Yogyakarta, PSKK UGM – Pembangunan hotel yang marak di Yogyakarta terus menjadi perhatian publik. Ketatnya persaingan bisnis penginapan tak ayal ikut mendorong pelanggaran administratif. Beberapa hotel dibangun tanpa dilengkapi syarat-syarat administratif seperti izin gangguan atau izin HO (Hinder Ordonantie).
Pada akhir 2015, menurut data Dinas Perizinan Kota Yogyakarta, ada 104 izin pembangunan hotel yang diajukan sebelum penerapan moratorium. Selain itu, ada sekitar 84 Izin Memberikan Bangunan (IMB) yang terbit dan tercatat hingga April 2016. Meski moratorium berjalan dan hendak diperpanjang, Dinas Perizinan Kota Yogyakarta mengatakan tidak bisa menolak untuk menerbitkan izin hotel selama persyaratan sudah lengkap.
Isu ini menjadi salah satu aduan yang mengemuka saat Lokakarya Survei Pengaduan Masyarakat (SPM) di Grha Pandawa, Komplek Balaikota Yogyakarta, Senin (5/9) lalu. Lokakarya yang diselenggarakan oleh Bagian Organisasi, Sekretariat Daerah Kota Yogyakarta bersama Pusat Studi Kependudukan dan Kebijakan Universitas Gadjah Mada ini merupakan tahap awal dari studi penilaian kinerja pelayanan publik berdasarkan persepsi masyarakat pengguna layanan di lingkungan Pemkot Yogyakarta.
Kepala Bagian Organisasi Setda Kota Yogyakarta, Drs. Kris Sarjono Sutejo, M.M. menyampaikan, studi ini merupakan yang kedua kalinya. Survei pengaduan masyarakat yang pertama dilakukan pada 2015 untuk unit layanan kesehatan, yakni 18 Pusat Kesehatan Masyarakat (Puskesmas) se-Kota Yogyakarta.
“Tahun ini studi dilakukan terhadap layanan izin HO yang dijalankan oleh Dinas Perizinan dan layanan KTP elektronik Dinas Kependudukan dan Catatan Sipil. Harapannya, hasil studi ini menjadi masukan bagi pemerintah untuk terus menyempurnakan layanan bagi masyarakat,” kata Kris.
Kris menambahkan, selain permasalahan izin HO hotel, studi ini juga akan melihat persoalan terkait izin HO lainnya, misalnya yang terkait dengan jaminan atau kepastian waktu layanan. Berapa lama waktu yang dibutuhkan untuk mengurus izin HO? Ini menjadi agak sulit, mengingat izin HO adalah izin yang mensyaratkan izin pula.
Izin HO bisa berbeda-beda di tiap daerah karena merupakan kewenangan dari bupati atau walikota setempat untuk mengaturnya. Di Kota Yogyakarta, izin HO bisa dikeluarkan apabila pemilik usaha telah memiliki Izin Membangun Bangun Bangunan (IMBB), lalu persetujuan dari tetangga di sekitar tempat usaha dan diketahui oleh pejabat setempat, misalnya RT, RW, lurah, dan camat.
Kecuali usaha yang menimbulkan gangguan kecil, ada dokumen pengelolaan lingkungan yang harus juga dipenuhi. Izin HO bisa dikeluarkan apabila dia telah memiliki dokumen pengelolaan lingkungan seperti UPL/UKL (Upaya Pengelolaan Lingkungan dan Upaya Pemantauan Lingkungan) atau AMDAL (Analisis Mengenai Dampak Lingkungan Hidup) atau SPPL (Surat Pernyataan Kesanggupan Pengelolaan dan Pemantauan Lingkungan Hidup). Izin HO juga ada yang mensyaratkan analisis dampak usaha terhadap kondisi lalu lintas di sekitarnya atau ANDALALIN, sampai rekomendasi dari Dinas Kebakaran.
“Jaminan waktu layanan yang diberikan oleh Dinas Perizinan bisa jadi meleset karena izin dari SKPD atau departemen lainnya belum selesai. Maka, perlu ada langkah bagaimana menyinkronkan berbagai izin yang tersebar di beberapa departemen,” kata Kris lagi.
Dalam kesempatan yang sama, Peneliti PSKK UGM, Triyastuti Setianingrum, M.Sc. menyampaikan studi pengaduan masyarakat kali ini bertujuan untuk: 1) menilai kinerja pelayanan publik berdasarkan persepsi masyarakat pengguna, 2) meningkatkan efektifitas komunikasi dan interaksi antara penyedia pelayanan publik dengan masyarakat pengguna, 3) memperkokoh dasar perencanaan kegiatan, pengembangan dan penganggaran kegiatan pelayanan publik, 4) membantu pengambil keputusan dalam mengarahkan rencana dan alokasi sumber daya pembangunan berdasarkan kebutuhan masyarakat, dan 5) membantu institusi pengawasan (internal dan eksternal) dalam melakukan fungsinya secara lebih efektif.
Usai acara pembukaan dan sambutan, para peserta lokakarya dibagi menjadi dua kelompok. Kelompok pertama membahas tentang izin HO. Dari instansi pemerintah hadir perwakilan Dinas Perizinan dan Badan Lingkungan Hidup, kemudian dari kecamatan hadir perwakilan dari Danurejan, Gondokusuman, Gondomanan, Ngampilan, Tegalrejo, Kotagede, dan Gedongtengen. Dari asosiasi wilayah DIY, ada Gapensi (Gabungan Pelaksana Konstruksi Nasional Indonesia), PHRI (Perhimpunan Hotel dan Restoran Indonesia), KADIN (Kamar Dagang dan Industri). Tak ketinggalan, para pelaku usaha (perdagangan, hotel, restoran, dan tempat hiburan.
Sementara peserta di kelompok kedua yang membahas tentang pelayanan KTP elektronik terdiri dari perwakilan Dinas Kependudukan dan Catatan Sipil, perwakilan dari beberapa kecamatan, yakni Jetis, Kraton, Mantrijeron, Mergangsan, Pakualaman, Umbulharjo, dan Wirobarajan. Khusus untuk unsur perwakilan masyarakat, seperti LPMK (Lembaga Pemberdayaan Masyarakat Kelurahan) Kota Yogyakarta, LO (Lembaga Ombudsman) DIY, LKY (Lembaga Konsumen Yogyakarta) serta beberapa warga, hadir di kedua kelompok tersebut. [] Media Center PSKK UGM.