tirto.id – Pakar Migrasi Internasional dari Pusat Studi Kependudukan dan Kebijakan Universitas Gadjah Mada (PSKK UGM), Dr. Sukamdi, M.Sc. menyampaikan bahwa perbaikan manajemen penyaluran Tenaga Kerja Indonesia (TKI) ke luar negeri harus segera dilakukan jika tak ingin jatuh korban lagi.
Ia menanggapi insiden kecelakaan kapal di jalur pelintasan pekerja migran ilegal terjadi ketiga kalinya di tahun 2016. Kali ini terjadi di perairan Batam, Kepulauan Riau, dimana sebanyak 18 TKI tewas serta 44 orang lainnya hilang. Ia sangat menyayangkan insiden ini terulang kembali, terlebih terjadi berturut-turut selama setahun belakangan. Insiden tersebut jelas menunjukkan betapa buruknya manajemen penyaluran TKI ke luar negeri.
Data statistik yang bisa menunjukkan tentang jalur migrasi ilegal tidak benar-benar ada sehingga kebijakan yang diterapkan untuk menekan arus migrasi pekerja ke luar negeri cenderung spekulatif. Kebijakan moratorium sekalipun tidak akan pernah bisa menghentikan arus migrasi pekerja ke luar negeri. Para pekerja migran akan selalu mampu menemukan caranya sendiri untuk berangkat ke negara tujuan.
“Bagi saya persoalannya bukanlah legal atau ilegal. TKI adalah juga warga negara kita dan negara seharusnya bisa menjamin keselamatan serta hak mereka atas pemenuhan kebutuhan dasarnya. Mereka bermigrasi untuk memenuhi kebutuhan hidup, negara bisa tidak memfasilitasinya?” kata Sukamdi sebagaimana disampaikan dalam press release yang diterima Tirto.id.
Data Penempatan Tenaga Kerja Indonesia 2011-2015 yang dikeluarkan oleh Badan Nasional Penempatan dan Perlindungan Tenaga Kerja Indonesia (BNP2TKI) menunjukkan ada lebih dari 2 juta penduduk (2.299.187) yang pergi meninggalkan Indonesia untuk bekerja di luar negeri. Jumlah ini bisa jadi lebih banyak mengingat banyak TKI yang tidak memiliki dokumen resmi dan pergi melalui jalur-jalur keberangkatan ilegal.
Selain itu, data BNP2TKI juga menunjukkan remitansi atau aliran uang dari TKI pada 2015 mencapai 8,65 miliar dollar AS atau lebih kurang setara dengan Rp119,7 triliun. Fakta ini menempatkan Indonesia sebagai negara penerima remitansi terbesar keempat di dunia.
Sukamdi menambahkan, satu hal yang seringkali luput adalah persoalan biaya pelatihan yang harus dikeluarkan oleh para TKI kepada perusahaan penyalur tenaga kerja. Hasil penelitian “Migrating out of Poverty” yang dilakukan oleh PSKK UGM bersama dengan Asia Research Institute, National University of Singapore 2013 lalu menunjukkan, sebagian besar remitansi digunakan untuk memenuhi kebutuhan dasar atau basic needs (35 persen) serta biaya pendidikan anak (26 persen). Alokasi untuk menabung (saving) bahkan investasi minim sekali karena gaji mereka harus dipotong lagi untuk membayar biaya pelatihan.
“Oleh karena itu, pelatihan bagi pekerja migran sebaiknya diambil alih oleh negara, melalui Kementerian Pendidikan. Mengapa? Karena biaya paling besar dalam pengiriman migran adalah pelatihan guna mempersiapkan tenaga kerja ke luar negeri. Seharusnya biaya ini tidak ditanggung oleh migran,” kata Sukamdi.
Sebagai gambaran, untuk melunasi hutan biaya pelatihan, seorang buruh migran setidaknya harus bekerja selama enam sampai delapan bulan agar bisa lunas. Apabila dia bekerja dengan kontrak dua tahun, maka 1/3 waktunya bekerja hanyalah untuk mengembalikan hutang biaya pelatihan. Tidak banyak keuntungan yang diperolehnya, terlebih untuk bisa keluar dari kemiskinan. [] Akhmad Muawal Hasan
*Sumber: Tirto.id