Yogyakarta, PSKK UGM – Pemerintah memang perlu didorong untuk mulai menggunakan pendekatan baru dalam menangani persoalan-persoalan kemiskinan. Selama ini definisi maupun parameter kemiskinan masih lemah sehingga gambaran angka kemiskinan terlihat positif dibandingkan dengan kenyataannya. Definisi dan parameter kemiskinan yang lemah tentu mempengaruhi efektifitas kebijakan dan program pengentasan kemiskinan.
Hal itu kembali disampaikan oleh Kepala Pusat Studi Kependudukan dan Kebijakan Universitas Gadjah Mada, Dr.soc.pol. Agus Heruanto Hadna, Kamis (21/1). Baginya, penghitungan kemiskinan secara moneter yang selama ini digunakan oleh pemerintah belum cukup menggambarkan kondisi riil kemiskinan. Kondisi kemiskinan hanya tergambar secara makro di sana melalui angka penggunaan kecukupan kalori dan penggunaan 74 komoditas pangan untuk menentukan garis kemiskinan
Penghitungan kemiskinan secara multidimensi menjadi penting guna menggambarkan kemiskinan yang bersifat kompleks dan sangat localized. Hadna mengatakan, “Kemiskinan di banyak tempat bervariasi, baik desa dengan kota, Indonesia bagian barat dengan Indonesia bagian timur, Pulau Jawa dengan luar Pulau Jawa. Namun, yang jelas kemiskinan di Indonesia tidak lepas dari masalah ketimpangan.”
Untuk mengatasi persoalan kemiskinan sekaligus ketimpangan, pemerintah sebetulnya bisa mendorong masing-masing daerah untuk mengembangkan indikator dan parameter kemiskinan yang lebih kontekstual dan mampu mencerminkan kondisi riil masyarakat setempat. Selain itu, bisa lebih mudah digunakan sebagai basis data dalam pelaksanaan program-program pengentasan kemiskinan di masing-masing daerah.
Seperti halnya pengembangan indikator dan parameter kemiskinan lokal yang dikembangkan oleh PSKK UGM bersama Badan Perencanaan Pembangunan Daerah Kabupaten Fakfak, Papua Barat sejak tahun 2013. Hasil Studi Pemetaan Kemiskinan di Kabupaten Fakfak pada 2015 menunjukkan, garis kemiskinan di wilayah tersebut adalah Rp 465.564 per kapita per bulan. Berdasarkan garis kemiskinan itu, jumlah rumah tangga yang tergolong miskin sebanyak 3.902 rumah tangga dari total 13.579 rumah tangga (28,7 persen). Persentase kemiskinannya menunjukkan penurunan 1,14 persen jika dibandingkan dengan data 2013.
Adapun penentuan garis kemiskinan yang dilakukan oleh PSKK UGM berdasarkan pendapatan atau Upah Minimum Kabupaten/Kota di Papua Barat, yakni Rp 1.870.000 per bulan. Jika menggunakan dasar pendapatan yang berlaku secara nasional oleh Badan Pusat Statistik, yakni Rp 600 ribu, maka bisa dipastikan tidak ada keluarga miskin di Kabupaten Fakfak.
Hasil studi pemetaan ini kemudian menunjukkan bahwa kemiskinan di Kabupaten Fakfak bukan merupakan kondisi ketidakberdayaan penduduk untuk memenuhi kebutuhan dasar seperti pangan, sandang, dan papan. Data pengeluaran menunjukkan, kemiskinan di Kabupaten Fakfak lebih karena ketidakmampuan untuk memenuhi kebutuhan akan pelayanan publik seperti pendidikan, kesehatan, dan sosial.
Selain itu, pengeluaran untuk biaya transportasi juga semakin memperparah kemampuan rumah tangga miskin untuk mengakses layanan-layanan publik tersebut. Hal ini merupakan cerminan dari ketidakberdayaan rumah tangga miskin dari aspek geografis karena belum tersedianya infrastruktur jalan yang memadai. Diduga, rendahnya akses terhadap pelayanan publik juga berkaitan dengan aspek motivasi yang belum terbangun untuk memperoleh layanan yang lebih baik (aspek kultur).
Melalui studi pemetaan ini, Pemerintah Kabupaten Fakfak bisa menentukan perhatiannya secara khusus ke beberapa distrik yang tingkat kedalaman kemiskinan dan tingkat keparahan kemiskinan cukup tinggi, seperti Kramongmongga, Teluk Patipi, dan Kokas. Lalu dengan mengetahui hasil indeks gini rata-rata 40,7, pemkab setempat juga perlu memperhatikan aspek pengurangan ketimpangan di dalam kebijakan pembangunannya.
Berangkat dari studi pemetaan tersebut, Hadna menambahkan, untuk memahami kompleksitas kemiskinan maka seringkali indikator dan parameter kemiskinan yang dikembangkan pada akhirnya menjadi lebih kompleks. Hal ini mungkin saja kurang “disukai” oleh birokrasi yang cenderung merespon kebijakan secara top down, di satu sisi. Tak heran, karena kebijakan menjadi tidak efisien serta sulit untuk mengontrolnya. Di sisi yang lain, data yang diterima pun seringkali digeneralisasi—bahwa persoalan yang dihadapi oleh setiap wilayah adalah sama.
“Pemerintah, mungkin dalam hal ini BPS perlu mulai memikirkan bagaimana sistem manajemen data itu berlangsung. Harus lebih transparan, lebih bisa dipertanggungjawabkan atau akuntabilitasnya bisa lebih dipegang. Ini penting karena apabila data salah, maka respon kebijakannya pun kemungkinan salah,” tegas Hadna. [] Media Center PSKK UGM | Ilustrasi kemiskinan dan ketimpangan di Papua/Antara Foto