Yogyakarta, PSKK UGM – Tingkat kemiskinan di Indonesia memang menunjukkan tren penurunan dari tahun ke tahun. Pada 2009 dengan tingkat kemiskinan berada di angka 14,15 persen, jumlah penduduk yang hidup di bawah garis kemiskinan mencapai 32,53 juta individu. Jumlah tersebut turun menjadi 11,47 persen atau 28,55 juta penduduk miskin pada September 2013. Akan tetapi, tren penurunan belum berdampak signifikan terhadap perbaikan kondisi nutrisi pada anak-anak.
Pasalnya, hasil Riset Kesehatan Dasar (Riskesda) 2013 menunjukkan jumlah balita pendek akibat kekurangan gizi mengalami peningkatan, yakni 37,2 persen dibandingkan dengan data 2010, yakni 35,6 persen. Artinya, ada satu dari tiga anak di bawah usia lima tahun tergolong stunting. Meski Kementerian Kesehatan baru-baru ini menyebut bahwa angka stunting turun menjadi 29 persen berdasarkan hasil Pemantauan Status Gizi di 496 Kabupaten/Kota dengan sampel 165 ribu balita, isu malnutrisi pada anak tetap harus menjadi fokus perhatian.
Peneliti Pusat Studi Kependudukan dan Kebijakan Universitas Gadjah Mada, Sri Purwatiningsih, M.Si. saat audiensi di Kantor Bupati Kabupaten Sumba Barat, Nusa Tenggara Timur, Selasa (25/10) menyampaikan, persoalan malnutrisi atau gizi buruk pada anak sangatlah kompleks karena banyak faktor yang berkaitan. Masyarakat seringkali memahami gizi buruk sebagai akibat dari kurangnya asupan makanan. Seolah-olah di saat sudah memberikan makanan, maka persoalan gizi buruk teratasi.
“Padahal, ini juga berkaitan dengan praktik hidup sehat, kemudian bagaimana lingkungan di sekitar tempat tinggalnya. Apakah sudah memiliki akses air bersih? Apakah sanitasinya sudah layak atau belum?” kata Sri.
Praktik hidup sehat dan lingkungan yang bersih berperan penting untuk mencegah penyebaran penyakit, khususnya yang berisiko kematian pada bayi dan anak seperti diare, pneumonia, dan demam berdarah.
Lebih jauh, persoalan malnutrisi pada bayi dan anak juga tidak lepas dari kebijakan dan persoalan kelembagaan. Oleh karena itu, penting untuk mempelajari kebijakan yang terkait dengan gizi di tingkat nasional maupun daerah, lalu bagaimana pelaksanaannya, hingga kesenjangan dan kemampuan kebijakan dalam mengatasi persoalan keadilan.
Berkenaan dengan itu, PSKK UGM bekerja sama dengan Save the Children melakukan “Scoping Studies on Nutrition in Indonesia”. Studi penjajakan ini menurut Sri sudah dilakukan pada level nasional dengan wawancara ke beberapa kementerian dan lembaga terkait di Jakarta. Untuk level daerah, dilakukan di Daerah Istimewa Yogyakarta dan Nusa Tenggara Timur.
“Mewakili wilayah Indonesia Timur, dipilihlah Sumba Barat di NTT. Mengapa? Selain karena kasus malnutrisi yang tinggi di sana, Save the Children juga memiliki perwakilan lembaga untuk program nutrisi, sedangkan di kabupaten lain programnya lebih fokus pada isu pendidikan,” jelas Sri.
Pada kesempatan itu pula, Wakil Bupati Sumba Barat, Marthen Ngailu Tony, S.P. mengatakan sangat menyambut baik studi kebijakan gizi di wilayahnya. Kasus malnutrisi seperti menjadi momok bagi NTT, tak terkecuali bagi Sumba Barat. Pemerintah daerah sebetulnya sudah memiliki anggaran khusus hingga program dan kampanye nutrisi, namun angka kasus gizi buruk masih saja tinggi.
Seperti yang dilansir dari Harian Kompas (23 Juni 2015), ada 1.918 kasus gizi buruk di NTT selama Januari-Mei 2015. Tercatat, 11 anak berusia di bawah lima tahun meninggal dunia akibat gizi buruk, sedangkan 21.134 balita lainnya masih mengalami kurang gizi.
“Saya senang ada kemitraan antara Save the Children dan UGM. Harapannya, hasil studi bisa menjadi evaluasi sekaligus masukan bagi kami terkait kebijakan dan program nutrisi. Silakan untuk bisa berkoordinasi dengan Bappeda maupun SKPD yang terkait,” kata Marthen. [] Media Center PSKK UGM.