Yogyakarta, PSKK UGM – “When a girl becomes pregnant, her present and future change radically, and rarely for the better. Her education may end, her job prospects evaporate, and her vulnerabilities to poverty, exclusion, and dependency multiply.” Hal itu disampaikan oleh Dr. Babatunde Osotimehin, Direktur Eksekutif UNFPA (United Nations Population Fund) dalam kata pengantarnya di State of World Population (SWOP) Report 2013 yang baru saja diluncurkan di Indonesia.
Laporan SWOP 2013 menyebutkan, setiap hari ada 20 ribu remaja perempuan berusia 18 tahun ke bawah di negara-negara berkembang yang melahirkan. Kemudian, ada 70 ribu kasus kematian remaja perempuan akibat komplikasi saat kehamilan maupun saat proses persalinan setiap tahunnya. Lebih jauh, ada 3,2 juta kasus aborsi yang tidak aman terjadi setiap tahun. Apa yang dibutuhkan, adalah cara baru dalam menghadapi tantangan kehamilan pada remaja.
Indonesia menghadapi tantangan yang serupa namun, mampukah menanganinya? Isu pernikahan dini dan kehamilan remaja tidak lepas dari persoalan kemiskinan, kekerasan seksual, minimnya akses pendidikan dan layanan kesehatan reproduksi, hingga pola kebijakan nasional yang kurang mampu mengakomodasi. Dalam aspek kebijakan misalnya, ada ketidakselarasan antara Undang-Undang Perkawinan Nomor 1 Tahun 1974 dan Instruksi Presiden Nomor 1 Tahun 1991 dengan standar hak asasi manusia dalam konvensi internasional seperti CRC (Convention on the Rights of the Child), dan CEDAW (Convention on the Elimination of All Forms of Discrimination against Women). Di tingkat internasional, batas minimum usia menikah adalah 18 tahun ke atas. Sementara kebijakan di Indonesia masih memberlakukan usia minimum 16 tahun. Maka, perlu ada peninjauan ulang sekaligus amandemen terkait peraturan tersebut.
“Perlu diselaraskan pula batasan usia anak dan usia minimum nikah antara UU Perkawinan, UU Kesehatan, UU Perlindungan Anak, serta undang-undang lain yang relevan. Lalu siapa yang kemudian bertanggung jawab soal ini? Ada DPR, Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak, Departemen Pendidikan, Departemen Kesehatan, maupun LSM,” ujar Agus Joko Pitoyo, S.Si., MA., Peneliti Pusat Studi Kependudukan dan Kebijakan Universitas Gadjah Mada, dalam Expert Group Meeting on Socio-Cultural Determinants and Impact of Adolescent Pregnancy in Indonesia yang diselenggarakan oleh UNFPA, Jumat lalu (8/11).
Selain penyelarasan kebijakan, ada beberapa rekomendasi pada level komunitas, individu, dan rumah tangga dalam penanganan kasus pernikahan dini. Pada level komunitas, pernikahan dini merupakan produk tradisi dan budaya seperti budaya luruh duit di Indramayu, stigma perawan tua seperti di Grobongan, Rembang dan Indramayu, hingga sistem perjodohan (ngemblok di Rembang, dan nika taho di Dompu). Joko mengatakan, maka perlu ada peningkatan ekonomi sehingga bisa terlepas dari kemiskinan, peningkatan pendidikan, serta sosialisasi dan pendampingan masyarakat.
Pada level individu dan rumah tangga, kemiskinan serta rendahnya tingkat pendidikan baik orang tua maupun anak merupakan pendorong terjadinya pernikahan remaja. Maka, perlu ada program perluasan pelatihan dan kesempatan kerja, program kewirausahaan yang khusus bagi anak putus sekolah.
“Terakhir, yang juga tidak kalah penting adalah rendahnya kesehatan reproduksi remaja. Ini menjadi persoalan penting terkait dengan pernikahan remaja usia dini. Usaha-usaha terkait pembentukan pusat krisis dan perlindungan anak sampai program sosialisasi kesehatan reproduksi itu lalu menjadi penting,” jelas Joko.[] Media Center PSKK UGM.