MAFIA DIYAT Oleh: Sukamdi

17 Mei 2013 | admin
Esai & Opini, Media

Beberapa waktu yang lalu Dirjen Perlindungan WNI dan BHI Kemlu, Tatang Budie Utama Razak menengarai adanya mafia diyat dalam proses pembebasan TKI yang terancam hukuman mati. Indikasinya adalah kenaikan jumlah uang diyat yang sangat besar dari kisaran 55 ribu riyal (sekitar Rp. 142 juta) menjadi 22 juta riyal (sekitar Rp. 56 miliar). Hal ini terlihat dari kasus Darsem dan Satinah yang dituduh membunuh dan diancam hukuman mati di Arab Saudi. Bagi masyarakat awam, mungkin istilah diyat masih agak asing. Diyat adalah sejumlah harta yang wajib diberikan karena suatu tindakan pidana korban kejahatan atau walinya.

Kita tidak akan mempersoalkan hukum tentang diyat, tetapi lebih kepada persoalan yang muncul terutama berkaitan dengan pengiriman tenaga kerja Indonesia ke luar negeri. Selama ini kita sudah terlalu sering mendengarkan permasalahan yang terkait dengan pengiriman tenaga kerja Indonesia ke luar negeri, baik sebelum berangkat, ketika berada di negara tujuan, dan sesudah pulang. TKI telah diperlakukan sebagai sapi perahan dan diperlakukan sebagai komoditas (ekspor). Hal ini mengakibatkan mereka rentan terhadap pemerasan, kekerasan, dan perlakukan tidak adil. Usaha pemerintah dan lembaga terkait untuk melakukan perlindungan kepada TKI sampai sejauh ini masih belum optimal, sehingga persoalan TKI masih saja muncul.

Persoalan seperti yang dialami oleh Darsem dan Satinah hanyalah contoh, karena masih terdapat cukup banyak TKI yang juga mengalami ancaman hukuman mati. Kementerian Luar Negeri menyebutkan bahwa sampai dengan Maret 2013 terdapat 119 TKI yang terancam hukuman mati. Angka tersebut tidak termasuk yang di Malaysia, yang jumlahnya lebih banyak, sekitar 300 TKI. Saya tidak tahu dengan jumlah orang di Indonesia yang diancam hukuman mati, tetapi jumlah TKI yang diancam hukuman mati tersebut tentu tergolong banyak. Saya khawatir bahwa jumlah TKI yang terancam hukuman mati di luar negeri lebih banyak dibandingkan dengan narapidana yang diancam hukuman mati di Indonesia. Jika benar, hal tersebut sangat mengkhawatirkan. Lebih dari itu, dalam konteks kematian manusia bukanlah statistik yang keberadaannya hanya dikenali dengan angka atau jumlah, karena kematian manusia satu saja sudah terlalu banyak.

Secara kuantitas jika setiap pembebasan satu TKI dari hukuman mati harus membayar 25 miliar, dengan catatan tidak meningkat jumlahnya, telah dapat dihitung berapa besar uang yang harus dikeluarkan oleh pemerintah. Sekali lagi, hal ini bukan persoalan jumlahnya karena harga nyawa tidak bisa dihitung dengan nilai uang, akan tetapi pembayaran uang diyat tersebut menjadi signifikan, meskipun bagi negara. Bayangkan jika 119 dikalikan dengan 25 miliar maka negara harus membayar hampir Rp. 3 triliun. Bukan jumlah yang sedikit dan negara memang harus membayarnya karena tidak mungkin hal itu dibebankan pada TKI. Akan sangat bermanfaat jika uang tersebut dimanfaatkan untuk meningkatkan perlindungan terhadap TKI.

Dalam kaitannya dengan hal tersebut, pemerintah dan juga lembaga terkait lainnya perlu melakukan evaluasi dan sekaligus merevitalisasi kebijakan perlindungan TKI yang selama ini telah dilakukan. Keterlibatan TKI dalam kasus pidana, misalnya, banyak ditujukan pada TKI yang bekerja dalam pekerjaan informal yang pada umumnya adalah TKI yang memiliki kualifikasi rendah. Usulan yang selama ini sudah sering disuarakan untuk segera menyetop pengiriman TKI untuk bekerja di sektor informal perlu dipikirkan. Moratorium pengiriman TKI ke Malaysia beberapa waktu lalu sebenarnya salah satu kebijakan yang baik, sambil memperbaiki mekanisme dan proses pengiriman TKI di dalam negeri. Meskipun banyak orang yang mempertanyakan efektifitasnya karena secara resmi dihentikan, tetapi pengiriman TKI secara ilegal masih berlangsung yang kemudian meningkatkan jumlah migra “undocumented”.

Dari sisi ketenagakerjaan, pemberhantian pengiriman TKI ke luar negeri tidak sepenuhnya menyelesaikan persoalan karena hal tersebut harus diikuti dengan penyediaan kesempatan kerja di dalam negeri, yang tentu saja menjadi PR lain pemerintah. [] Sukamdi, Dosen Fak. Geografi dan Peneliti PSKK UGM.

(Harian Kedaulatan Rakyat, Sabtu Legi, 23 Maret 2013)