KEMISKINAN MENURUN (LAGI)? Oleh: Sukamdi

04 Juni 2012 | admin
Esai & Opini, Media

Pada tanggal 2 Januari 2012, BPS telah mempublikasikan data kemiskinan bulan September 2011. Berdasarkan data tersebut, jumlah penduduk miskin di Indonesia per September 2011 adalah 29,89 juta, artinya 12,36 persen penduduk Indonesia masuk ke dalam kategori miskin.

Angka ini, baik secara absolut maupun relatif, menurun dibandingkan dengan kondisi Maret 2011 karena pada bulan tersebut jumlah pendudukk miskin tercatat 30,09 juta jiwa atau 12,49 persen. Bahkan jika dibandingkan dengan kondisi 5 tahun yang lalu, Maret 2006 jumlah penduduk miskin turun secara signifikan, yaitu sebesar 9,41 juta jiwa atau angka kemiskinan turun sebesar 5 persen lebih.

Tetapi, pola perubahan jumlah dan angka kemiskinan menurut provinsi ternyata bervariasi. Yang mengagetkan adalah bahwa jumlah dan angka kemiskinan di DIY meningkat selama periode Maret – September 2011. Bahkan terdapat 15 provinsi yang mengalami kenaikan jumlah penduduk miskin.

Penurunan jumlah penduduk miskin dan angka kemiskinan secara nasional ini perlu diapresiasi, karena paling tidak inilah bukti dari usaha pemerintah (dan stakeholder lainnya) dalam program penanggulangan kemiskinan. Hal ini diperkuat dengan kenyataan bahwa penurunan ini diukur dari garis kemisinan yang juga meningkat 4,27 persen selama periode Maret – September 2011. Meskipun bukan berarti mengesampingkan bukti-bukti tersebut di atas, kita perlu lebih bijak menanggapi perubahan jumlah dan angka kemiskinan ini.

Pertama, meskipun jumlah sudah menurun tetapi secara absolut penduduk yang masuk dalam kategori miskin masih sangat besar, hampir 30 juta. Angka ini belum ditambah dengan penduduk yang masuk dalam kategori ‘hampir miskin’ yang mencapai 27 juta lebih. Mengapa kita perlu khawatir tentang penduduk hampir miskin? sebab justru penduduk inilah yang sangat rentan terhadap kemiskinan. Perubahan sosial, politik, ekonomi dan lingkungan dapat menyebabkan kategori tersebut terjun bebas masuk ke dalam kelompok miskin. Sebagai contoh, meningkatnya harga pangan atau bencana alam yang sering terjadi akhir-akhir ini, dapat menyebabkan mereka yang pada awalnya hampir miskin berubah menjadi miskin.

Kedua, data BPS juga menunjukkan bahwa sebagian besar (63,4 persen) penduduk miskin tersebut bertempat tinggal di pedesaan. Artinya, kemiskinan di Indonesia berkaitan dengan sektor pertanian. Sektor inilah yang sampai saat ini kurang memperoleh perhatian yang semestinya dari pemerintah, bahkan sering dikatakan bukan hanya urang perhatian, tetapi sektor pertanian sering dikorbankan demi pembangunan. Jika cara pemerintah menangani sektor pertanian tidak berubah, kesenjangan antara sektor pertanian dan dengan sektor non pertanian akan semakin parah. Akibatnya bukan saja persoalan kemiskinan yang akan muncul tetapi juga persoalan kesenjangan. Dan justru persoalan inilah yang sebenarnya penting karena dapat memicu munculnya ketidakstabilan politik ekonomi dan sosial.

Ketiga, banyak orang mempertanyakan apakah memang garis kemiskinan yang telah ditetapkan tersebut dapat menjadi kriteria untuk mengukur kemiskinan? Pada September 2011 garis kemiskinan adalah Rp 243.729 per kapita/bulan. Secara teknis penentuan garis kemiskinan tersebut tidak perlu dipertanyaan, tetapi apakah seseorang dengan jumlah tersebut dapat memenuhi kebutuhan hidup minimum? Jawaban terhadap pertanyaan ini tentu sangat penting sebab setiap perubahan garis kemiskinan akan menyebabkan perubahan jumlah penduduk miskin. Tidak tertutup kemungkinan jika garis kemiskinan tersebut dinaikkan menjadi Rp 250.000/kapita/bulan, jumlah penduduk miskin akan mencapai lebih dari 30 juta. Saya kira BPS juga telah membuat jenjang kemiskinan, bukan hanya bersifat dikotomis, miskin dan tidak miskin, tetapi kemiskinan diklaskan menjadi 3 atau lima klas. Tentu data tersebut perlu dipublikasikan agar orang paham bahwa persoalan yang kita hadapi bukan hanya jumlah penduduk miskin, tetapi juga penduduk yang rentan terhadap kemiskinan.

Keempat, ternyata keberhasilan menurunkan jumlah penduduk miskin belum merata di seluruh provinsi. Apakah ini artinya komitmen pemerintah setempat dalam program penanggulangan kemiskinan belum optimal atau memang ada faktor tertentu lainnya yang menyebabkan jumlah penduduk miskin naik? Hal ini perlu untuk dicermati sebagai bahan koreksi diri dalam rangka memperbaiki program yang akan datang.

Tampaknya disamping keberhasilan menurunkan jumlah dan angka kemiskinan, kita masih dihadapkan persoalan yang cukup pelik terkait dengan program penanggulangan kemiskinan. Jangan sampai kita dininabobokan oleh angka-angka yang sepintas kelihatan ‘on the track’ tetapi lupa bahwa ada persoalan di balik angka-angka tersebut yang menuntut perhatian. Hal lain yang menurut saya penting adalah program apapun tidak akan jalan dengan baik apabila tidak disertai empati para pengelola kebijakan penanggulangan kemiskinan terhadap penduduk miskin. [] Drs. Sukamdi, M.Sc., Dosen Fak. Geografi dan Peneliti PSKK UGM

(Dimuat di Harian Kedaulatan Rakyat, Kamis 5 Januari 2012)

*sumber foto: viva.co.id