Yogyakarta, PSKK UGM – Salah satu faktor meningkatnya angka kelahiran total atau TFR (total fertility rate) adalah meningkatnya angka kelahiran pada remaja usia 15 sampai 19 tahun. Data Survei Demografi dan Kesehatan Indonesia (SDKI) 2012 menunjukkan, angka kelahiran berdasarkan kelompok umur (ASFR) pada remaja meningkat, yakni 48 per seribu kelahiran hidup dari 35 per seribu kelahiran hidup.
Sama halnya di Yogyakarta. Angka kelahiran pada remaja di Yogyakarta diperkirakan mengalami peningkatan signifikan dalam lima tahun terakhir. Hal ini disampaikan oleh Pande Made Kutanegara, M.Si., Peneliti Pusat Studi Kependudukan dan Kebijakan UGM saat Rapat Kerja Daerah Penyiapan Bahan Perumusan Kebijakan Bidang KB dan Keluarga Sejahtera, Biro Kesejahteraan Rakyat, Pemerintah Provinsi DIY di Hotel Inna Garuda, Rabu (25/6) lalu.
Pertumbuhan penduduk terus meningkat di Yogyakarta. Hal ini lalu disertai dengan perubahan pada struktur dan komposisi penduduknya. Tak heran, Yogyakarta masih menjadi “magnet” bagi penduduk dari luar daerah untuk mengenyam pendidikan. Bagaikan dua sisi mata uang, migrasi ke Yogyakarta kemudian mendorong perubahan sosial lainnya baik positif maupun negatif.
Perubahan sosial yang cenderung negatif misalnya, muncul sikap atau gaya hidup individualistik yang tidak terhindarkan di kalangan pelajar, dan mahasiswa Yogyakarta, muncul juga pola hubungan yang bersifat transaksional sehingga fungsi pengawasan sosial menjadi lemah. Mekanisme pengawasan dari orang tua menjadi sulit dilakukan apabila anak remaja telah hidup terpisah. Di lain sisi, induk semang di lingkungan kost-kostan seringkali tidak hadir dalam memenuhi fungsi pengawasan. Kebanyakan induk semang lebih berorientasi pada keuntungan bisnis kost-kostan.
“Ditambah lagi teknologi komunikasi yang semakin memudahkan orang untuk bersosialisasi. Hal-hal inilah yang lambat laun mendorong perubahan terhadap nilai-nilai, termasuk munculnya nilai budaya permisif terhadap seks pra nikah di kalangan remaja,” ujar Made.
Meski belum menikah, kelompok remaja telah aktif secara seksual. Bahkan, sebuah penelitian menunjukkan, konsumen peralatan dan bahan-bahan kimia untuk menunjang aktivitas seksual justru lebih banyak berasal dari kalangan remaja yang belum menikah. Untuk Yogyakarta, data Badan Pemberdayaan Perempuan dan Masyarakat (BPPM) DIY pada 2011 menunjukkan, ada 10,4 persen remaja pernah berhubungan seks. Sementara data Perkumpulan Keluarga Berencana Indonesia (PKBI) DIY pada 2009, ada sekitar 12 persen remaja yang pernah berhubungan seks.
Meningkatnya aktivitas seksual pranikah pada remaja, ditambah lemahnya pengawasan sosial mengakibatkan semakin meningkatnya jumlah kelahiran pada remaja. Masalah ini diperburuk lagi oleh ketidaktahuan terhadap pengetahuan reproduksi, dan ketidakhati-hatian dalam perilaku seks di kalangan remaja. Oleh Karen itu, upaya untuk mencegah meluasnya kehamilan pada remaja penting dilakukan. Remaja hendaknya dipandang sebagai sasaran kelompok umur yang strategis karena lebih dari separuh komposisi demografi Indonesia ditempati oleh generasi muda.
“Kelahiran yang tidak dikehendaki pada remaja pada akhirnya turut mendorong naiknya angka unmet need. Oleh karena itu, diperlukan suatu desain kebijakan yang lebih jelas dan terarah agar the shadow of unmet need (kalangan remaja belum menikah) ini bisa terpantau dengan baik,” jelas Made. [] Media Center PSKK UGM | Ilustrasi: Istimewa