NG Indonesia — Indonesia berada di peringkat delapan jumlah korban perbudakan terbanyak dari 167 negara, ungkap sebuah penelitian mengenai perbudakan global modern atau Global Slavery Index.
GSI 2014 dalam laporan tahunan keduanya yang dirilis Senin (17/11) menyatakan, sebanyak 35,8 juta orang di seluruh dunia terjebak dalam berbagai bentuk perbudakan modern.
Penelitian ini di Indonesia dikeluarkan oleh lembaga pegiat buruh Migrant Care. Wahyu Susilo dari Migrant Care menjelaskan perbudakan modern adalah praktik-praktik mirip perbudakan seperti jerat utang, pernikahan paksa, penjualan serta eksploitasi anak-anak, termasuk penyelundupan manusia dan kerja paksa.
"Area dari advokasi ini bukan hanya buruh migran," kata Wahyu menerangkan, "Tapi jugaperbudakan di sektor pekerja anak, bahkan perkawinan paksa anak-anak. Juga upaya untuk mengeksploitasi rantai pasok komoditas, misalnya proses-proses pembuatan minyak kelapa sawit yang ternyata mengeksploitasi buruh, mengeksploitasi perempuan."
Ia menegaskan pula, memperkerjakan pembantu rumah tangga di bawah umur tanpa memberikan hak-hak mereka, juga termasuk perbudakan modern.
Lembaga pegiat hak-hak PRT, Jala PRT pun sudah melakukan berbagai usaha untuk memperjuangkan hak-hak PRT, ujar Lita Anggraini, koordinator Jala PRT.
"Kami sejak tahun 2004 menyampaikan ke DPR tentang perlunya undang-undang perlindungan pekerja rumah tangga. Dan yang kedua, ketika ILO mengadopsi konvensi 189 tentang situasi kerja layak PRT, kami juga mendesak pemerintah untuk segera meratifikasi konvensi itu," kata Lita Anggraini.
Tidak ada alternatif
Menteri Tenaga Kerja Hanif Dhakiri mengatakan akan memperhatikan masalah ini. "Tentu menjadi masukan dan juga evaluasi kita semua baik pemerintah maupun kelompok masyarakat terkait dengan persoalan-persoalan itu. Tentu itu tamparan buat kita dan sekaligus tantangan juga agar ke depan kita bisa membenahi seluruh hal yang terkait dengan ketenagakerjaan," kata Hanif Dhakiri, Senin (17/11) sore.
Namun Arist Merdeka Sirait dari Komisi Nasional Perlindungan Anak (Komnas KPA) menyatakan, masalahnya adalah kemiskinan.
"Orang miskin tidak punya alternatif karena pekerjaan tidak ada, makan tidak ada. Situasi dan statusnya juga tidak jelas secara ekonomi, secara hukum juga tidak terlindungi. Nah, karena itu tentu mereka (anak-anak yang jadi pekerja) tidak punya pilihan," jelas Arist.
Karena itu, Arist berharap agar pemerintah yang baru segera mengeluarkan kebijakan-kebijakan yang melindungi anak-anak agar tidak menjadi korban perbudakan modern ini. []
*Sumber: NG Indonesia