Yogyakarta, Berita Satu – Salah satu Ketua PP Muhmmadiyah Busyro Muqoddas berharap masyarakat sadar dan tidak mau dipermainkan dengan isu SARA (suku, agama, ras dan antargolongan). Sebab, menurutnya, proses demokrasi yang benar adalah berdasarkan kapasitas dan integritasnya.
“Saya kira perlu ada gerakan untuk demokrasi yang sehat menjelang Pilkada Serentak 2017 mendatang. Gerakan demokrasi sehat itu juga harus mengedepankan gerakan menolak SARA sebagai masyarakat yang tidak terbeli oleh kekuatan mana pun,” ungkapnya baru-baru ini.
Mantan komisioner KPK ini pun menegaskan, proses pilkada harus dikembalikan kepada hakikat demokrasi sesungguhnya, yakni proses memilih pemimpin yang berkualitas, tidak berdasar kekuatan atau modalnya.
Isu SARA itu, lanjut Busyro, sengaja diembuskan oleh beberapa pihak, ketika modal yang dimiliki sudah habis. Namun, sosok yang didukung tidak mampu menunjukkan kapasitas. “Memilih atau tidak pasangan calon yang berbeda agama, merupakan bentuk dari demokrasi,” ujarnya.
Menurut Busyro, isu SARA yang sengaja diembuskan dengan tujuan mengalihkan perhatian masyarakat kepada salah satu kandidat, adalah cara kuno, yang saat ini sudah tidak laku lagi di wilayah-wilayah tertentu.
Jika masih ada isu SARA yang dihembuskan, maka hal itu masuk dalam kategori hegemoni yang tentu saja diarahkan kepada dominasi kekuatan tertentu.
“Rakyat harus sadar, proses demokrasi harus dikembalikan kepada hakikatnya yakni untuk memilih pemimpin, bukan karena kekuatan modal atau permainan tim suksesnya,” tegasnya.
Sebelumnya, peneliti Pusat Studi Kependudukan dan Kebijakan (PSKK) Universitas Gadjah Mada (UGM) Dr Muhadjir Darwin juga menyatakan bahwa pergerakan isu SARA sesungguhnya bisa dibaca arahnya, dan dijadikan alat untuk menyulutkan perpecahan.
Karena, isu SARA ini adalah cara yang paling mudah untuk menjaring simpati, maka sebagai modal terbesar maka agama dipakai tujuan politik. “Karena itu, di masa politik sedang meningkat, setiap orang termasuk tokoh politik harus berhati-hati dalam menjaga sikap toleransi. Sebab dalam proses demokrasi, masyarakat rata-rata bersumbu pendek,” katanya.
Hembusan isu SARA, menurut Muhadjir Darwin, sengaja digunakan sebagai instrumen politik untuk menjatuhkan lawan politik. Karena itu, pernyataan yang mengandung SARA bisa dimasukkan ke dalam peraturan tentang ujaran kebencian.
Sedangkan, Gunernur DIY Sri Sultan Hamengku Buwono X juga sempat melontarkan kekhawatirannya akan potensi konflik antarpendukung pasangan calon dalam Pilkada serentak 2017.
Menurutnya, segala potensi konflik itu pasti sengaja diciptakan, untuk membangun opini. Bisa juga, menurut Sultan, isu-isu diciptakan untuk mencaci lawan, namun juga bisa sebaliknya, sengaja diciptakan untuk meningkatkan empati pemilih.
Karena itu, para Paslon sebaiknya menghindari pernyataan-pernyataan yang bisa dijadikan sebagai pemicu perpecahan.
Termasuk di Yogyakarta, meski masyarakat di perkotaan sudah sadar politik, namun isu SARA tetap menjadi ancaman.
Menurut Sultan, isu SARA itu bukan saja bicara pada agama, etnis, dan golongan, tetapi juga bisa mendera hingga ke wilayah pribadi. Karena itu, semua institusi harus bersinergi dalam melakukan pencegahan konflik. [] Fuska Sani Evani/PCN
*Sumber: Berita Satu | Foto: Anti-Corruption Summit 2016 di UGM/ugm.ac.id