mangku I Wayan Widia, Bapak I Nyoman Sadra, Bapak I Wayan Yasa, dan masyarakat Tenganan Pagringsingan,” tutur Marinta Singarimbun seperti dikutip dari rilis yang Solopos.com, terima, Jumat (3/3/2017)

Agus Heruanto Hadna, Direktur PSKK, mengatakan budaya adalah salah satu akar penting dalam memahami kependudukan. Tidak ada masalah kependudukan yang bisa dilepaskan dari akar budaya masyarakat setempat.

“PSKK memiliki kepedulian yang tinggi terhadap budaya, salah satunya terbukti dengan hadirnya kelompok gamelan di lembaga ini yang telah pentas di beberapa tempat. Selain itu, gedung PSKK ini dinamai dengan nama pendiri PSKK, yaitu alm. Prof. Dr. Masri Singarimbun, yang tak lain dan tak bukan adalah ayahanda Ibu Marinta Serina Singarimbun, yang menjadi penulis buku ini. Atas dasar itulah PSKK sangat menyambut baik jika Gelar Memoar Mata Jiwa diselenggarakan di gedung yang memiliki nilai sejarah terkait pengembangan isu-isu kependudukan berbasis budaya di Indonesia dan sejarah keluarga Masri Singarimbun,” terang dia.

Dalam gelar karya ini, foto-foto ritual dan masyarakat Tenganan Pegringsingan karya Amalia Firman akan dipamerkan. Acara ini juga terselenggara berkat dukungan Ceva Bali dan melibatkan para pengisi acara antara lain arsitek Eko Prawoto, antropolog Lono Simatupang, dan aktor teater Landung Simatupang. []

*Sumber: Solo Pos | Photo pskk.doc