YOGYAKARTA, KOMPAS.com – Peneliti Senior Pusat Studi Kependudukan dan Kebijakan (PSKK) Universitas Gadjah Mada (UGM) Muhadjir Darwin meminta Presiden Joko Widodo (Jokowi) untuk turun tangan mengantisipasi praktik kriminalisasi politisi dengan menggunakan kedok agama.
“Presiden atau negara, kami minta turun tangan mengatasi hal ini, secara keseluruhan harus mencegah hal ini terjadi. Mencegah kriminalisasi terhadap politisi berkedok di balik wacana agama,” kata dia dalam “Policy Corner”, di Kampus Program Doktoral Studi Kebijakan UGM, di Yogyakarta, Jumat.
Menurut dia, saat ini konsep pelecehan terhadap seorang politisi dengan menggunakan agama, menjadi masif terjadi.
Sehingga, katanya, ucapan yang mungkin masih pada tataran yang dapat diterima atau “acceptable” bisa berubah menjadi tidak acceptable, karena adanya pemutarbalikan fakta didalamnya.
“Sebagai contoh, kasus Ahok yang dianggap menghina dan melecehkan Al Quran, menjadi sangat panas. Padahal, jika diteliti cermat sebenarnya ada tindakan penghilangan atau pemotongan kalimat dalam transkrip berita secara utuh. Dan ketika itu disampaikan, akhirnya memicu kemarahan sekelompok pihak,” ungkap dia.
Ia mengatakan, kehadiran presiden atau negara dalam mengantisipasi praktik seperti itu, mutlak diperlukan untuk menjaga sikap pluralisme yang tertanam di hati masyarakat Indonesia.
Ia menambahkan, karakter DKI Jakarta terkenal sangat menghargai pluralitas dan keberagaman, karena di Ibu Kota Negara itu dihuni oleh seluruh masyarakat dari beragama agama dan kepercayaan.
“Dan karakter Indonesia juga sama seperti Jakarta, menghargai pluralitas dan keberagaman. Sehingga setiap sikap yang bertentangan dengan pluralisme dan keberagaman itu, harus dihindari dan diantisipasi kehadirannya. Tujuannya, agar kerukunan hidup beragama tidak menjadi berkurang dan tidak memicu hal-hal ekstrim lainnya yang sangat kita hindari,” papar Muhadjir.
Ia melanjutkan bahwa setiap warga negara Indonesia memiliki hak dan kedudukan yang sama di mata hukum, termasuk hak yang sama dalam berdemokrasi.
Karena itu, lanjut dia, politisasi dan upaya marjinalisasi seorang politisi dengan dasar dan kedok agama, sangat tidak dibenarkan.
“Jadi negara harus hadir dalam memberikan kepastian berdemokrasi bagi setiap warga negaranya. Jangan karena agama, suku etnis dan ras, hak politik seseorang diberangus,” tegas Muhadjir. []
*Sumber: Kompas.com