Siang di pengujung Januari. Banjir belum surut dari pesisir Karawang, Jawa Barat, menyusul hujan sepekan berturut-turut. Sawah dan tambak menjadi lautan. Rumah- rumah pun kebanjiran. Desa Karyabakti, Kecamatan Batujaya, salah satu yang parah.
Duduk di balai-balai bambu, Eko (21), seorang warga. Telapak kaki kanannya dibebat kain kumal. Beberapa hari sebelumnya, ia menginjak pecahan kaca saat menjaring ikan di parit.
Sebagai kuli sawah atau buruh tani, tak banyak yang bisa dilakukan Eko dengan kondisi itu kecuali menunggu luka sembuh dan banjir surut. Untuk waktu yang agak lama, ayah satu anak ini bakal menganggur.
Eko menjadi kuli sawah beberapa tahun belakangan ini. Upahnya maksimal Rp 60.000 per hari. Dengan frekuensi kerja yang minim dan tak tentu, upahnya tak pasti.
Darja, ayah Eko, sebenarnya punya sawah 1 hektar. Namun, beberapa tahun lalu, sawahnya dijual karena sering gagal panen. Uangnya dibagikan untuk empat anaknya, termasuk Eko.
Dari sekitar 2.500 rumah tangga di Desa Karyabakti, menurut kepala desa setempat, Sajanur, sedikitnya ada 700 keluarga miskin. Sebagian lagi rawan miskin. Mayoritas dari kelompok miskin dan rawan miskin tersebut bekerja sebagai kuli sawah atau tambak.
Dalam setahun, masyarakat kuli lebih banyak menganggur. Penghasilan lebih kecil ketimbang pengeluaran. Keuangan keluarga defisit. Untuk menyambung hidup harian, utang menjadi solusi. Utang dari bank, lintah darat, kerabat, ataupun warung. Baru ketika panen tiba utang dibayar. Itu pun belum tentu langsung lunas.
Inilah ekonomi kuli, ekonomi yang bangkrut. Tanpa intervensi kebijakan, yang terjadi adalah estafet kemelaratan. Ini sudah dan sedang terjadi.
Paus Fransiskus dalam orasinya di depan ribuan penganggur dan buruh di Cagliari, Italia, September 2013, lebih kurang mengatakan, sistem ekonomi global saat ini menempatkan uang, bukan manusia, sebagai pusatnya. Konsekuensinya adalah tragedi kemanusiaan.
Jutaan jiwa hidup tanpa pekerjaan, tanpa kesempatan, dan bahkan tanpa sedikit pun celah untuk lepas dari kemelaratan. Hal ini pula yang persis terjadi di pesisir Karawang dan di beberapa pelosok Nusantara.
”Sepanjang permasalahan kaum miskin tak ditanggulangi secara radikal, dengan cara menolak otonomi absolut dari spekulasi pasar keuangan dan dengan memberantas penyebab struktural dari kesenjangan ekonomi, tak akan pernah ada solusi untuk permasalahan tersebut,” kata Paus dalam dokumen Evangelii Gaudium.
Badan Pusat Statistik mencatat, penganggur di Indonesia naik dari 7,17 juta jiwa atau 5,92 persen per Februari 2013 menjadi 7,39 juta jiwa atau 6,25 persen per Agustus 2013. Demikian pula penduduk miskin, naik dari 28,07 juta jiwa atau 11,37 persen per Maret 2013 menjadi 28,55 juta atau 11,47 persen per September 2013.
Tingkat kemiskinan pun kian dalam dan parah sehingga ketimpangan ekonomi melebar. Rasio gini sebagai indikator naik dari 0,38 tahun 2010 menjadi 0,41 tahun 2011-2013.
Bukan hal aneh jika ketimpangan demikian parah karena ketimpangan itu sudah terjadi mulai dari hulu, yakni menyangkut lahan sebagai modal produksi. Dari data Badan Pertanahan Nasional, 56 persen aset berupa properti, tanah, dan perkebunan dikuasai hanya oleh 0,2 persen penduduk Indonesia.
Sementara Sensus Pertanian 2013 menunjukkan, 26,14 juta rumah tangga tani hanya menguasai lahan rata-rata 0,89 hektar per keluarga. Sebanyak 14,25 juta rumah tangga tani lainnya hanya menguasai lahan kurang dari 0,5 hektar per keluarga. Padahal, skala ekonominya minimal 2 hektar.
Ironisnya, ketimpangan itu terjadi manakala pertumbuhan ekonomi Indonesia konsisten di peringkat kedua tertinggi di dunia setelah China. Artinya, pertumbuhan ekonomi tidak merangkul masyarakat miskin.
Investasi sebagai salah satu pendorong pertumbuhan kurang signifikan melimpahkan manfaat kepada rakyat. Alih-alih membangun rantai produksi bernilai tambah yang menciptakan lapangan kerja, banyak investor getol mengeruk sumber daya alam (SDA) untuk diekspor dalam bentuk mentah.
Dari data Bank Indonesia, porsi ekspor SDA meroket dari 20 persen tahun 2005 menjadi 39 persen tahun 2013. Ini menempatkan SDA sebagai porsi paling dominan dalam struktur ekspor Indonesia. Sebaliknya, porsi ekspor non-SDA pada periode yang sama turun dari 48 persen menjadi 36 persen.
Di sekitar atau di dalam kawasan konsesi pertambangan dan perkebunan, muncul kantong-kantong kemiskinan. Tak sedikit konflik agraria terjadi. Salah satu korban paling tragis adalah Orang Rimba di Provinsi Jambi yang kian tersudut oleh ekspansi perkebunan sawit.
APBN-APBD adalah politik anggaran pemerintah. Faktanya, APBN-APBD tak pernah lepas dari pola rutin yang kering substansi dan keblinger. Akibatnya, fiskal yang semestinya menjadi alat penggerak ekonomi rakyat justru lebih banyak melayani kepentingan pejabat, birokrasi, dan elite politik.
Di daerah, pemerintah lokal gemar memarkir anggaran pembangunan di bank umum nasional ketimbang membangun infrastruktur. Tujuannya untuk memperoleh pendapatan asli daerah dengan cara pasif. Dari tahun ke tahun, nilainya semakin fantastis. Per 31 Desember 2013 mencapai Rp 109 triliun. Jika ongkos membangun rumah tipe 36 adalah Rp 72 juta, dana parkir itu bisa untuk membangun 1.513.888 rumah.
Di pusat, realisasi anggaran subsidi bahan bakar minyak rata-rata Rp 200 triliun selama tiga tahun ini. Bahkan, tahun 2013, realisasinya diperkirakan Rp 250 triliun atau lebih dari 20 persen dari belanja pemerintah pusat. Padahal, mayoritas penikmatnya adalah kelompok ekonomi menengah ke atas.
Sementara anggaran subsidi pupuk untuk petani tahun 2014 hanya Rp 18 triliun. Bandingkan pula dengan anggaran infrastruktur dasar yang rata-rata hanya Rp 38 triliun per tahun. Saat yang sama, 45 persen penduduk Indonesia belum menikmati layanan kebutuhan dasar, seperti sanitasi dan air bersih.
APBN 2014 pun tak memberikan terobosan berarti. Justru kepentingan politik jangka pendek yang menyelundup di mana-mana. Salah satunya adalah dana optimalisasi yang mencapai Rp 27 triliun. Dana optimalisasi selalu dianggarkan setiap tahun dan terbukti menjadi ajang korupsi.
Pendapatan APBN 2014 ditargetkan tambah Rp 160,5 triliun dibandingkan APBN 2013. Tambahan utang neto direncanakan Rp 164,7 triliun. Namun, anggaran infrastruktur hanya tambah Rp 4,4 triliun. Jika inflasi tahun 2013 sebesar 8,38 persen, anggaran infrastruktur sejatinya susut. Justru belanja pegawai yang naik Rp 43,7 triliun, menjadi Rp 276,7 triliun.
Charles Darwin dalam Voyage of the Beagle mengatakan, jika penderitaan kaum miskin disebabkan bukan oleh hukum alam, melainkan oleh faktor struktural, besarlah dosa kita. Di manakah posisi kita? [] FX Laksana Agung Saputra
*Sumber: Harian Kompas, Rabu, 19 Oktober 2014 | Ilustrasi foto: Solo Pos